Ketimpangan Hambat Pertumbuhan Berkelanjutan | Koran Jakarta

22 Desember 2016 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Urbanisasi yang tinggi membuat sumber daya manusia yang terampil menghilang di desa.
Tingkat disparitas yang tidak sehat membuat pertumbuhan menjadi tidak berkualitas.

JAKARTA, Koran Jakarta – Jurang ketimpangan ekonomi yang lebar antara orang kaya dan miskin akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Selain itu, ketimpangan yang sangat tajam antarpenduduk juga bisa menghambat potensi pertumbuhan jangka panjang Indonesia.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Agus Heruanto Hadna, mengatakan ketimpangan antarwilayah, yakni desa dan kota, jawa dan luar jawa, serta ketimpangan antarorang miskin di desa tampak makin jauh dari penyelesaian.

“Sebaliknya, melihat data migrasi penduduk, urbanisasi justru makin kuat sehingga sumber daya manusia yang cerdas dan terampil makin menghilang di desa,” katanya saat dihubungi, Rabu (21/12).

Menurut Agus, pada zaman dulu ada situasi ekonomi kota ditopang oleh ekonomi desa. “Kini sebaliknya kota yang menopang desa. Ekses terburuknya adalah sumber daya manusia dari buruh hingga yang terbaik meninggalkan desa. Konsekuensinya, kini kota menjadi sulit menampung beban yang terus bertambah dan desa makin terlantar serta miskin,” katanya.

Agus menambahkan, berdasarkan penelitian PSKK menyebutkan bahwa desa terjerat kemiskinan oleh pertanian tradisional yang ditopang oleh kepemilikan sawah yang minim dan budaya desa yang konsumtif akibat dari proses pendidikan yang buruk. Nilai tukar petani turun hingga 1,34 persen sementara inflasi di pedesaan naik sampai 4 persen.

Sementara kota yang menanggung semua beban masyarakat menghasilkan ekses-ekses negatif, di antaranya benturan kebudayaan, konflik horizontal antarkelompok, dan mudah tersulut aksi kekerasan.

“Itu akibat kota tidak akan mampu menanggung segala beban. Ekonomi yang bertumpu pada kota ini jelas tidak berkelanjutan dan hanya menunggu ledakan dari ekses negatifnya saja,” kata Agus.

Sebelumnya, ekonom Center Of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengungkapkan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia dinilai relatif berjalan lambat, walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mendorong perekonomian domestik.

Salah satu persoalan ekonomi yang hingga kini belum berhasil ditangani dengan baik oleh pemerintah adalah masih tingginya angka pengangguran dan rendahnya kualitas penyerapan tenaga kerja.

Faisal mengatakan, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2016 memang turun menjadi 5,61 persen, dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6,18 persen. Akan tetapi, jumlah angkatan kerja yang masuk dalam kategori setengah pengangguran masih cukup tinggi yakni sebanyak 8,97 juta orang atau 7,6 persen dari penduduk yang bekerja.

“Belum lagi jumlah pekerja paruh waktu masih cukup besar yakni 23,3 juta orang atau 19,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja,” ujar Faisal di Jakarta, Selasa (20/12).

Tidak Berkulitas

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Karyadi Mintaroem, mengatakan, berbagai dampak dari kesenjangan ekonomi dan sosial tak hanya menghambat pertumbuhan secara berkelanjutan namun juga tidak sesuai dengan Pancasila.

“Ketimpangan distribusi pendapatan antarkelompok berpenghasilan tinggi dan kelompok berpenghasilan rendah akan selalu ada. Tapi kalau tingkat disparitasnya tidak sehat maka pertumbuhan yang dicapai tidak berkualitas,” ujarnya.

Menurut Karyadi, sampai sekarang hanya sebagian kecil golongan yang benar-benar menikmati hasil pembangunan, sisanya berada dalam keadaan rentan akan krisis, serta banyak lagi yang telah lama hidup dalam kondisi miskin.

“Artinya pembangunan yang dikerjakan selama ini belum sesuai dengan Pancasila, terutama sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya. [] YK/SB/AR-2

*Sumber: Koran Jakarta | Photo: Kompas