Antisipasi Krisis – Tingkatkan Peran Perguruan Tinggi Menelurkan Wirausahawan
KORAN JAKARTA – Bertambahnya jumlah pengangguran terbuka dalam setahun, sebanyak 320 ribu orang (per Agustus 2015), dinilai bukan isu utama ketenagakerjaan di Indonesia. Apabila pemerintah mau terbuka dan jujur mengakui, masalah utama dalam pengelolaan perekonomian nasional adalah jumlah penduduk yang dikategorikan setengah pengangguran yang jumlahnya mencapai 30-40 persen dari total angkatan kerja.
Kelompok setengah pengangguran memiliki tiga indikator, yakni orang yang bekerja kurang dari 8 jam sehari, orang yang bekerja penuh namun mendapat penghasilan di bawah ketentuan upah minimum, dan orang yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang tidak bekerja dan tidak memiliki pekerjaan.
Demikian pendapat peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Sukamdi, saat dihubungi, Jumat (6/11). Sukamdi mengatakan penyumbang kemiskinan terbesar adalah angka setengah pengangguran itu. Hal ini terkait erat dengan visi ekonomi negara sebab angka yang begitu besar tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan yang parsial.
“Makanya sebenarnya ini problem struktural bagaimana fondasi ekonomi kita ditata. Sebab setengah pengangguran itu cermin dari kegagalan pemerintah membangun fondasi ekonomi,” kata Sukamdi.
Seperti dikabarkan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka pengangguran terbuka hingga Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja Indonesia sebanyak 122,4 juta orang. Pada periode yang sama 2014, jumlah pengangguran hanya 7,24 orang atau 5,94 persen. Artinya, angka pengangguran terbuka naik 320.000 orang dari Agustus 2014 ke Agustus 2015. Sedangkan angka setengah pengangguran saat ini mencapai sekitar 50 juta orang.
Kenaikan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengindikasikan kian memburuknya iklim berusaha akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir. Kondisi itu juga mengisyaratkan perekonomian Indonesia sedang mengalami masalah dan tidak mustahil telah memasuki tahapan krisis.
Menurut Sukamdi, jika kebijakan pembangunan nasional secara fundamental menggunakan statistik setengah pengangguran sebagai salah satu basis pengambilan keputusan, pemerintah tentu akan memiliki blueprint yang jelas tentang upaya mengatasi hal itu.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya, Wibisono Hardjopranoto, menilai peningkatan jumlah pengangguran menunjukkan dampak krisis global dan kerawanan fundamental ekonomi nasional masih berlanjut. Perlambatan ekonomi menurunkan kemampuan industri dalam menyerap tenaga kerja sehingga kenaikan pengangguran tak terelakkan.
Daya Saing Lemah
Menurut Wibisono, ancaman ledakan pengangguran tak lepas dari lemahnya daya saing global industri dalam negeri. Selain perlu meningkatkan gairah investasi, pemerintah dirasa masih kurang menciptakan iklim enterpreneurship atau kewirausahaan.
“Peran perguruan tinggi menelurkan wirausahawan perlu didorong lagi. Rasio enterpreneur kita masih rendah, hanya 1,2 persen. Sedangkan di negara maju seperti Singapura sudah mencapai 10 persen. Semakin banyak wirausahawan semakin besar peluang bisnis muncul sehingga akan memacu penyerapan tenaga kerja,” papar dia.
Sukamdi juga memaparkan angkatan kerja terkait dengan tingkat pendidikan dan struktur persaingan ekonomi dunia. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang sensitif dengan peta persiangan ekonomi dunia akan menghasilkan tahapan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang jelas. Tanpa itu, kebijakan akan selalu bersifat parsial dan bahkan hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok atau korporasi besar penguasa ekonomi Indonesia. Ia pun mengingatkan saat ini angkatan kerja dengan pendidikan di bawah SMP masih lebih dari 40 persen. Pertanian menjadi sektor yang menyumbang penyerapan tenaga kerja tertinggi diikuti perdagangan dan industri. []
*Sumber: Koran Jakarta (7/11) | Ilustrasi job fair/print.kompas