JAKARTA, KOMPAS — Menjelang akhir Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) pada 2015, Komisi Status Perempuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa mencapai kesimpulan yang disepakati 45 negara anggota komisi bahwa pembangunan pasca-MDG harus berbasis pada kerangka pemenuhan hak asasi manusia perempuan.
Isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penegakan HAM perempuan harus menjadi tujuan yang berdiri sendiri dalam pembangunan pasca-MDG. PBB mengakui tidak ada pembangunan yang berarti jika kekerasan terhadap perempuan tidak menjadi perhatian serius.
Komisi Nasional Perempuan sebagai lembaga HAM nasional yang ikut hadir dalam pertemuan ke-58 Komisi Status Perempuan (CSW) di PBB pada 10-21 Maret mendorong semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk sungguh-sungguh menindaklanjuti kesimpulan yang disepakati (agreed conclusion) itu, baik untuk pembangunan setelah maupun satu tahun terakhir MDG.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dan Komisioner Sylvana M Apituley, dalam diskusi media di Jakarta, Rabu (16/4), juga menekankan pelibatan wakil daerah, terutama daerah tertinggal dan daerah konflik, sebagai bagian delegasi Indonesia agar memberikan gambaran berimbang dari laporan pemerintah.
Isu penting dalam pertemuan CSW adalah MDG tidak memberikan cukup perhatian pada isu kekerasan, serta masih terjadi ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural terhadap perempuan dan remaja perempuan.
MDG memiliki delapan tujuan, lima di antaranya berhubungan dengan perempuan, yaitu penghapusan kemiskinan ekstrem, pendidikan untuk semua, menurunkan angka kematian ibu (AKI) melahirkan, dan kematian anak, serta mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan.
Melonjaknya angka AKI di Indonesia menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada 2012 dari sebelumnya 228 memperlihatkan negara belum merespons kekerasan kultural dan struktural terhadap perempuan.
Bentuk kekerasan kultural, antara lain masih banyak perempuan tidak dapat menentukan kehamilannya sendiri dan didorong menikah pada usia dini.
Kekerasan struktural yang melibatkan peran negara tampak dari tidak memadainya infrastruktur fisik dan sarana kesehatan serta mahalnya harga obat, terutama di daerah terpencil. Akibatnya, ibu dengan kehamilan bermasalah meninggal dalam perjalanan atau tidak dirujuk ke rumah sakit.
Belum optimal
Hampir semua hasil MDG secara global kurang optimal. Salah satu penyebab adalah tidak ada mekanisme pengawasan. Ke depan, diusulkan keterlibatan mekanisme pengawasan nasional, termasuk lembaga HAM.
Sylvana berpendapat, pemerintah perlu memberikan perhatian pada Papua sebagai daerah konflik dan tertinggal dari bagian lain Indonesia. Papua menjadi ajang latihan menjawab masalah MDG.
Otonomi khusus untuk Papua ternyata menimbulkan masalah kekerasan terhadap perempuan. Otonomi khusus, yang hampir identik dengan uang dan pembagian kekuasaan, belum menjadi alat memenuhi kebutuhan perempuan. Infrastruktur fisik seperti jalan, misalnya, masih minim. Untuk menuju sarana kesehatan di ibu kota kabupaten memerlukan waktu 12 jam.
Teknologi, yang masuk bersama uang, membawa kemajuan sekaligus masalah. Pornografi menyebar luas melalui telepon seluler sehingga memperluas kekerasan terhadap perempuan dan remaja putri.
”Agreed conclusion menjadi arah pembangunan dunia yang akan dipantau dunia internasional secara berkala,” kata Yuniyanti. (NMP)
*Sumber artikel: Harian KOMPAS, 17 April 2014 | Sumber foto: UN.org