Yogyakarta, PSKK UGM – Diskriminasi terhadap kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) terjadi di dalam berbagai bentuk, termasuk di dalam dunia kerja. Di banyak tempat, pekerja LGBT menghadapi diskriminasi di dalam pasar tenaga kerja, mulai akses terhadap pekerjaan, penerapan sistem kerja, pemecatan, penolakan akan kesempatan pelatihan dan promosi, serta akses terhadap perlindungan sosial. Hal itu dialami karena orientasi seksual mereka yang berbeda.
Hal tersebut disampaikan oleh Michiko Miyamoto, Wakil Direktur ILO Jakarta, saat Lokakarya Nasional Validasi Penelitian “Identitas Gender dan Orientasi Seksual: Mempromosikan Hak, Keberagaman, dan Kesetaraan di Tempat Kerja” atau Proyek PRIDE, di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta (26/8).
Michiko mengakui, hingga saat ini diskriminasi terhadap kelompok LGBT belum secara spesifik menjadi fokus bagi ILO maupun sistem PBB secara menyeluruh. Melalui proyek PRIDE, harapannya bisa melakukan identifikasi terhadap berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi oleh LGBT di tempat kerja. Hasil penelitian akan disebarluaskan, dan bentuk kerjasama dengan para konstituen diupayakan dalam rangka mempromosikan hak, keberagaman, dan toleransi di tempat kerja.
Proyek penelitian ini dilakukan di berbagai negara seperti Argentina, Afrika Selatan, Hungaria, dan Thailand. Untuk Indonesia, ILO Jakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada telah melakukan penelitian di beberapa provinsi, seperti Yogyakarta, Jakarta, Kupang, dan Pontianak. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yakni kualitatif, dan kualitatif, serta dilengkapi dengan studi literatur, dan peraturan hukum.
Dr. Dewi Haryani Susilastuti, Peneliti PSKK UGM mengatakan, stigma seksual terhadap LGBT pada kalangan atau tataran struktural juga terjadi. Di bidang agama, hukum, maupun kedokteran misalnya, homoseksualitas dipandang rendah.
“Semua orang diasumsikan sebagai heteroseksual sehingga kelompok LGBT menjadi “tidak tampak” di dalam situasi sosial. Saat LGBT muncul, legitimasi orientasi seksual mereka kemudian dipertanyakan. LGBT dianggap tidak normal, tidak alamiah sehingga saat menerima perlakukan diskriminasi atau distigma, itu dinilai sebagai kewajaran,” ujar Dewi.
Dalam hasil wawancara mendalam dengan perwakilan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, isu mengenai pekerja LGBT memang tidak menjadi prioritas. Dewi menceritakan, informan dari kementerian tersebut menilai Indonesia adalah negara yang agamis sehingga saat membicarakan isu seperti LGBT bisa mengganggu “stabilitas sosial”. Informan tersebut juga menambahkan, sumber daya manusia yang ada terbatas padahal “pekerjaan rumah” perburuhan secara umum masih banyak, seperti persoalan upah layak, diskriminasi kerja berdasarkan jenis kelamin, dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam hasil diskusi kelompok terarah (focused group discussion) bersama konfederasi serikat pekerja, juga terjadi internalized stigma—pandangan terhadap LGBT sesuai dengan pandangan masyarakat yang merendahkan LGBT—di antara anggota serikat buruh. Mereka memandang LGBT adalah perilaku menyimpang. Seperti penyakit, homoseksualitas dinilai bisa “disembuhkan” atau “diluruskan” kembali dengan ajaran maupun siraman rohani.
Temuan kualitatif berikutnya berbeda, saat melakukan wawancara mendalam dengan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). “Mereka tertarik dengan masalah-masalah ini, dan mengatakan belum ada laporan tentang persoalan pekerja LGBT. Namun, pada akhirnya informan kami mengatakan, hingga kini belum ada peraturan pemerintah yang menjamin. Sepanjang ada peraturan pemerintah, saya kira APINDO mau terlibat di dalam hal-hal yang berkaitan dengan LGBT,” jelas Dewi lagi.
Di dalam dunia kerja, diskriminasi terhadap LGBT sudah terjadi sejak proses pencarian kerja. Saat wawancara mendalam dengan beberapa teman LGBT, Dewi mendapatkan cerita, ada yang lulus seleksi tertulis dan praktek saat melamar di sebuah pabrik garmen. Mereka memiliki kemampuan dalam mengukur, membuat pola, bahkan menjahit. Namun, saat sampai pada tahap wawancara, banyak yang tidak lolos seleksi. Persoalan dilematis yang dihadapi, pada akhirnya membuat beberapa orang memilih untuk tidak secara terbuka mengaku sebagai LGBT.
“Diskriminasi yang terjadi itu bahkan dialami oleh mereka yang baru ‘diduga’ atau ‘disinyalir’ homoseksual. Jadi ada laki-laki dengan pembawaan kemayu, atau perempuan dengan pembawaan tomboy pun tidak bisa diterima meskipun mereka heteroseksual.”
Untuk temuan penelitian kuantitatif, hasil survey terhadap 408 responden yang merupakan anggota serikat pekerja menunjukkan, adanya kecenderungan homophobia—adanya sikap dan perasaan negatif terhadap homoseksualitas atau orang yang dianggap sebagai lesbian, gay, biseksual, atau transgender.
Semua temuan penelitian ini menjadi dasar bagi ILO untuk secara efektif melaksanakan mandatnya dalam mengakhiri segala bentuk diskriminasi di tempak kerja. Hal ini sesuai dengan Konvensi ILO Nomor 11 tentang Diskriminasi di Tempat Kerja, dan Rekomendasi ILO Nomor 20 tentang LGBT dan AIDS dalam dunia kerja, yakni mempromosikan keterlibatan, dan pemberdayaan seluruh pekerja tanpa memandang orientasi seksual. [] Media Center PSKK UGM