Yogyakarta, PSKK UGM – Ada perubahan kompleks yang terjadi pada budaya rewang di Jawa. Saat ada tetangga, saudara, teman mengadakan acara syukuran atau hajatan, masyarakat di Jawa ramai-ramai membantu untuk menyiapkan berbagai keperluan acara. Semua terlihat sibuk, mulai dari memasang tenda, menghias ruangan, hingga menyiapkan makanan serta minuman. Namun, pemandangan seperti itu sedikit demi sedikit mulai jarang ditemui.
Pande Made Kutanegara, M.Si., Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM saat Simposium “Sharing Gender Issues in Asia” di Jepang, Sabtu (27/9) lalu mengatakan, ada perhitungan secara ekonomi, waktu, dan hari baik secara adat maupun agama oleh masyarakat Jawa. Ini menyebabkan pada bulan-bulan tertentu ada begitu banyak upacara yang dilakukan. Masyarakat Jawa khususnya yang di perdesaan menyebutnya, wulan ewuh atau bulan pesta, bulan dimana orang sibuk menyiapkan syukuran.
“Namun, pola kegiatan masyarakat ini secara perlahan bergeser. Dulu para lelaki bahu-membahu mendirikan tenda. Sekarang tinggal tunggu beres karena akan dikerjakan oleh jasa peminjaman tenda. Dulu para perempuan di desa ramai di dapur menyiapkan makanan dan minuman. Sekarang tinggal gunakan jasa katering,” ujar Made.
Penggunaan jasa katering sebenarnya sudah biasa dilakukan oleh masyarakat di daerah perkotaan. Namun, Made menambahkan, akhir-akhir ini jasa katering juga marak intensitasnya di perdesaan. Beberapa orang merasa menggunakan jasa katering jauh lebih praktis, dan efektif. Rumah bisa tetap bersih, rapi, dan tidak ramai oleh tetangga atau saudara yang ikut membantu masak, misalnya.Budaya rewang sesungguhnya merupakan salah satu bentuk keterlibatan sosial masyarakat Jawa. Sebagai bentuk bantuan, mereka bisa menyumbang tenaga, barang, bahkan uang. Upaya saling tolong-menolong ini begitu kentara, dan menjadi salah satu kegiatan sosial yang sangat penting di perdesaan Jawa. Sepanjang upacara lingkaran hidup manusia mulai dari kelahiran, sunatan, pernikahan, hingga kematian, para tetangga, kerabat, dan teman akan datang membantu.
Dengan ikut rewang, masyarakat di perdesaan merasa beban sosial, ekonomi serta psikologis yang mereka tanggung akan menjadi lebih ringan. Di suatu waktu, penyelenggara acara nanti juga akan melakukan hal yang sama untuk membantu dengan memberi sumbangan tenaga atau uang.
Tak ada kriteria baku tentang besar maupun bentuk sumbangan. Namun, ada patokan atau ukuran tidak tertulis tentang besar sumbangan yang mereka sebut umume. Mereka yang sesuai dengan aturan tersebut dianggap umum, wajar, tidak berbeda. Jika sebaliknya, maka akan dinilai ora umum, tidak umum, tidak wajar. Mereka yang ora umum akan dianggap aneh, dan menjadi bahan pembicaraan di perdesaan Jawa.
Dalam symposium yang diselenggarakan oleh Center for Gender and Women Culture in Asia, Nara Women’s University Jepang ini, Made mengatakan, perubahan kebiasaan dalam upacara atau syukuran ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi sebagian rumah tangga miskin, khususnya perempuan atau ibu rumah tangga. Masuknya jasa penyewaan tenda, bahkan katering membuat akses mereka untuk menyumbang tenaga kian terbatas. Agar tetap dipandang “umum”, mereka berusaha untuk menyediakan uang kontan sebagai sumbangan. Meski untuk hal ini pun, mereka sampai harus utang bahkan menggadaikan barang miliknya.
“Sebagai strategi agar dapat menyumbang, masyarakat miskin di perdesaan bahkan sampai ada yang terpaksa menjual hewan ternaknya, seperti ayam, bebek, kambing. Pada bulan-bulan baik untuk hajatan inilah, rumah tangga miskin terkuras sumber dayanya untuk menyumbang. Kondisi keterpaksaan ekonomi membuat penduduk miskin semakin marjinal. Kaum perempuan khususnya, yang paling merasakan proses perubahan sosial ini,” jelas Made. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi rewang