Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Sejatinya Memerlukan Upaya Pencegahan

20 Mei 2016 | admin
Berita PSKK, Kegiatan, Media, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM – Tiada hari tanpa kejahatan. Setiap hari baik saat menonton televisi, membaca surat kabar hingga mencermati artikel di media online, kita kerap dihadapkan pada berita-berita tentang kejahatan. Sepertinya tiada hari tanpa kejahatan. Berharap kejahatan tidak ada sama sekali pun adalah hal yang tidak mungkin. Seorang sosiolog Eropa, Emile Durkheim pernah mengatakan, kejahatan merupakan hal yang normal di dalam masyarakat dan bahkan diperlukan (The Normality of Crime). Terjadi terus-menerus melintasi ruang dan waktu, kejahatan menjadi hal yang umum hingga dinilai normal.

Kriminolog Universitas Indonesia, Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si. dalam diskusi Policy Corner Program Magister dan Doktor Studi Kebijakan. Universitas Gadjah Mada, Kamis (19/5) menyampaikan, saat ini kejahatan semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Dulu orang melakukan pencurian dengan cara membobol pintu rumah lalu mengambil barang-barang berharga. Saat ini, pencurian cukup bisa dilakukan dengan komputer serta sistem informasi yang mumpuni. Seseorang bisa membobol kartu kredit hingga mencuri data-data rahasia.

“Perubahan sosial, pertumbuhan penduduk, perubahan lanskap kota, tingginya mobilitas antardaerah hingga globalisasi turut menyumbang pada muncul serta berkembangnya kejahatan baru. Sayangnya, penanggulangan kejahatan di Indonesia masih parsial bahkan seakan terpisah dari kebijakan publik,” kata Iqrak.

Reaksi terhadap kejahatan lebih didominasi oleh penegakkan hukum, terutama pemolisian. Karenanya pula kampanye “Turn Back Crime” dari Polda Metro Jaya menjadi sangat popular. Di dalam penanggulangan terorisme pun, kinerja Detasemen Khusus 88 menjadi sangat dominan. Bahkan, jauh lebih popular bila dibandingkan dengan upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan lembaga pemasyarakatan. Padahal, kebijakan penanggulangan kejahatan sejatinya tidak hanya bersifat represif, namun juga perlu upaya preventif atau pencegahan.

Inisiatif pencegahan kejahatan dapat dibedakan ke dalam lima kategori. Pertama, crime prevention through social development yang mengintervensi akar penyebab. Kedua, situational crime prevention yang intervensinya didesain untuk mencegah kesempatan terjadinya kejahatan pada tempat dan waktu tertentu melalui pengaturan, desain atau manipulasi lingkungan manusia atau lingkungan fisik. Ketiga, community crime prevention yang memobilisasi penghuni lingkungan tempat tinggal tertentu untuk mencegah kejahatan melalui pengendalian sosial informal atau pembangunan (kapasitas) komunitas. Keempat, recidivism prevention, yaitu inisiatif untuk membantu pelanggar hukum berhenti dari perilaku jahatnya. Kelima, police and the criminal justice system yang menekankan pemolisian proaktif, berorientasi pada komunitas, dan berorientasi masalah.

Iqrak menjelaskan, bila mengacu pada kategori di atas, maka kebijakan pencegahan kejahatan adalah sebuah upaya yang sangat luas. Laiknya dua sisi mata uang, memerangi kejahatan harus beriringan pula dengan upaya untuk mencegah kejahatan. Secara situasional, kejahatan dapat ditanggulangi melalui rekayasa dan perbaikan manajemen pengelolaan lingkungan.

Kasus pemerkosaan yang terjadi di jembatan penyeberangan orang di Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada 2015 lalu dapat dicegah supaya tidak terulang kembali dengan melakukan rekayasa fisik lingkungan. Misalnya, memperhatikan lampu penerangan, desain jembatan hingga tambahan pengawasan formal seperti kamera pengawas elektronik guna menurunkan peluang terjadinya kejahatan.

“Rekayasa lingkungan yang kuat tidak akan membuat seseorang seakan berada dalam waktu dan tempat yang salah sehingga menjadi korban kejahatan. Pendekatan situasional ini dalam batas tertentu juga dapat diimplementasikan bagi bentuk kejahatan baru seperti cyber crime,” jelas Iqrak.

Pendekatan lainnya adalah pendekatan komunitas yang sebetulnya sudah lama pula diterapkan oleh masyarakat, yakni sistem keamanan lingkungan. Upaya ini dilakukan secara swadaya untuk menjadi lingkungan dan mempersempit peluang kejahatan. Pendekatan ini dinilai efektif karena anggota masyarakat adalah mereka yang paling mengetahui karakteristik wilayah dan permasalahannya. Lalu ada pendekatan pembangunan sosial yang berangkat dari pemahaman bahwa akar kejahatan seringkali merupakan kombinasi antara faktor resiko dalam lingkungan sosial dengan faktor resiko personal.

Bagi Iqrak, kebijakan untuk menanggulangi kejahatan tidak bisa dilihat sebagai upaya yang searah, bahwa kejahatan ada di luar sana dan kita akan menanggulanginya. Bentuk kebijakan penanggulangan harusnya bertumpu pada praktik sosial dan praktik pewacanaan yang sehat, pada “perbincangan” yang toleran bukan membenci, pada pemolisian yang sensitif terhadap hak, kearifan lokal, dan karakteristik khusus dari subyek, serta pada pemerintah yang  melihat kebijakan sebagai sebuah proses, bukan produk. [] Media Center PSKK UGM.