KOMPAS.com – Dua rektor perguruan tinggi dipercaya mengelola pendidikan dasar menengah dan tinggi di Tanah Air. Kini saatnya mereka mewujudkan janji Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla di bidang pembangunan manusia ketika berkampanye dulu.
Pengumuman Kabinet Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Akhirnya, Presiden memutuskan pendidikan tinggi dilepaskan dari kementerian yang mengelola pendidikan dasar, menengah, dan kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi akan ”boyongan” ke Kementerian Riset dan Teknologi sehingga nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek dan Dikti).
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dipercaya menjabat Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Adapun Rektor Universitas Diponegoro (yang baru terpilih dan akan dilantik sebagai rektor pada Desember 2014), M Nasir, dilantik sebagai Menteri Ristek dan Dikti. Di bahu Anies Baswedan dan M Nasir harapan terhadap pembangunan manusia Indonesia dibebankan.
Kini, mumpung masih segar, merupakan saat yang tepat untuk mengingat janji Jokowi ketika berkampanye dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Hal itu mesti diwujudkan oleh Anies dan M Nasir selaku pemegang kendali birokrasi di bidang pendidikan-kebudayaan.
Kepada para menteri barunya, Jokowi berkata, tidak ada istilah visi-misi kementerian, yang ada ialah visi-misi presiden. ”Daftar komitmen” Joko Widodo dalam visi-misinya ketika merebut hati rakyat cukup panjang. Terkait dengan pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa, Jokowi antara lain menjanjikan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional yang mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan dan menempatkan secara proporsional pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotis dan cinta Tanah Air, semangat bela negara, serta budi pekerti. Jokowi juga menjanjikan biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara.
Adapun visi-misi di bidang kebudayaan, Jokowi akan memperteguh kebinekaan Indonesia dan memperkuat restorasi sosial.
Kabinet Kerja
Kabinet Kerja Jokowi, terutama dalam mewujudkan visi-misi bidang pendidikan dan kebudayaan, akan bekerja dalam latar krusial, yakni pasar bebas regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bersamaan dengan itu, peluang pemanfaatan bonus demografi kian mengecil.
Akhir tahun depan, Indonesia dihadapkan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menuntut kekuatan daya saing manusia. Dalam tataran praktis, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah mesti dapat mengantisipasi tantangan itu. Perbaikan mendasar dan strategis pendidikan tentu akan dapat mengungkit kualitas manusia Indonesia. Sejumlah komitmen bidang pendidikan, seperti perbaikan kualitas guru, akses pendidikan, dan peningkatan fasilitas, telah di jalurnya.
Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Pasar bebas akan berdampak pada identitas, nilai- nilai, dan karakter bangsa. Perkuatan kebinekaan dan pembangunan modal sosial akan bermakna banyak jika benar-benar dilaksanakan.
Bonus demografi
Kesempatan memanfaatkan bonus demografi juga sangat tergantung keberhasilan menteri pendidikan sekarang. Puncak bonus demografi akan terjadi pada tahun 2028-2031. Itu berarti hanya tersisa 14 tahun untuk menyiapkan manusia Indonesia yang produktif dan menyediakan lapangan kerja yang memadai agar bonus demografi tidak berubah menjadi malapetaka demografi (Kompas, Selasa, 26 Agustus 2014). Waktu yang tersisa itu dimulai dari sekarang. Pemanfaatan bonus demografi sangat tergantung pada pembangunan kualitas pendidikan secara mendasar dan saat ini.
Dalam mewujudkan komitmen di tengah latar Masyarakat Ekonomi ASEAN dan bonus demografi dibutuhkan keandalan manajemen pendidikan. Tak cukup hanya bagus dalam tataran konsep, tetapi juga mesti lihai dalam eksekusi program dan manajemen.
Banyak kebijakan terjungkal dalam tahapan eksekusi. Contoh kasus paling baru ialah Kurikulum 2013. Model pembelajaran discovery learning yang dianut kurikulum itu semestinya dapat membawa perubahan mendasar dan positif. Namun, pelaksanaan kurikulum yang serba terburu- buru, dan berbagai kekacauan di lapangan, seperti terlambatnya buku pelajaran tiba di sekolah, pelatihan guru yang terlambat, dan ketimpangan sarana di lapangan, menyulitkan penerapan kurikulum baru.
Perencanaan anggaran pendidikan juga penting. Selama ini, besarnya anggaran pendidikan belum berdampak banyak pada kualitas. Pada 2015, misalnya, dari Rp 409 triliun anggaran pendidikan, sekitar 50 persen masih terserap untuk gaji guru.
Pada akhirnya, untuk mewujudkan janji-janji itu, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah serta Menteri Ristek dan Dikti yang baru harus kerja, kerja, dan kerja. Jadi, selamat bekerja! [] Indira Permanasari
*Sumber: Kompas Online | Foto: Dok. Indonesia Mengajar