Gula Impor Bebas Dijualbelikan, Produksi Nasional Dibatasi | Koran Jakarta

06 Oktober 2017 | admin
Arsip Media, Berita PSKK, Main Slide, Media

Tak beli gula Bulog, pedagang tidak bisa menjual gula di pasaran konsumen. Petani dipaksa jual murah ke Bulog, lalu dijual ke pedagang dengan harga tinggi.

JAKARTA, Koran Jakarta – Sejumlah kalangan mempertanyakan nota kesepahaman tentang pendistribusian gula antara Perum Bulog dan distributor gula Indonesia yang kental aroma diskriminasi dan pemaksaan secara halus. Sebab, implikasi dari poin-poin kesepakatan itu mengisyaratkan bahwa pedagang atau distributor diwajibkan membeli gula dari Bulog, sebagai syarat untuk bisa menjual gula curah di pasaran.

Selanjutnya, distributor juga wajib melaporkan realisasi pembelian, penjualan, dan stok yang ada kepada Kementerian Perdagangan.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, mengungkapkan isi nota kesepahaman itu sama saja membebaskan penjualan gula impor stok Bulog, tapi membatasi perdagangan gula hasil produksi pabrik gula swasta nasional.

“Kenapa gula impor bebas diperdagangkan, sedangkan gula produksi nasional dibatasi perdagangannya. Itu yang terutama kami pertanyakan,” tandas dia, ketika dihubungi, Selasa (3/10).

Seperti dikabarkan, Perum Bulog dan distributor gula Indonesia menjalin nota kesepahaman tentang pendistribusian gula. Nota kesepahaman ditandatangani di Kementerian Perdagangan, Senin (2/10). Dalam ruang lingkup nota kesepahaman poin 2 menyebutkan, distributor bersedia dan sanggup membeli stok gula Bulog sebanyak 400 ribu ton dengan harga yang disepakati kedua pihak.

Lalu, poin 3 menambahkan, selain stok gula Bulog, distributor juga sanggup membeli stok Bulog hasil offtaker gula petani dan gula PTPN/ RNI dengan harga sesuai kesepakatan.

Kemudian, poin 5 menyebutkan dengan pembelian gula oleh distributor dari Bulog maka distributor dapat melakukan penjualan gula curah ke pasaran. Selanjutnya dalam poin 7, Bulog dan distributor wajib melaporkan realisasi pelaksanaan, meliputi pembelian, penjualan dan stok yang dikuasai, setiap bulan kepada Kementerian Perdagangan.

Soemitro juga menduga terjadi praktik kartel dalam jual beli gula yang dilakukan Bulog. Ini terkait dengan nota kesepahaman Bulog dan distributor mengenai penjualan gula eks impor tersebut.

Sekjen APTRI, Nur Khabsyin, menilai kesepakatan antara Bulog dan pedagang gula itu sangat anomali. Sebab, pedagang sanggup membeli gula Bulog dengan harga 11.000 rupiah per kilogram (kg), sementara Bulog membeli gula dari petani dengan harga 9.700 rupiah per kg.

Dalam hal ini tentu petani tebu sebagai pihak yang paling dirugikan karena gula petani dipaksa jual murah kepada Bulog. Menurut Nur, semestinya pedagang bisa membeli gula langsung dari petani dengan harga 11.000 rupiah per kg.

“Kenapa pedagang dilarang membeli langsung gula dari petani, kenapa harus melalui Bulog. Kami nyatakan ini ada perburuan rente. Kerugian petani 1.300 rupiah per kg. Ini kebijakan yang menindas petani,” tegas dia.

Sebelumnya, APTRI juga melaporkan dugaan monopoli Perum Bulog di bidang jual beli gula ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Praktik monopoli penjualan gula pasir dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Belum Sejahtera

Sebelumnya, sejumlah kalangan mengkritisi pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kenaikan nilai tukar petani (NTP) September 2017 yang terjadi di tengah deflasi untuk kelompok bahan makanan. Sebab di satu sisi, kenaikan NTP menunjukkan kenaikan harga jual produk petani.

Di sisi lain, deflasi pangan mengindikasikan penurunan harga pangan. Sementara itu, meskipun secara total NTP bulan lalu meningkat, namun kelompok petani pangan masih belum mampu menikmati kesejahteraan.

Pasalnya, walaupun NTP tanaman pangan juga naik, akan tetapi angkanya masih di bawah 100 atau belum mencapai titik impas. Menanggapi hal itu, Direktur Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Agus Hadna, mengatakan rilis BPS terkait kenaikan NTP itu mesti diterima dengan sikap kritis.

Sebab, kenyataan di lapangan petani justru mengaku susah menjual produknya dengan harga bagus karena kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET). Sementara itu, laporan konsumsi masyarakat juga menunjukkan terjadi penurunan.

“Secara normatif publik memang mesti kritis dan BPS musti terbuka bagaimana metodenya, samplingnya, sehingga mendapat data kenaikan NTP petani. Apakah ekonomi secara umum deflasi sehingga mempengaruhi NTP, atau bagaimana?” kata dia.

Laporan BPS, imbuh Agus, selama ini dijadikan sebagai ukuran keberhasilan kinerja pemerintah, tapi sayangnya tidak ada lembaga pembanding yang bisa dijadikan evaluasi kinerja BPS. “Maka intinya, BPS mesti terbuka dengan segala pertanyaan dan kritik masyarakat,” tukas dia. YK/SB/ers/WP []

*Sumber: Koran Jakarta | Foto: Pedagang yang sedang menakar gula/mediaindonesia.com