YOGYAKARTA, Kedaulatan Rakyat — PERNIKAHAN dini, atau pernikahan yang dilakukan mereka yang masih berusia anak-anak, berdampak luas. Jika para pakar reproduksi melihatnya sebagai sebuah ‘investasi kanker serviks’, secara sosial pernikahan dini juga rawan membuat anak perempuan kehilangan hak pendidikannya. Biasanya, mereka yang menikah di bawah usia 18 tahun, hanya mengenyam pendidikan dasar.
Tidak mudah mengandalkan hukum formal untuk melindungi anak perempuan. Bahkan upaya Koalisi 18+ untuk mengubah frasa 16 gagal total. Koalisi yang beranggotakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Magenta, Pronikah.org, Semarak Cerlang Nusa – Consultancy, Research and Education for Social Transformation (SCN-CREST), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Kapal Perempuan yang melakukan judicial review ke Mahkawah Konstitusi agar usia minimal perempuan menjadi 18 tahun tidak mendapatkan hasil.
Artinya, Pasal 7 (1) UU Perkawinan yang menyatakan: pernikahan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun masih tetap dan belum diubah. Tragisnya, kondisi ini diperparah dengan keberadaan pasal 7 (2) yang menyebutkan: dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orangtua pihak pria atau wanita.
Pasal ini membuat anak-anak atau mereka yang di bawah 18 tahun bisa menikah asal mendapat dispensasi. Hal inilah yang menurut peneliti senior Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan (PPSK) UGM Prof Dr Muhadjir Darwin, menumbuhsuburkan terjadinya pernikahan dini. “Jika hakim pengadilan masih diberi keleluasaan seperti itu, UU Perkawinan secara terang-terangan tidak melakukan kontrol apa-apa terhadap perkawinan anak. Artinya, negara pun dinilai tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perkawinan pada anak,” katanya dalam diskusi pasca keputusan MK.
Akibatnya, persalinan remaja pun dianggap bukan hal yang perlu mendapat perhatian. Padahal, dampak sosial dan kesehatan pernikahan, kehamilan dan persalinan anak ternyata sangat luar biasa. Dan semua ini bukan hanya fenomena pedesaan.
Kasie Kesehatan Keluarga & Gizi Dinkes Kota Yogya dr Fetty Fatchiyah dalam dialog seminar yang diselenggarakan di Stiekes Aisyiyah mengemukakan angka persalinan remaja yang cukup mencengangkan. Tahun 2014, kata Fetty di Kota Yogyakara terdapat 7 anak berusia 10 – 14 tahun yang melahirkan. Untuk yang berusia 15 – 18 tahun terdapat 54 anak.
Meskipun tidak merupakan anak, namun yang melahirkan di bawah usia 20 tahun yakni 18 – 19 tahun mencapai 100 anak. “Pada kasus 2013 bahkan terdapat anak berusia 14 tahun menjadi istri kedua dari bocah lelaki berusia 17 tahun. Dan istri pertama juga baru 15 tahun. Bahkan kasus 2015, anak berusia 9 tahun sudah hamil,” ungkap Fetty.
Para ahli berpendapat bila pernikahan dini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Sehingga, dalam bahasa senada Dosen UIN Sunan Kalijaga Dr Ema Marhumah dan Komisioner KPAI Rita Pranawati MA menilai, pernikahan dini perlu dicegah mengingat proses reproduksi perempuan yang belum matang.
“Pasalnya, hubungan seks sebelum usia 18 tahun membuat perempuan berinvestasi pada kanker serviks yang menjadi pembunuh kedua pada perempuan setelah kanker payudara. Dengan masa subur yang lebih lama akan membuat kemungkinan banyak anak adalah hal lain yang harus dipikirkan. Selain itu fakta menunjukkan angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia yang masih tinggi yakni 359 per 100.000 kelahiran, terbanyak disumbang oleh mereka yang menikah dini,” kata keduanya terpisah.
Sedang di sektor ekonomi diakuinya wawasan yang kurang membuat ekonomi keluarga yang menikah dini, mudah terganggu. [] Fadmi Sustiwi & Ahmad Luthfie
*Sumber: Kedaulatan Rakyat | Ilustrasi pernikahan dinI/photoshelter.com