KORAN JAKARTA – Pemerintah diminta menyusun kebijakan yang komprehensif untuk menyelesaikan akar masalah struktural perekonomian terutama ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Pasalnya, selama ini pemerintah cenderung hanya mengandalkan cara mudah dengan menggelar program rutin yang terbukti tidak efektif mempersempit jurang kesejahteraan antarkelompok masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Hal itu dikemukakan oleh Peneliti Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM Yogyakarta, Sukamdi, ketika dihubungi, Rabu (16/12). Ia pun mengingatkan ada perubahan mendasar dari pola pembangunan ekonomi yang menyebabkan kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan lapangan kerja makin sedikit dari tahun ke tahun.
“Di masa akhir Orde Baru, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi masih bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja. Sementara saat ini tiap 1 persen pertumbuhan hanya menyerap 200 -300 ribu tenaga kerja,” ungkap Sukamdi.
Menurut dia, kini muncul kecenderungan kebijakan ekonomi kurang mempedulikan pengembangan dari identifikasi sektor dan pelaku ekonomi yang berkontribusi terhadap pertumbuhan. Hal itu terlihat dari keberpihakan pemerintah dan juga perbankan terhadap sektor ekonomi konglomerat ketimbang ekonomi rakyat serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan pertanian.
Negara, lanjut dia, lebih mudah memberikan izin pembangunan real estate dan mall daripada pembangunan sentra UMKM maupun pertanian. Begitu juga perbankan, sejak Orde Baru kucuran kredit ke sektor UMKM, pertanian, dan wilayah luar Jawa tidak mengalami pertumbuhan signifikan.
“Kalau terus seperti itu, penambahan 2 juta tenaga kerja dari usia produktif tiap tahun tidak akan bisa diserap oleh pertumbuhan ekonomi. Ini akan menambah kemiskinan dan memperlebar ketimpangan kesejahteraan,” kata Sukamdi.
Ia memaparkan dengan daya serap 200-300 ribu tenaga kerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan, Indonesia sejatinya membutuhkan 7-8 persen pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Apabila pemerintah hanya menjalankan program rutin yang bias kepada ekonomi kalangan menengah ke atas, dan melupakan sektor pertanian dan UMKM maka problem ketimpangan dan kemiskinan akan sangat sulit untuk diselesaikan.
Sebelumnya, sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, juga menilai disparitas atau ketimpangan pen¬dapatan dan kesenjangan sosial di Indonesia yang menganga saat ini akibat kurangnya keberpihakan negara terhadap masyarakat bawah. Pemerintah seolah asyik dengan program-programnya tapi sejatinya tidak peduli dengan kondisi rakyat sesungguhnya.
“Kelihatannya adil dan kompetitif bagi semua pihak, namun nyatanya hanya ke kelompok elit saja yang bisa mengakses, sehingga hanya mereka yang diuntungkan,” ujar Bagong. Sementara Bank Dunia pun mengingatkan agar mekanisme dalam distribusi dana desa perlu diperbaiki karena sistem distribusi yang sedang berjalan tidak merata dan dapat memicu ketimpangan pendapatan antar-penduduk di daerah.
Pakar sosiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Tuti Budi Rahayu, menambahkan kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial yang terus melebar akibat makin kuatnya perbedaan kesempatan antar kelompok masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya. “Proses kesenjangan bermula dari kesempatan memanfaatkan sumberdaya yang tidak merata, baik itu politik, pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi,” tuka dia. [] YK/SB/WP
*Sumber: Koran Jakarta (17/12) | Foto Kemiskinan/Antara Foto