JAKARTA, KOMPAS – Di Jakarta dan sekitarnya telah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Pergeseran nilai itu berlaku di segala lini. Segala sesuatu lebih banyak diukur berdasarkan nilai materi, bukan nilai moral. Akibatnya, anak-anak yang tumbuh di tempat tak seharusnya tidak mendapat penanganan memadai. Sudah hal biasa melihat anak-anak belum genap lima tahun, bahkan bayi merah, ikut mengemis di perempatan-perempatan jalan.
M Ihsan dari Satgas Perlindungan Anak selalu geram saat membicarakan nasib anak di Ibu Kota. Anak jalanan sudah pasti jadi obyek eksploitasi orang dewasa yang mengasuhnya. Anak-anak itu juga rawan jadi korban kekerasan, termasuk kejahatan seksual.
Jakarta sebagai kota juga belum menyediakan tempat yang bisa meneduhkan hati warga. Infrastruktur kota yang disediakan timpang. Taman yang lega dan teduh justru ada di kawasan mewah. Di kampung-kampung padat, kondisinya justru amat runyam. Rumah-rumah berimpitan tanpa ada tempat untuk jeda bersantai warga.
”Tempat main anak-anak cuma di jalan sempit. Makin terasa kota ini sebagai tempat tinggal dan makan. Kota yang tidak menumbuhkan peradaban,” kata pendidik, Arief Rachman.
Bagi Arief, agar segala kasus kekerasan terhadap anak bisa diakhiri, perlu gerakan moral bersama. Pemerintah diminta mulai fokus membangun, terutama membangun moral, dan etika. Pendidikan untuk anak dilakukan di dalam lingkup keluarga dengan orangtua sebagai penanggung jawab. Selanjutnya, ada pendidikan formal di sekolah dan pendidikan terkait nilai dan norma dalam masyarakat.
Namun, pendidikan kini melenceng dari filosofinya yang mengajarkan dan menanamkan kepada anak untuk berproses dengan jujur, mau belajar, dan kerja keras. ”Baru sekarang-sekarang ini setelah banyak kasus menimpa anak-anak Indonesia, pendidikan berbasis pembentukan karakter dimulai. Ini yang seharusnya dikebut untuk dikerjakan,” katanya.
Awasi siswa
Terkait banyaknya kekerasan yang menimpa anak di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mewanti-wanti kepala sekolah agar para guru lebih tajam mengawasi siswa. Sebab, tidak setiap anak beruntung punya orangtua yang bisa mengawasi mereka. Karena itu, guru dan kepala sekolah harus bisa mengawasi murid-murid,” ujar Basuki.
Pihaknya terus mengupayakan ruang terbuka hijau sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, anak-anak bisa lebih leluasa berekspresi dan berkreasi dengan sehat.
”Di kampung-kampung padat penduduk, jika ada tanah yang cukup luas, jual saja kepada kami. Nanti akan kami buat taman. Boleh saja nama pemilik tanah jadi nama taman itu, misalnya Taman Pak Budi. Silakan saja,” tutur Basuki.
Kebijakan ini, tambah Basuki, namanya merancang ulang kota. Di negara-negara, seperti Korea Selatan dan Tiongkok, sudah banyak dilakukan.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menyatakan, selain penegakan hukum, pemerintah juga harus mendorong peran serta masyarakat menciptakan kepedulian.
”Harus ada kesepakatan antarwarga. Kalau ada warga ikut campur, itu tidak dianggap intervensi. Jadi, kita tidak lagi sungkan untuk memperingatkan kalau ada tetangga memukul anaknya,” ujar Arist.
Sementara itu, upaya penegakan hukum terus dilakukan oleh aparat Polda Metro Jaya. Selasa kemarin, polisi memeriksa Kepala Sekolah Jakarta International School (JIS) Tim Carr terkait kasus kejahatan seksual di sekolah itu. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, Tim Carr diperiksa masih sebagai saksi.
”Dari keterangan yang diberikan, penyidik akan mendalami keterangannya. Bisa jadi yang bersangkutan akan dipanggil lagi jika masih ada keterangannya yang kurang. Namun, kepolisian tidak melakukan upaya mengajukan permohonan ke imigrasi untuk mencekal yang bersangkutan. Ia diperiksa sebagai saksi,” katanya.
Kuasa hukum JIS, Harry Ponto, mengatakan, dalam pemeriksaan itu, kliennya hanya dimintai klarifikasi mengenai beberapa hal di JIS, misalnya berapa jumlah murid.
Kliennya mendapat empat pertanyaan pokok dari penyidik. Ponto juga membantah tudingan bahwa JIS lalai dan melakukan pembiaran hingga terjadi kejahatan seksual terhadap siswa.
”Kami tidak mungkin melakukan pembiaran. Kalau dibilang pembiaran, berarti sekolah tahu soal kekerasan seksual itu lalu membiarkan itu terus terjadi. Ini tidak mungkin,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, kliennya menyerahkan foto murid-murid JIS kepada penyidik guna keperluan identifikasi mengenai kemungkinan adanya korban kejahatan seksual lainnya. (FRO/NEL/RAY/RTS)
*Sumber: Harian KOMPAS, 4 Mei 2014