JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan demografi tersebar di seluruh Indonesia, terutama di wilayah pemekaran. Kejahatan ini berujung pada manipulasi suara ketika pemilu dan penggelapan dana bantuan dari pemerintah.
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak 10 Maret hingga 12 April 2014 di 22 provinsi, banyak kasus penggelembungan data jumlah penduduk di wilayah pemekaran.
Contohnya di Distrik Walelagama, Papua. Data tahun 2009 menunjukkan populasi 14.000 jiwa, tetapi sekarang berubah menjadi 25.000 jiwa. Di Kabupaten Nduga yang merupakan pemekaran Kabupaten Jayawijaya, dalam daftar pemilih tetap tahun 2009 ada 68.000 jiwa, tetapi tahun ini melonjak menjadi 145.000.
Menurut Komnas HAM, ada tiga alasan terjadinya kejahatan demografi. Pertama, persyaratan pemekaran daerah otonom baru. Kedua, untuk mendapat dana alokasi umum dari Kementerian Dalam Negeri dalam jumlah besar. Ketiga, agar pejabat daerah dapat memanipulasi suara pemilu.
”Prinsip satu orang satu suara dianggap tidak menguntungkan secara finansial ataupun dukungan suara,” kata Ketua Tim Pemantau Pemilu Komnas HAM Natalius Pigai, Selasa (15/4).
Ia menambahkan, pemilu dengan sistem ikat merugikan demokrasi karena satu kampung sepakat memilih calon legislator atau partai politik tertentu. Di Kabupaten Buleleng, Bali, satu bilik suara akhirnya dimasuki oleh pemilih beramai-ramai dan pada saat bersamaan mencoblos surat suara. Saksi dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara juga tidak menyatakan keberatan atas kejadian tersebut.
Data Komnas HAM juga menunjukkan, pemilu tahun ini masih belum memperhatikan hak kelompok rentan, seperti pasien rumah sakit, warga jompo, buruh migran, buruh tambang dan perkebunan, Orang Rimba, dan penyandang disabilitas.
”Tidak ada sarana di TPS untuk membantu orang-orang disabilitas,” kata Wakil Ketua II Komnas HAM Siane Indriani.
KPU dan Kementerian Dalam Negeri juga tidak memiliki data jumlah pemilih penyandang disabilitas. (A15)
*Sumber artikel: Harian KOMPAS, 16 April 2014 | Sumber foto: beritadaerah.com