Fenomena Pro Natalis Cenderung Menguat

03 Maret 2016 | admin
Media

Yogyakarta, PSKK UGM – Menurunkan angka kelahiran total atau TFR (total fertility rate) nasional dari 2,6 menjadi 2,28 seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 adalah pekerjaan berat. Terlebih, penerapan program Keluarga Berencana “Dua Anak Cukup” di beberapa daerah saat ini mulai terlihat longgar. Di lain sisi, fenomena pro natalis cenderung menguat. Beberapa kelompok masyarakat permisif bahkan menganjurkan untuk memiliki anak lebih dari dua dengan beragam alasan.

Di Bali misalnya, jauh sebelum program KB diterapkan, masyarakat Bali telah memiliki sistem penamaan anak hingga anak keempat. Nama Wayan, Putu Gede, Luh untuk penamaan anak pertama, lalu nama Made, Kadek, dan Kade untuk penamaan anak kedua, nama Nyoman dan Komang untuk penamaan anak ketiga, dan nama Ketut untuk menamakan anak yang keempat. Keberhasilan program KB dinilai menjadi salah satu penyebab semakin sedikitnya masyarakat Bali yang bernama Nyoman, Komang, terutama Ketut. Ini lalu mendorong wacana untuk kembali melestarikan sistem penamaan anak di Bali. Sistem penamaan merupakan tradisi dan ciri khas bagi masyarakat Bali sehingga perlu untuk dilestarikan.

Wacana tersebut pada akhirnya berseberangan dengan upaya pemerintah Bali untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 2,15 persen menjadi 1,19 persen. Apabila laju pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan, dikhawatirkan penduduk Bali akan mencapai 4,7 juta pada 2020. Bali pun akan menghadapi berbagai persoalan serius akibat populasi penduduk yang berlebih. Misalnya, turunnya kualitas lingkungan (sampah dan krisis air bersih), gencarnya alih fungsi lahan produktif, kemacetan yang semakin meluas, dan sebagainya.

Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A mengatakan, gejala fenomena pro natalis tidak hanya terjadi di Bali, namun juga di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Melalui penelitian kualitatif yang dilakukan pada akhir 2015 di Maluku, Muhadjir juga menjumpai berbagai sikap dan pandangan yang cenderung pro natalis. Baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat di Maluku tidak sepenuhnya mendukung program pemerintah untuk membatasi jumlah anak. Memiliki banyak anak bukanlah persoalan asalkan keluarga tersebut mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang berkualitas.

“Di era demokrasi seperti saat ini, politik fertilitas bukan lagi monopoli pemerintah pusat. Masing-masing partai politik, organisasi sosial, organisasi agama, bahkan pemerintah daerah memiliki agenda tersendiri yang belum tentu sama dengan pemerintah pusat. Di situ kemudian persoalan demografi menjadi sangat kompleks,” jelas Muhadjir.

Kita mengetahui, ada partai politik berbasis agama maupun organisasi agama yang pro natalis. Kelompok-kelompok Islam radikal seperti Islam Salafi contohnya, mendorong umatnya untuk memiliki banyak anak karena sesuai dengan ajaran agama, sekaligus untuk alasan politik—agar dalam jangka panjang umat Islam dari kelompok mereka semakin banyak.

Selain itu, ada pula pemerintah daerah yang mendorong warganya untuk memiliki banyak anak. Dasar argumen kebijakan tersebut bisa bermacam-macam. Bisa karena angka kematian yang tinggi, jumlah penduduk yang masih rendah, alasan tradisi, dan lain-lain. Namun, ada pula akibat dari kebijakan publik yang sesungguhnya kontraproduktif, tambah muhadjir. Seperti kebijakan pemberian insentif atau bantuan persalinan bagi rumah tangga miskin yang secara tidak langsung mendorong pasangan tersebut untuk menambah jumlah anak.

“Untuk itu, kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif harus ditinjau kembali supaya ‘perlombaan’ fertilitas di daerah-daerah tidak terjadi. Saat ini tren yang terjadi demikian. Apakah pemerintah menyadari implikasinya atau tidak?” kata Muhadjir.

Pemerintah, dalam hal ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional jelas menghadapi tantangan berat. Kependudukan bukan hanya persoalan seputar angka kelahiran total yang stagnan atau masih rendahnya peningkatan terhadap angka pemakaian alat kontrasepsi. Kependudukan menjadi bagian dari dinamika politik itu sendiri. Maka, penting bagi pemerintah untuk memahami lebih jelas dinamika politik masyarakat di tiap wilayah sehingga mampu mengembangkan strategi yang tepat.

“Bukan lagi dengan sistem otoriter seperti kebijakan kependudukan di masa Orde Baru. Pemerintah harus mencari cara-cara yang cerdas agar masyarakat paham, program kependudukan yang dijalankan adalah untuk kepentingan publik yang lebih luas,” kata Muhadjir lagi.

Sementara itu, pusat-pusat studi kependudukan di Indonesia juga bisa turut berkontribusi dengan mengarahkan kajiannya pada isu-isu demografi politik seperti itu. Kajian-kajian tersebut akan memberikan warna baru pada studi kependudukan, sekaligus menjadi masukan yang berarti bagi pemerintah, terutama dalam menghadapi dinamika perubahan sosial seperti fenomena pro natalis.

“Angka fertilitas di Indonesia harus tetap dikendalikan karena masih jauh di atas angka 2. Berbeda dengan negara-negara yang saat ini menghadapi persoalan lansia seperti Jepang, China, dan Singapura. Angka prevalensi mereka di bawah 2. Tidak tepat jika Indonesia berubah menjadi pro natalis. Belum saatnya,” tambah Muhadjir. [] Media Center PSKK UGM