Pendapat Ahmad Erani Yustika (Kompas, 21/3/2014) sebenarnya mendukung dan memperluas argumen kami pada tingkat yang mendasar: kunci untuk perbaikan kesejahteraan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penciptaan lapangan kerja bermutu.
Tetapi, estimasi kami, bersama beberapa peneliti Indonesia, mengenai jumlah pekerjaan yang dibutuhkan tidak setinggi perkiraan Profesor Yustika yang mengatakan bahwa ”Kita butuh sekurangnya 70 juta lapangan kerja yang bermutu (untuk memindahkan pekerja sektor informal, penganggur, dan kelompok miskin).”
Dengan angkatan kerja pada 2013 yang berjumlah 118 juta, penciptaan 70 juta lapangan kerja baru yang bermutu adalah target yang ambisius. Pada 2013 sudah ada 45 juta lapangan pekerjaan formal di bidang manufaktur, konstruksi, dan sebagainya (M Purnagunawan, 2013). Lapangan pekerjaan di bidang-bidang tersebut tentu saja dapat dianggap sebagai pekerjaan bermutu.
Beberapa pekerjaan yang tergolong informal juga pada umumnya dapat dianggap bermutu, antara lain ahli komputer, pelukis ternama, dan konsultan mandiri. Mereka semua termasuk kegiatan ekonomi informal.
Memindahkan 70 juta pekerja sisanya dari sektor tidak formal bukanlah target yang realistis dalam 5-10 tahun ke depan, sesuai target waktu yang kami tentukan dalam kertas kerja kami.
Kebutuhan yang mendesak dalam pandangan kami adalah 15 juta lapangan kerja bermutu dalam lima tahun ke depan bagi pekerja berlebih (surplus worker) yang produktivitas dan pendapatannya sangat rendah dan yang penghasilannya tidak pasti. Pekerja berlebih meliputi:
Pertama, 6-8 juta pekerja di pertanian. Dari periode 1989/1991 hingga 1995/1997 jumlah pekerja di sektor pertanian turun sebesar 5 juta karena mereka menemukan pekerjaan yang lebih baik di bidang manufaktur dan sektor lainnya. Tetapi, karena krisis moneter 1997, alih-alih mengurangi, sektor pertanian justru menambah pekerja. Para pekerja ini menjadi pekerja berlebih bagi pertanian, turut serta dalam ”pembagian kerja dan pendapatan” karena mereka tidak bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik.
Kedua, tambahan pengangguran sejak tahun 1997 sebesar 1-3 juta. Ketiga, tenaga kerja berlebih dalam pemerintahan, perdagangan, dan jasa secara kasar dapat diperkirakan berjumlah 2,5 juta. Ada banyak bukti kasus yang menunjukkan adanya kelebihan tenaga kerja dalam pemerintahan. Dengan berakhirnya lonjakan harga-harga komoditas (commodity boom) jumlah pekerja jasa informal meningkat sebesar 2,6 juta. Sebagian besar peningkatan tersebut kemungkinan akibat dari penyerapan tenaga kerja berlebih pada kegiatan-kegiatan yang bisa diramaikan oleh pekerja tambahan.
Keempat, para pekerja migran diperkirakan telah meningkat sebesar 3-5 juta sejak tahun 1997. Banyak yang mungkin memilih pekerjaan manufaktur di Indonesia daripada menjadi pekerja rumah tangga atau pekerjaan buruh konstruksi di luar negeri.
Pertumbuhan dan lapangan kerja
Apakah kita perlu pertumbuhan untuk menciptakan lapangan kerja?
Gagasan Profesor Yustika adalah bahwa ”bukannya meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan justru menciptakan banyak penyakit sosio-ekonomi kronis”. Dalam pandangannya, penciptaan lapangan kerja itu baik, tetapi pertumbuhan itu buruk. Memiliki pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja di beberapa industri itu dimungkinkan jika pertumbuhan adalah semata-mata untuk peningkatan harga-harga atau berupa pertumbuhan padat modal dan sumber daya.
Dari ketiga alasan tersebut, ternyata pertumbuhan selama boom komoditas hanya menciptakan sedikit lapangan kerja. Jumlah lapangan kerja yang terbatas selama periode ini disebabkan oleh sumber pertumbuhan, bukan karena pertumbuhan itu buruk bagi lapangan kerja sebagaimana disiratkan oleh Profesor Yustika. Pertumbuhan di Tiongkok menghasilkan begitu banyak tambahan lapangan kerja hingga sejumlah pemberi kerja saat ini tidak dapat mengisi semua kekosongan pekerjaan.
Tidak mungkin menciptakan 15 juta pekerjaan bermutu dengan pertumbuhan yang rendah. Perkiraan kami adalah bahwa peningkatan lapangan kerja di bidang manufaktur sebesar 11,2 juta secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan pendapatan nasional sebesar 11 persen selama lima tahun.
Jadi pertumbuhan dan lapangan kerja berjalan beriringan (dan tidak saling bertolak belakang).
Lapangan kerja, investasi, dan disparitas pendapatan
Penekanan dalam penelitian kami adalah pada pertumbuhan padat karya. Tujuannya adalah untuk menciptakan permintaan tenaga kerja dan terutama permintaan untuk tenaga kerja tidak terampil dan semi-terampil, yaitu permintaan untuk tenaga kerja bagi 40 persen masyarakat termiskin.
Saat ini pemberi kerja di Indonesia membutuhkan 0,8 juta tenaga kerja per tahun, tetapi jumlah angkatan kerja mencapai 2 juta. Ketika permintaan meningkat kurang dari pasokan, harga tenaga kerja, yaitu upah, biasanya turun. Itulah mengapa upah riil pekerja pertanian turun.
Upah untuk pekerja industri, didorong oleh upah minimum dan tekanan serikat pekerja, meningkat. Namun, dari 1997-2013 peningkatan rata-rata tersebut hanya 2,4 persen per tahun karena ”pasokan cadangan pengangguran” yang siap untuk mengambil posisi para pekerja menekan upah turun.
Jadi, tujuan kita adalah mendorong permintaan kerja meningkat lebih cepat dari pasokan sehingga upah juga meningkat lebih cepat. Dengan demikian akan lebih banyak anggota keluarga memiliki pekerjaan bermutu dan daya tawar pekerja pun akan meningkat.
Pertumbuhan yang mendorong penciptaan lapangan kerja adalah pertumbuhan yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih adil.
Gustav F Papanek
Bekerja di Fakultas Ekonomi Universitas Harvard Selama 21 Tahun
dan Universitas Boston Selama 18 Tahun;
Mulai Berkiprah di Bidang Ekonomi Indonesia Tahun 1962,
Sebagian Besar sebagai Penasihat Lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia
*Sumber artikel: Harian KOMPAS, 11 April 2014 | Sumber foto: aktual.co