Yogyakarta, PSKK UGM — Pasca diberlakukannya moratorium terkait penghentian pengiriman tenaga kerja ke sejumlah negara pada 2011 lalu, ada kecenderungan penurunan penempatan TKI yang signifikan. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) terbaru menunjukkan jumlah penempatan TKI pada 2011 turun dari 586.802 pekerja menjadi 494.609 pekerja pada 2012. Angka ini sempat naik pada 2013, yakni 512.168 pekerja namun turun kembali pada 2014 menjadi 429.872 pekerja.
Kendati menurun, jumlah pekerja migran perempuan masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan pekerja migran laki-laki. Jumlah pekerja migran perempuan pada 2014 mencapai 243.629 sementara pekerja migran laki-laki mencapai 186.243 pekerja. Feminisasi pekerja migran sesungguhnya sudah dimulai sejak era 1980-an. Selama periode 2002-2007 bahkan lebih dari ¾ pekerja migran adalah perempuan.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, selain penurunan jumlah pekerja migran, moratorium tampaknya juga memengaruhi jumlah penempatan TKI di sektor informal. Data BNP2TKI menunjukkan, penempatan TKI informal dari 2011 sampai 2014 turun, yaitu dari 320.611 pekerja menjadi 182.262 pekerja. Sementara di sektor formal, penempatan TKI pada 2014 lebih banyak daripada di sektor informal, yaitu 247.610 pekerja.
Jika melihat data makro tersebut, Indonesia memiliki “harapan” karena informal menurun dan cenderung bergerak ke arah sektor formal. Meski begitu, Sukamdi menekankan, perlu dilihat kembali apakah fakta-fakta ini berarti positif. Artinya, apakah persoalan ketenagakerjaan kemudian berkurang? Moratorium jelas membawa implikasi yang besar.
“Tenaga kerja perempuan dari Indonesia sebagian besar bekerja sebagai domestic worker. Dari sisi lain, kebijakan tersebut bisa jadi negatif. Perempuan yang tadinya ingin menjadi pekerja internasional kemudian tidak bisa karena moratorium,” kata Sukamdi.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Peneliti SMERU Research Institute, Palmira Bachtiar, M.A. juga mempertanyakan efektivitas dari kebijakan moratorium yang diberlakukan oleh pemerintah. Di tingkat nasional wacana yang berkembang akhir-akhir ini lebih banyak menyoroti tentang dampak negatif dari migrasi. Pemerintah juga cenderung reaktif terhadap kasus-kasus pekerja migran yang terjadi.
“Biasanya jika ada kasus, maka disikapi dengan moratorium. Sayangnya, langkah-langkah untuk perbaikan tata kelola tidak kelihatan dengan jelas. Bahkan, sudah ada kebijakan zero international domestic worker pada 2017 namun sampai saat ini belum ada roadmap atau petunjuknya sehingga kita belum tahu arah kebijakan ini nanti seperti apa,” kata Palmira.
Sejauh ini Indonesia telah menerapkan moratorium terhadap lima negara tujuan TKI, yaitu Malaysia, Kuwait, Yordania, Arab Saudi, dan Suriah. Moratorium terhadap Malaysia dilakukan pada 26 Juni 2009 sebagai respon atas kasus kematian Munti binti Bani. Di tahun yang sama moratorium juga diterapkan untuk negara tujuan Arab Saudi setelah kasus hukuman penggal terhadap TKI bernama Ruyati. Sementara larangan pengiriman TKI untuk Kuwait dan Yordania dilakukan karena usulan kenaikan standar gaji yang ditolak oleh pemerintah setempat. Untuk Suriah, larangan diberlakukan karena persoalan keamanan dan ketidakstabilan politik di negara tersebut.
Data statistik tentang jalur migrasi illegal tidak benar-benar ada sehingga sangat spekulatif jika mengharapkan kebijakan moratorium bisa menghentikan arus migrasi pekerja ke luar negeri. Tidak sedikit pekerja migran yang mampu menemukan caranya sendiri untuk terus datang ke negara-negara tujuan dengan biaya berapa pun. Pasca moratorium, ada dugaan bahwa para pekerja masih bisa ke negara-negara di Timur Tengah melalui Singapura dan Malaysia atau menggunakan visa umroh. Di Yordania bahkan penggunaan visa kedatangan dimungkinkan sehingga moratorium menjadi tidak efektif.
“Masih banyak yang abu-abu terutama penyelesaian kasus-kasus pekerja migran Indonesia. Masih menggantung, belum ada keputusan akhir, dan kondisinya sudah cukup lama seperti itu. Tentunya kita mulai bertanya, apakah moratorium itu efektif tanpa adanya langkah-langkah penanganan kasus sekaligus perbaikan tata kelola tadi?” kata Palmira lagi. [] Media Center PSKK UGM