Yogyakarta, PSKK UGM – Ada pendekatan alternatif untuk mendefinisikan kemiskinan, yaitu dengan mengukur secara langsung hilangnya hak penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (deprivation). Berbeda dengan pendekatan yang selama ini kerap digunakan, seperti aspek pendapatan sebagai proxy untuk mengukur kemiskinan.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna dalam Seminar Pemaparan Kajian Analisis Kebijakan Penanganan Kemiskinan, Jumat (27/11) lalu mengatakan, ada dua metode penghitungan kemiskinan. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) ini, Hadna menyampaikan penjelasannya.
Metode pertama adalah Penghitungan Kemiskinan Moneter (makro) yang melihat jumlah kalori (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WNPG) dan jumlah komoditas utama. Penggunaan kecukupan kalori menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2012, yakni sebesar 2.150 Kkal rata-rata. Sementara penggunaan 74 komoditas pangan hasil survei 2012 menjadi penentu garis kemiskinan dan menggantikan 54 komoditas pangan yang selama ini digunakan sebagai acuan. Untuk penghitungannya menggunakan skala Adult Equivalent untuk melihat alokasi konsumsi individu dalam rumah tangga. Berdasarkan National Transfers Account Manual, UN 2013, hasil penghitungannya sebesar 2.500 Kkal/orang dewasa.
Kedua, metode Penghitungan Kemiskinan Multidimensi yang menggunakan konsep “deprivasi” (mikro). Deprivation menurut Peter Townsend, Sosiolog dari Inggris tidak hanya dimaknai dalam konsep material, tapi juga terpinggirkannya kaum miskin secara sosial (social exclusion) dari nilai, pola-pola umum, kebiasaan dan aktivitas yang berkembang dalam masyarakat setempat. Pendekatan deprivasi Townsend menggunakan dua konsep kunci. Pertama, memanfaatkan pendapat masyarakat setempat untuk menentukan berapa standard minimum yang disebut miskin. Kedua, memberikan peluang untuk mengembangkan pilihan gaya hidup setempat.
Hadna mengatakan, konsep deprivasi digunakan untuk menggambarkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, meliputi aspek kependudukan, pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, perumahan, sumber energi, dan kepemilikan aset.
“Penghitungan kemiskinan secara moneter belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan di Indonesia. Namun, ini tetap diperlukan untuk mengetahui kondisi kemiskinan secara makro,” kata Hadna.
Untuk itu, pakar kebijakan publik UGM ini mendorong untuk memperbaiki definisi kemiskinan maupun parameternya dengan melakukan penghitungan kemiskinan secara multidimensi. Ini perlu untuk menggambarkan kemiskinan yang bersifat kompleks dan sangat localized (variasi kemiskinan antarwilayah dan antarbudaya).
Indeks kemiskinan multidimensi memiliki beberapa keunggulan, antara lain mampu menjelaskan penyebab kemiskinan dengan lebih jelas, mampu menjelaskan intensitas (keparahan) kemiskinan, mampu menjelaskan asosiasi antara faktor moneter dan nonmoneter dalam kemiskinan serta asosiasi antarindikator deprivasi.
Namun demikian, untuk membangun kualitas metode penelitian dan tata kelola sistem informasi manajemen data yang baik tetap diperlukan syarat, yakni adanya sinergi antarlembaga pemerintah, transparan, learning methods, dan dialogis. Dalam proses analisis data misalnya, diperlukan pelibatan berbagai pihak, memperhitungkan kondisi lokal, dinamika, dan proses perubahan dalam masyarakat. Selain itu, perlu juga sosialisasi ke berbagai kepentingan secara terus menerus.
“Sementara saat data kemiskinan digunakan, perlu dibangun transfer pengetahuan ke semua pihak dan berbagai kelompok kepentingan. Pengetahuan dan pemahaman atas data ini harus sama dulu agar memudahkan perumusan kebijakan,” jelas Hadna.
Selain Hadna, hadir narasumber lain, yakni Prof. Dr. Ir. Budi Paryitno, M.Eng., Kepala Pusat Kajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (Pusperkim) Universitas Gadjah Mada. Budi menyampaikan materi tentang "Skenario Penanggulangan Kemiskinan: Memberdayakan Livelihoods, Mengkonsolidasikan Infrastruktur". Seminar yang berlangsung di Jakarta ini dimoderatori oleh Asisten Deputi Jaminan Sosial, Kemenko PMK, Ir. Redemtus Alfredo Sani Fenat, MAB. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi kesenjangan sosial/today online