Strategi Pembangunan | Penyerap Tenaga Kerja Terbanyak Bukan Industri Besar Namun UMKM
KORAN JAKARTA – Terjadinya peningkatan pengangguran dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal merupakan bentuk kemunduran ekonomi nasional yang harus diakui pemerintah. Kondisi ini juga mencerminkan strategi pembangunan nasional lemah dalam perencanaan sehingga gagal mengantisipasi perlambatan ekonomi.
“Pemerintah sah-sah saja beralasan perekonomian nasional terganggu akibat kiris utang Yunani, perbaikan ekonomi AS dan Tiongkok yang mengoreksi pertumbuhannya. Namun, pemerintah juga harus jujur bahwa pengaruh global itu sangat cepat merembet ke negara kita karena fondasi ekonomi nasional memang rapuh,” kata pengamat ekonomi Universitas Airlangga, Tjuk K. Sukiadi saat dihubungi, Jumat (26/6).
Menurut Tjuk, rapuhnya fondasi ekonomi Indonesia karena selama ini pemerintah terbiasa dengan pendekatan defisit anggaran negara.
“Artinya, kegagalan pemerintah meningkatkan produktivitas nasional selalu ditanggulangi dengan utang. Strategi gali utang dengan utang inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kita menjadi tidak berkualitas,” papar Tjuk.
Sebelumnya, Dewan Penasehat Mubyarto Institute, Noer Sutrisno mengungkapkan pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas untuk mengantisipasi dampak perlambatan ekonomi, misalnya potensi ledakan pengangguran dan gelombang PHK akibat penurunan kinerja sektor industri.
Rencana pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo juga dinilai hanya wacana kosong karena kesadaran tim ekonomi dalam memahami situasi yang terjadi terlihat sangat lemah.
Menurut Noer, semestinya tim ekonomi menyadari saat ini Indonesia sedang memasuki kontra siklus pertumbuhan yang telah dinikmati dari 2003-2011, ditandai dengan tren perlambatan pertumbuhan hingga sekarang.
“Dalam menghadapi kontra siklus butuh kebijakan tepat dan fokus pada penyerapan pengangguran sebab pengangguran akan berefek sangat besar pada masalah perekonomian secara total,” ujarnya.
Tjuk menambahkan, kondisi perekonomian nasional saat ini tidak lepas dari strategi pembangunan yang mengandalkan sumber daya alam mentah atau bahan baku. “Tadinya kita bangga menjadi negara pengekspor bahan baku terbesar ke Tiongkok. Padahal, dari dulu sampai sekarang hukumnya tetap, bahwa pemasok bahan baku seperti Indonesia merupakan pihak yang terpukul paling berat saat terjadi krisis,” ujar dia.
Salah Asumsi
Sementara itu, pakar kependudukan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi mengatakan, ada asumsi yang salah tentang pertumbuhan ekonomi secara ototmatis akan menciptakan lapangan kerja.
“Sebab, berdasarkan perhitungan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, bahwa setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan lapangan kerja baru 250 ribu sampai 300 ribu orang sementara penambahan angkatan kerja per tahun adalah 2 juta orang.
Ini artinya, pertumbuhan belum tentu bisa menyerap tenaga kerja,” katanya. Menurut Sukamdi, yang kurang diperhatikan di negara kita adalah kenyataan tentang penyerap tenaga kerja yang banyak bukanlah industri skala besar namun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Selain itu, yang belum terjadi di kita adalah bagaimana UMKM dan industri besar memiliki keterkaitan sehingga di satu pihak industri yang padat modal bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, di sisi lain UMKM bisa tumbuh sehingga menyerap angkatan kerja. Atau keterkaitan paling mudah adalah antara sektor pertanian dan nonpertanian agar pertanian memiliki nilai tambah sehingga tidak terjadi migrasi tenaga kerja,” paparnya.
Kekhawatiran pemerintah gagal memanfaatkan bonus demografi juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki cetak biru untuk penyerapan tenaga kerja.
“Jika kondisi ini dibiarkan, bukan bonus demografi yang didapat, tapi bencana demografi. Mungkin ada gejolak sosial dan tingkat kejahatan lebih tinggi,” katanya. [] n SB/YK/AR-2
*Sumber: Koran Jakarta | Ilustrasi tenaga kerja/flickr