Metrotvnews.com, Yogyakarta: Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus memberikan tekanan kepada pengungsi Rohingya. Myanmar menjadi pihak yang paling bertanggungjawab terhadap Rohingya.
Indonesia memang tidak turut serta meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Kendati demikian, itu tidak dapat menjadi legitimasi pemerintah untuk menolak arus migrasi pengungsi Rohingya dari Myanmar. Sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia bahkan Thailand dan Malaysia sudah sepantasnya memberikan perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi Rohingya.
Tidak harus terpaku pada Konvensi 1951. Pada 1994 Indonesia sebenarnya telah memberikan persetujuan atas hasil Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) di Kairo, Mesir.
Program Aksi ICPD 1994 khususnya di bab 10 tentang migrasi internasional menyebutkan, dalam kasus kedatangan pengungsi dalam jumlah besar serta tiba-tiba, pemerintah negara-negara penerima harus mempertimbangkan untuk memberi perlindungan sementara hingga solusi jangka panjang bagi para pengungsi ditemukan.
Hal itu disampaikan oleh Dr. Sukamdi, M.Sc., pakar migrasi dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada."Warga Rohingya sebenarnya sudah masuk dalam kategori pengungsi atau refugees yang harus dilindungi hak-haknya, terutama hak untuk hidup dan bertempat tinggal di wilayah yang menurutnya aman. Sayangnya, pemerintah masih mengkategorikannya sebagai imigran ilegal," pakar migrasi dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Dr. Sukamdi, M.Sc, seperti dikutip Metrotvnews.com, Jumat (22/5/2015).
"Warga Rohingya bermigrasi karena tidak punya pilihan lain. Mereka menghadapi konflik yang berlapis, tidak hanya horizontal seperti konflik antaretnis dan antaragama melainkan juga konfilk struktural, yakni dengan Pemerintah Myanmar," kata Sukamdi.
Belakangan, keputusan Indonesia dan Malaysia untuk yang mengangkut para pengungsi dinilai sudah tepat. Terlebih, saat menawarkan juga tempat penampungan sementara.
Pulau Galang di Provinsi Kepulauan Riau merupakan praktik terbaik Indonesia di dalam menangani pengungsi. Di pulau seluas 80 kilometer pesegi itu, Indonesia pernah menampung tidak kurang dari 250.000 pengungsi asal Vietnam. Mereka meneruskan hidupnya sepanjang 1979-1996 hingga akhirnya sebagian menerima suaka di negara-negara maju dan sebagian lagi kembali ke Vietnam.
"Perlakuan terhadap Rohingya haruslah sama seperti saat kita memperlakukan pengungsi dari Vietnam. Penolakan sama sekali tak menyelesaikan masalah karena arus migrasi akan terus terjadi. Jika ditolak, mau kemana lagi mereka?" kata Sukamdi lagi.
Sementara itu, data UNHCR Jakarta mencatat, hingga akhir Februari 2015 ada 4.400 pengungsi di Indonesia. Para pengungsi sebagian besar datang dari Afganistan sekitar 40 persen, Myanmar 17 persen, Palestina delapan persen, dan Somalia tujuh persen. Pekan lalu, jumlah pengungsi bertambah karena 1.345 warga Rohingya terdampar di wilayah perairan Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat masih banyak yang berada di lautan.
Tak bisa dipungkiri, keberadaan pengungsi merupakan beban bagi negara penampung. Oleh karena itu, prinsip-prinsip kerja sama kolektif dan solidaritas internasional harus dilakukan guna membantu negara penampung. Share responsibility artinya, beban tanggung jawab harus dibagi baik dengan negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun dengan lembaga internasional seperti UNHCR.
Tanggung jawab Myanmar
Jika negara-negara penampung sudah melakukan kewajiban kemanusiaannya, lalu bagaimana dengan negara asal? Sukamdi menambahkan, di dalam dokumen ICPD sebenarnya juga sudah diatur mengenai hal itu. Di sana jelas tertulis, setiap negara asal pengungsi dan orang-orang terlantar harus berupaya untuk menekan faktor-faktor yang menjadi alasan mengapa orang-orang itu terpaksa pergi.
"Pemerintah negara asal, dalam konteks ini Myanmar, seharusnya mengambil langkah yang tepat, khususnya yang berkaitan dengan resolusi konflik, mengedepankan perdamaian dan rekonsiliasi, dan menghormati hak asasi manusia terutama kelompok minoritas seperti warga Rohingya," tutur Sukamdi.
"Namun, yang terjadi pemerintah justru mengambil sikap untuk membela kelompok mayoritas. Myanmar seolah acuh. Mekanisme yang tidak berjalan ini akhirnya menuntut peran lebih dari PBB serta negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat (AS)," ujarnya.
"Kita akan lihat seberapa jauh PBB bisa tegas terhadap persoalan ini. Jika menyangkut kebijakan suatu negara, saya melihat selama ini PBB hanya bersifat imbauan saja. Dia tidak sampai bisa mempunyai kebijakan atau policy yang mampu menekan negara tersebut agar bisa sesuai dengan visi dan misi PBB," ungkapnya Sukamdi.
Sukamdi menambahkan, kebijakan insentif dan disentif sebenarnya bisa diterapkan oleh PBB terhadap negara-negara anggotanya. Bagi negara yang mangkir misalnya, bantuan dari PBB akan dikurangi, sementara bagi negara yang mampu menekan angka laju pengungsi akan diberikan insentif. [] Fajar Nugraha
*Sumber: Metrotvnews.com