Pengungsi perempuan terbebani trauma berkepanjangan dan persoalan kesehatan reproduksi yang kompleks.
YOGYAKARTA, SINAR HARAPAN – Menjadi pengungsi di negeri sendiri (displaced person) mungkin merupakan hal yang tidak pernah terbayangkan. Namun, kondisi ini bisa terjadi di Indonesia yang masuk wilayah rawan bencana, baik karena proses alam maupun perbuatan manusia.
Namun, dalam situasi krisis, menurut peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Basilica Dyah Putrantri, ternyata bantuan yang mengalir tidak cukup mampu memulihkan kehidupan para pengungsi. "Saya melihat hak kesehatan seksual dan reproduksi pengungsi perempuan kerap diabaikan dalam situasi konflik maupun bencana," ucap Basilica kepada wartawan di UGM, Yogyakarta, Sabtu (11/7).
Dalam studi penanganan kesehatan reproduksi di Poso, Sulawesi Tengah, pascakonflik pada 2004, Basilica mendapati banyak pihak cenderung memahami bahwa di tengah situasi krisis, pelayanan kesehatan reproduksi tidaklah mendesak. Penanganan korban luka-luka lebih dianggap persoalan darurat. Ia juga melihat, pemerintah daerah setempat, khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, kurang paham dan peduli terhadap persoalan kesehatan reproduksi di kalangan pengungsi.
Padahal, para pengungsi perempuan tidak hanya terbebani trauma berkepanjangan, perasaan tidak aman, dan ketidakpastian akan masa depan. Mereka juga menghadapi persoalan kesehatan reproduksi yang begitu kompleks. Hal ini misalnya adalah ancaman tindak kekerasan seksual, penyebaran penyakit menular seksual di tempat-tempat pengungsian, meningkatnya kasus-kasus kehamilan, dan kelahiran berisiko karena terbatasnya akses pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat.
Persoalan kesehatan reproduksi di kalangan pengungsi terabaikan lantaran dukungan politis dan struktural pemerintah minim. "Inilah yang kemudian melemahkan kemampuan unit-unit pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, untuk mengatasi kasus-kasus kesehatan reproduksi yang terjadi di tempat-tempat pengungsian," tutur kandidat doktor UGM ini.
Bantuan Karikatif
Basilica berpendapat, bantuan yang datang juga cenderung bersifat karitatif, tidak berkelanjutan, dan belum menjadi suatu standar pelayanan minimal dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi pengungsi. "Sering kali hal ini menjadi wajar. Karena dalam situasi serbadarurat, para aktivis kemanusiaan cenderung hanya memikirkan bagaimana agar semua bantuan bisa sampai ke tangan para pengungsi," ucapnya.
Basilica juga melihat, dalam kondisi yang terbatas, pengungsi perempuan di Poso bisa mengatasi persoalan kesehatan reproduksi dengan cara mereka sendiri dan didasarkan pada pengalaman pribadi atau kearifan lokal. Para pengungsi perempuan tersebut menganggap memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit sudah semacam kemewahan. Melihat kenyataan tersebut, perlu diambil skala prioritas untuk memutuskan dalam situasi apa pertolongan dari institusi medis modern itu dibutuhkan.
“Satu hal yang juga tidak bisa diabaikan adalah peran bidan desa dan dukun terlatih. Tidak turut menempatkan diri sebagai korban, mereka justru berada di garis terdepan untuk tetap memberi layanan kesehatan serta menyalurkan bantuan,” ucapnya.
Belajar dari konflik Poso, Basilica menekankan pemberdayaan perempuan dalam situasi darurat harus tetap menjadi perhatian serius. Itu disebabkan kelompok rentan ini merasakan kesulitan hidup yang lebih karena penanganan pascakonflik tidak memberi ruang bagi aspirasi dan kebutuhan mereka. Karena itu, perempuan harus tetap mendapatkan respek dan akses dalam pengambilan keputusan. Bukan hanya karena upaya pribadi yang kerap berdasar pada kearifan lokal, melainkan juga karena mereka tahu betul situasi yang terbaik bagi mereka untuk mengatasi persoalan kesehatan seksual dan reproduksi di masa tanggap darurat.
"Upaya mitigasi bencana dan konflik perlu terus didorong agar terintegrasi dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan, baik dalam tataran kebijakan maupun praktiknya di lapangan," tutur Basilica.[] Yuyuk Sugarman
*Sumber: Harian Sinar Harapan, 13 Juli 2015