Sarat Kepentingan, Proses Kebijakan Seyogyanya Dilakukan Secara Rasional
Yogyakarta, PSKK UGM – Kebijakan publik cenderung bersifat kompleks. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengawal proses kebijakan dengan kerja-kerja analisis kebijakan yang berkualitas. Kebijakan haruslah berbasis kejadian atau bukti (evidence based policy).
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA menyampaikan ada beberapa latar belakang mengapa evidence dibutuhkan di dalam proses kebijakan. Pertama, untuk menjamin obyektivitas dan akurasi dari para pengambil kebijakan dalam memahami atau mendefinisikan masalah kebijakan. Kedua, untuk menjamin ketepatan alternatif kebijakan yang dipilih oleh para pengambil kebijakan. Ketiga, untuk mengetahui apakah tindakan yang dilakukan itu telah secara nyata menimbulkan akibat positif di masyarakat atau apakah tujuan dari diselenggarakannya kebijakan publik telah tercapai atau belum.
“Agar proses kebijakan yang berlangsung dapat benar-benar evidence-based, maka proses kebijakan harus disertai dengan analisis kebijakan,” kata Muhadjir saat memberikan materi tentang analisis kebijakan di Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bekerja sama dengan PSKK UGM, Kamis (8/10) lalu di Hotel Santhika Yogyakarta.
Muhadjir menjelaskan, proses kebijakan pada dasarnya merupakan sebuah proses politik. Proses penggunaan kekuasaan ini melibatkan banyak aktor negara (politisi di parlemen dan eksekutif, birokrat di badan-badan negara dan pemerintah daerah, partai politik) maupun akto-aktor di luar negara (pelaku bisnis, aktivis NGO, tokoh-tokoh masyarakat, intelektual di perguruan tinggi, serta media massa) demi terwujudnya suatu kebijakan publik.
Sebagai proses politik, proses kebijakan tentu sarat dengan konflik, negosiasi, dan kompromi antaraktor yang terlibat. Untuk mencapai tujuan masing-masing, cara-cara nonrasional seperti pengerahan massa, pemberian ancaman, perilaku kekerasan, bahkan penggunaan uang bisa saja mewarnai proses tersebut.
Kendati begitu, Muhadjir mengingatkan, proses kebijakan seyogyanya dilakukan secara rasional. Kebijakan yang diambil oleh negara harus dapat dibenarkan secara logika, mengapa dan untuk apa kebijakan tersebut dibuat. Lalu, bagaimana agar produk kebijakan menjadi rasional?
“Untuk itu analisis kebijakan perlu dilakukan di sepanjang tahap dari proses kebijakan mulai tahap pengembangan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga tahap penilaian terhadap performa kebijakan,” jelas Muhadjir.
Analisis kebijakan harus tetap bekerja atas dasar prinsip rasionalitas, sementara masing-masing pelaku kebijakan bernegosiasi dengan pihak-pihak lain berdasarkan pada kepentingan politik atau pribadi masing-masing. Seberapa jauh hasil analisis itu mampu mempengaruhi para aktor yang disebutkan tadi, bergantung pada kualitas analisis yang dihasilkan serta kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil analisis itu melalui paper kebijakan dan dialog kebijakan.
Setidaknya ada enam tahap dalam analisis kebijakan. Pertama, memverifikasi, mendefinisikan, dan merinci masalah kebijakan. Perumusan masalah dilakukan hingga pada tingkat yang cukup operasional sehingga bisa teridentifikasi atau terukur. Kedua, menetapkan kriteria evaluasi. Kriteria evaluasi disusun berdasarkan rumusan masalah yang dilakukan sebelumnya untuk kemudian menjadi dasar dalam mengeksplorasi sejumlah altenatif kebijakan. Ketiga, mengidentifikasi alternatif kebijakan, keempat adalah mengevaluasi alternatif kebijakan serta kelima adalah menyajikan dan menseleksi alternatif kebijakan. Tahap keenam adalah memantau dan mengevaluasi (monitoring and evaluation) hasil kebijakan. Ini dilakukan sejak alternatif kebijakan yang terpilih diadopsi atau diratifikasi sampai berakhirnya waktu implementasi kebijakan.
Proses analisis tidak berhenti di tahap ini saja, Muhadjir menambahkan. Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan dapat menjadi masukan yang berarti bagi perbaikan perumusan masalah dan perbaikan kebijakan di periode selanjutnya. Oleh karena itu, proses kebijakan cenderung bersifat siklis. [] Media Center PSKK UGM | Photo Jokowi saat mengumumkan paket kebijakan ekonominya/VOA Indonesia