TANTANGAN BONUS DEMOGRAFI: Perlunya Respon Terhadap Persoalan Lansia dan Tenaga Kerja

13 June 2014 | admin
Berita PSKK, Events, Media, Seminar, Siaran Pers

Yogyakarta, PSKK UGM – Apa yang akan Anda lakukan saat lanjut usia nanti? Apa yang akan Anda lakukan saat memasuki masa pensiun kerja? Menjadi tua adalah kepastian. Namun, belum semua orang memikirkan perencanaan di saat dirinya nanti lanjut usia.

Kelompok usia pasca produktif—lansia yang berumur lebih dari 65 tahun—menjadi isu kependudukan yang penting karena bisa menjadi potensi atau beban dalam siklus kehidupan manusia secara keseluruhan. Jika saat usia produktif seseorang mampu melakukan saving atau menabung, maka saat dia menjadi lansia atau tidak lagi produktif, dalam sisi ekonomi, dia tidak menjadi beban bagi negara.

Hal itu disampaikan oleh Dr. Sukamdi, Pakar Kependudukan UGM saat Seminar Bonus Demografi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (12/6). Sukamdi menekankan pentingnya saving di masa usia produktif. Tidak hanya dapat digunakan untuk investasi modal manusia (human capital), khususnya di bidang pendidikan, dan kesehatan, tetapi juga modal bagi dirinya sendiri saat menjelang tua.

Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang pernah dirilis oleh PSKK UGM beberapa waktu lalu menunjukkan, persentase jumlah penduduk lansia akan meningkat hingga 100 persen. Pada 2010, persentase jumlah lansia sebesar 4,9 persen (11.878.236 jiwa). Angka ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 10,8 persen (32.112.361 jiwa) pada 2035.

“Negara ini sebenarnya akan menghadapi persoalan besar. Persoalan yang sama ini juga sudah terjadi di negara lain seperti Jepang. Tapi, belum ada kesadaran penuh bahwa kita mempunyai persoalan besar soal lansia. Saya melihat, Indonesia belum mempunyai respon yang cukup terhadap persoalan lansia,” ujar Sukamdi.

Menjadi tua atau being elderly akan berhadapan dengan tiga kesenjangan. Pertama, kesenjangan geografis, yakni hubungan atau pertemuan fisik antara orang tua dengan anak akan semakin jarang. Generasi anak saat ini cenderung lebih cepat hidup terpisah dari orang tuanya. Sudah mulai jarang ada extended family (anak yang telah berkeluarga dan tinggal bersama orang tuanya).

Kedua, kesenjangan kultural, yakni perbedaan cara pandang dan nilai antara orang tua dengan anak. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Dulu, dalam satu rumah tangga, satu sumber pendapatan bisa dibagikan untuk kebutuhan seluruh anggota rumah. Saat ini mulai berubah. Suami istri bahkan anak sudah memiliki rekening atau tabungan masing-masing. Artinya, mulai terjadi segmen ekonomi di dalam rumah.

“Ketiga kesenjangan inilah yang sedang dihadapi oleh para lansia. Kita kemarin mendengar berita, di Condong Catur ada seorang lansia yang meninggal namun baru lima hari kemudian diketahui oleh keluarga, dan tetangganya. Ini adalah salah satu contoh saja karena sebenarnya sudah ada beberapa kasus serupa, dan mulai menggejala,” ujar Sukamdi lagi.

Sementara itu, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Pakar Kesehatan Reproduksi UGM dalam kesempatan yang sama juga mengatakan, kondisi yang terjadi di negara-negara maju seperti Jepang, Eropa itu bisa menjadi pelajaran. Angka fertilitas (TFR) yang menurun serta proporsi penduduk lansia yang terus meningkat pada akhirnya membawah pengaruh yang kurang baik bagi pertumbuhan ekonomi negara. Terbukti, membatasi jumlah penduduk ternyata lebih mudah dibandingkan menaikkan angka fertilitas.

“Maka menurut saya, angka fertilitas di Indonesia sebenarnya tidak perlu ditekan terlalu rendah. Angka fertilitas di bawah 2 itu akan berdampak kurang bagus karena jumlah penduduk Indonesia nanti terlampau rendah. Bagi saya, kita perlu mengendorkan program KB,” ujar Muhadjir.

Tantangan Ketenagakerjaan

Selain lansia, Indonesia juga menghadapi tantangan lain agar bisa memanfaatkan peluang bonus demografi dengan baik, yakni ketenagakerjaan. Jumlah pengangguran terbuka hingga Februari 2014 mencapai 7,15 juta dari angkatan kerja sejumlah 125 juta.

Selain itu, setiap tahun terjadi penambahan angkatan kerja baru lebih kurang 2 juta. Pemerintah dituntut agar mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak 2 juta setiap tahun atau bahkan lebih agar angka pengangguran terbuka tidak naik.

“Saya pernah menghitung, 1 persen pertumbuhan ekonomi itu mampu menciptakan 200 hingga 250 ribu kesempatan kerja baru. Jika jumlah angkatan kerja baru mencapai 2 juta, maka diperlukan 10 persen pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kita saat ini saja kira-kira 5 persen. Tak heran, pasti akan terjadi penambahan jumlah pengangguran terbuka,” jelas Sukamdi.

Belum lagi soal angka under unemployment atau setengah mengangur (tenaga kerja yang bekerja namun tidak optimal baik pendapatan maupun jam kerja). Saat ini jumlahnya mencapai sekitar 37 juta.

“Ada dua persoalan besar yang kita hadapi saat ini dalam rangka merespon bonus demografi. Karena sekali lagi kita harus mempertanyakan, apakah kita mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak yang dibutuhkan,” ujar Sukamdi lagi. []

*Unduh Pers Rilis: