Banda Aceh, BBC Indonesia — Jumlah pengangguran di Provinsi Aceh mencapai 10,3 % dari total penduduk 4,8 juta jiwa, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional 6,25%.
Perkembangan ini terjadi meskipun proyek rekonstruksi dan rehabilitasi akibat bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004 menelan biaya US$6,7 miliar. Dengan dana itu, wajah Aceh yang porak-poranda karena gempa 9,1 skala Richter dan gulungan ombak tsunami disulap dalam kurun lima tahun.
Aceh mempunyai jalan mulus sepanjang 3.696 kilometer yang dibangun selama masa rekonstruksi. Didukung pula dengan 23 pelabuhan baru. Dana tersebut belum termasuk anggaran belanja rutin dan dana otonomi khusus.
Tetapi cukup mudah menemukan penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan. Mereka biasanya nongkrong di kedai-kedai kopi atau belakangan populer disebut kafe yang menjamur seperti di kota Banda Aceh. Di tempat-tempat itu, mereka cukup membeli secangkir kopi dan berduduk berjam-jam sambil memanfaatkan layanan wifi gratis.
"Pada saat banyaknya dana mengalir ke Aceh, ada sedikit yang kita kelupaan. Ketika kita membangkitkan ekonomi, kita lupa menyentuh di sisi produktifnya," jelas Direktur UKM Center, Universitas Syiah Kuala DR. Iskandarsyah Madjid.
Tergantung pemerintah
Ketika uang deras mengalir ke Aceh, lanjutnya, yang diandalkan adalah sisi penyebaran uang di masyarakat sehingga masyarakat cenderung lalai dan tidak memikirkan sisi produktif.
"Jadi lebih berpikir sisi jual beli sehingga ketergantungan kita kepada pihak ketiga tinggi sehingga ekonomi kita tidak berjalan dengan baik. Sektor perdagangan mungkin sangat bagus tapi sektor produktif hampir tidak ada kalau kita hitung secara keseluruhan."
Akibatnya perekonomian Aceh sangat tergantung pada pemerintah.
"Kalau cair uang pemerintah maka ekonomi kita sedikit baik, tetapi setelah itu sangat menurun. Saya pikir ini sangat bahaya," ungkap Direktur UKM Center, Universitas Syiah Kuala DR. Iskandarsyah Madjid.
Karena lahan luas, pertanian dan peternakan seharusnya bisa digalakkan. Demikian pula usaha kecil dan sektor pariwisata.
Syariah Islam menghambat?
Untuk menggairahkan perekonomian Aceh, Gubernur Zaini Abdullah menyatakan akan mengundang investor sebagai salah satu jalan.
"Saya kira ini dengan mengundang mereka langsung kemari. Kemudian mereka melihat contoh-contoh yang banyak di sini seperti Lafarge," kata gubernur di Banda Aceh, Kamis (25/12).
Ia merujuk pada perusahaan Prancis yang telah mengakuisisi PT Semen Andalas Indonesia.
Seharusnya penanaman modal langsung di Aceh lebih bisa digalakkan karena banyak sektor yang masih terbuka, namun pemberlakuan syariah Islam di sini membuat sebagian kalangan khawatir.
"Penerapan hukum syariah dan diberlakukannya juga terhadap mereka yang tidak beragama Islam pasti menimbulkan rasa takut," kata mantan Kepala Badan Rekonstrusi dan Rehabilitasi, Kuntoro Mangkusubroto.
Akan tetapi pandangan tersebut ditepis oleh Kepala Dinas Syariah Islam Aceh, Profesor Syahrizal.
"Syariah Islam itu akan memproteksi setiap orang yang berusaha, kemudian kontrak yang dibuat adalah kontrak yang terbuka, tidak ada pemaksaan kehendak dan tidak ada permintaan fee di luar kontrak yang ada," tegasnya sambil menambahkan hal itu bisa terwujud apabila penerapannya berjalan baik.
Pemberlakuan Syariah Islam diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh. Ini merupakan lanjutan dari kesepakatan damai Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2005. []Rohmatin Bonasir Wartawan BBC, Banda Aceh
*Source: BBC Indonesia | Photo: PLTA Peusangan di kawasan Totor Bale Takengon, Aceh Tengah