Kendalikan Laju Inflasi untuk Tekan Angka Kemiskinan | Koran Jakarta

05 Januari 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Impor pangan tanpa kendali berpotensi menambah angka kemiskinan di perdesaan.
Ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di Jakarta juga semakin tinggi.

JAKARTA, Koran Jakarta – Pemerintah diharapkan mampu menekan laju inflasi, terutama menjaga harga pangan, guna terus mengurangi angka kemiskinan di Tanah Air. Pasalnya, tahun ini bakal muncul ancaman inflasi dari kenaikan harga yang diatur pemerintah, seperti bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah juga diminta untuk tidak melupakan fungsi pokok negara sebagai otoritas yang memiliki kewajiban mendistribusikan kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sukamdi, mengemukakan hal itu saat diminta tanggapannya tentang penurunan angka kemiskinan nasional, Rabu (4/1). Menurut Sukamdi, komoditas pangan memang menjadi penyumbang terbesar garis kemiskinan. Namun, menjaga stabilitas harga pangan domestik dengan kebijakan impor tanpa kendali dengan alasan lebih murah pada akhirnya juga kontraproduktif.

“Impor pangan yang masif selama ini terbukti mematikan petani nasional. Dan, secara signifikan mengurangi jumlah petani yang juga menjadi produsen pangan,” ungkap dia. Sukamdi mengatakan sesuai amanat konstitusi, pemerintah memiliki kewajiban yang lebih besar lagi, yakni mendistribusikan kekayaan dan memastikan sumber daya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Kondisi saat ini, sumber daya alam banyak dikuasai konglomerasi yang menyebabkan kebakaran hutan, kekeringan, dan banjir. Sementara rakyat tani di perdesaan hanya memiliki lahan yang sangat minim dan rentan terhadap garis kemiskinan bahkan kelaparan,” ungkap dia.

Sebelumnya dikabarkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per September 2016 berkurang menjadi 27,76 juta orang (10,70 persen), dibandingkan dengan Maret 2016 sebanyak 28,01 juta orang (10,86 persen). Kepala BPS, Suhariyanto, mengemukakan meski angka kemiskinan cenderung terus menurun, kesenjangan yang tinggi antara jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan relatif tidak berubah.
Walaupun sepanjang Maret–September 2016 persentase kemiskinan menurun, jumlah penduduk miskin di perkotaan naik 0,15 juta orang menjadi 10,49 juta orang pada September 2016, sementara di perdesaan turun 0,39 juta orang menjadi 17,28 juta orang pada September 2016.

“Ini tantangan bagi pemerintah. Persoalan besar yang kita hadapi dan tidak berubah. Masih ada disparitas kemiskinan dan penduduk miskin masih lebih banyak di perdesaan,” kata Suhariyanto.

Kondisi Jakarta

Sementara itu, jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada September 2016 mencapai 385,84 ribu orang, atau meningkat 17,17 ribu orang dibandingkan bulan yang sama 2015. Pada periode sama, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan juga meningkat.

“Peningkatan nilai kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menurun dan menjauhi garis kemiskinan, serta ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin tinggi,” ujar Kepala Bidang Statistik Sosial dari BPS DKI, Sri Santo Budi Muliatinah, di Jakarta, Rabu.

Secara nasional, Sukamdi menyebutkan data tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kenaikan pendapatan 20 persen golongan atas yang fantastis dalam satu dekade terakhir, dibarengi dengan stagnasi bahkan penurunan pendapatan di 40 persen golongan terbawah.

“Artinya ada yang salah secara makro. Peran negara masih sangat minim dalam meningkatkan penghasilan golongan terbawah ataupun menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran,” jelas dia. YK/ers/nis/WP []

*Sumber: Koran Jakarta |Foto: Buruh Tani di wilayah Sigi/Harian Jurnal Asia