Kelompok Elite Mainkan Isu Hoax | Berita Satu

30 Desember 2016 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Jakarta, Koran Jakarta – Ada kelompok elite tertentu yang membuat sekaligus menyebarkan isu-isu yang tidak benar, ujaran kebencian, berita palsu (hoax), propaganda, hasutan, yang meresahkan masyarakat demi kepentingan tertentu yang menguntungkan kelompoknya.

Menurut peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojuddin Abbas, kelompok ini memiliki latar belakang kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi. “Isu-isu yang beredar tidak terlepas dari kepentingan elite tertentu dan mereka punya agen mobilisasi isu dan mobilisasi massa untuk mempengaruhi opini masyarakat,” ujar Abbas, Kamis (29/12).

Abbas menyebut sejumlah kabar palsu atau provokasi yang belakangan ini sedang tren, antara lain isu Indonesia kebanjiran tenaga kerja asing asal Tiongkok, atau pemerintah memfasilitasi berkembangnya komunisme dan kemunculan PKI. Bahkan muncul pula provokasi yang menyebutkan uang baru yang dicetak pemerintah berdesain mata uang Tiongkok, serta uang baru dicetak bukan oleh Peruri melainkan oleh perusahaan milik warga keturunan Tionghoa. Sedangkan berita yang bisa dikategorikan menjatuhkan martabat institusi negara adalah keberhasilan pengungkapan jaringan teroris bom bunuh diri yang dianggap sebagai pengalihan isu.

“Jika dilihat dari isu yang beredar ada upaya dari para elite ini untuk mendiskreditkan kelompok lain serta pemerintahan Jokowi-JK dan juga kepolisian. Tentu ada motifnya, yang kuat adalah motif politik, ekonomi dan ideologi,” katanya.

Abbas menilai bahwa penyebar isu-isu tersebut bukan dilakukan oleh masyarakat biasa. Menurutnya, masyarakat Indonesia sangat toleran. Sedangkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi-JK masih tinggi. “Ada pihak yang tidak menginginkan situasi pembangunan dan pemerintahan berjalan baik demi kepentingan tertentu,” ungkap dia.

Dari hasil survei Nasional SMRC, 22 -28 November 2016, kelompok yang paling tidak disukai rakyat Indonesia adalah ISIS sekitar 25,5%, kelompok LGBT (16,6%), komunis (11,8%), Yahudi (5,0%), Kristen (2,3%), FPI (1,6%), Wahabi (1,1%), China (0,8%) dan kelompok lainnya. “Hasil survei tersebut masih menunjukkan bahwa masyarakat kita toleran dan tetap menganggap ISIS sebagai musuh bersama. Sentimen ketidaksukaan terhadap suku dan agama sangat kecil. Dengan hasil itu, berarti ada kelompok di luar masyarakat kebanyakan yang memainkan isu-isu intoleransi,” jelas dia.

Karena itu, Abbas mendorong pemerintah untuk menggunakan segala sumber daya dan instrumen kekuasaannya untuk membuka dan membongkar kelompok elite yang bermain di belakang isu-isu tersebut. Jika ditemukan operator lapangannya, maka perlu ditelusuri siapa dalangnya.

Pengamat intelijen Mardigu Prasetyo, menilai, hoax yang marak beredar di tengah masyarakat melalui medsos sengaja disebarkan dengan tujuan untuk membuat kekacauan di Indonesia. Ia melihat penyebaran berita bohong di Tanah Air ada yang membawa isu politik pilkada lokal, upaya penggulingan pemerintahan, dan ada pula yang membawa isu dunia.

“Ini pemainnya ada banyak. Yang harus dipahami pertahanan garda terdepan adalah intelijen. Di sisi sebaliknya penyerang garda terdepannya adalah media propaganda. Semua serangan itu tujuannya satu, yakni membuat kekacauan,” kata Mardigu, Kamis (29/12).

Dari segi intensitasnya, penyebaran kabar bohong melalui medsos juga ada yang terprogram dalam jangka panjang, seperti dalam kasus yang menimpa calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. “Tujuh bulan sebelum ahok mendaftar di Pilgub DKI, sudah diserang,” ucapnya.

Pada fenomena terkait Ahok, Mardigu melihat, ketika melihat Ahok ‘terpeleset’ surat Almaidah, kelompok-kelompok tersebut tidak serta merta langsung menyerang Ahok. Mereka menggunakan materi penghinaan Alquran. Penghinanya adalah Ahok. “Lantas kabar selanjutnya bahwa Ahok harus dihukum dan lain-lain. Kalimat pertama Alquran dan Ahok, kemudian Ahoknya digeser ke Tionghoa. Kemudian Alquran-nya digeser menjadi bela Islam, nanti sebentar lagi menurut saya akan digeser menjadi negara Islam,” ujarnya.

Mardigu menilai bahwa fenomena soal Ahok ini bukan hoax atau berita palsu melainkan propaganda dengan upaya menggeser opini dari bela Alquran, bela Islam, terus nanti Negara islam.

“Ini desain, bukan hoax jangka pendek. Ini perang nir-militer,” katanya.

Ditambahkan, perang intelijen menguasai 80% perang di dunia saat ini. Ngapain beli persenjataan, beli tank, beli helikopter, mendingan beli satelit dan peralatan IT untuk mengontrol, termasuk menguasai media,” kata Mardigu.

Ia meyakini dari banyaknya kabar bohong yang beredar dilakukan oleh kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara dengan ideologi agama. Namun, kelompok-kelompok tersebut juga tidak menyadari bahwa upayanya juga telah ditunggangi oleh kelompok lain yang lebih besar dan berhubungan dengan keberadaan suatu negara di belahan dunia lain.

Indonesia, menurut Mardigu, tidak pernah terlepas dari tiga kelompok besar yang kerap membuat kekacauan. Yang pertama kelompok thinker (pemikir), kelompok talker (penceramah agama) dan kelompok the doer (pelaku).

“Sedangkan orang yang melakukan propaganda itu kategorinya observer dan watcher. Jadi dalam hal ini, ada penceramah agama yang ditunggangi kelompok tertentu. Thinker itu apakah orang Indonesia? Saya rasa tidak,” ujarnya.

Menurutnya, di dalam kelompok thinker yang sedang bermain di Indonesia ada dua negara besar yang bermain, yakni Amerika dan Tiongkok. Khusus untuk Amerika, negara adidaya tersebut kini juga tengah memainkan perannya di Indonesia, seperti yang sedang dilakukan terhadap negara-negara lain di dunia.

Pengamat sosial politik UGM Dr Arie Sujito menilai, setelah gagal dengan isu SARA, tampak jelas ada blok elite politik tertentu yang terus berusaha mengembuskan perlawanan terhadap pemerintah. Blok tersebut berusaha untuk melemahkan kekuasaan Pemerintahan Jokowi-JK dengan tujuan agar pemerintahan saat ini terganggu. Pihak-pihak itu tentu saja datang dari kalangan yang menganggap kebijakan, Jokowi-JK seperti pemberantasan korupsi dan pungutan liar telah memporakporandakan kenyamanan mereka.

Tanpa menuding pihak tertentu, Arie menegaskan, sinyalemen atau keinginan agar pemerintah tidak fokus dalam kinerjanya memang diluncurkan lewat berbagai isu. Salah satunya tentang tenaga kerja asing yang menyerbu Indonesia. “Ada kelompok yang terusik, kelompok itu sebelumnya diuntungkan saat pemerintahan otoriter. Saat ini, mereka terganggu dengan kinerja pemerintah,” ucapnya.

Kelompok yang masih memiliki modal kapital tersebut, terus akan berupaya menyulut konflik melalui politik identitas dan tidak segan untuk menjadikan agama sebagai komoditas politik, dan jika dinilai tidak berhasil, maka isu-isu yang langsung menghujam bangsa, dilontarkan.

Kelompok-kelompok yang sangat diuntungkan oleh pemerintah sebelumnya dan merasa aman, mulai kehilangan pegangan dan mulai mengatur strategi perlawanan di level elite, yang tentunya berimbas pada masyarakat. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kepada pemerintahan Jokowi-JK memang secara tidak langsung mampu dipatahkan, namun serangan itu tidak akan pernah berhenti, seiring dengan program antikorupsi dan antipungli.

Pengamat komunikasi UGM I Gusti Ngurah Putra mengungkapkan, implikasi new media (media baru) atau citizen journalism (jurnalisme warga) menimbulkan beberapa konsekuensi. Proses pemberitaan kian terbuka dan tak terbendung, hingga lahirlah informasi-informasi yang bernada
satire dan bohong.

Di tengah kebebasan pers di Indonesia, apakah proses jurnalisme tersebut ‘layak’ disajikan atau tidak, menjadi telaah kritis bagi seluruh stakeholder bangsa, sebab kemunculan penyajian berita antara fakta dan opini yang campur aduk tersebut, menurut Ngurah harus segera disikapi melalui media literasi di tengah lemahnya kontrol lembaga pengawas.

Sedang peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Sukamdi menegaskan, isu seputar masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia, khususnya dari Tiongkok, boleh jadi sengaja dihembuskan untuk melebarkan fokus pemerintah. Namun isu itu justru harus disikapi, bukan sekadar mengejar pembuat isu, tetapi juga mengembalikan perhatian pemerintah terhadap persoalan besar ketenagakerjaan di Indonesia. []

*Sumber: Berita Satu