Alumni Berperan Sebarkan Paham Radikalisme | Berita Satu

01 Desember 2016 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media

Jakarta, Berita Satu – Penetrasi paham radikalisme dan ekstremisme di sekolah dan perguruan tinggi, dinilai sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Selain guru, keterlibatan alumni ditengarai juga berkontribusi dalam penyebaran paham yang berpotensi mengancam keutuhan dan integrasi bangsa ini. Untuk itu, pemerintah diminta memprioritaskan upaya menangkalnya, agar generasi muda yang merupakan calon pemimpin bangsa tidak lahir menjadi generasi yang radikal.

Demikian pandangan pakar pendidikan Darmaningtyas, Program Manager Maarif Institute Helmy Pribadi, pengamat di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Mohammad Iqbal Ahnaf, serta peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin, Rabu (30/11).

Darmaningtyas menjelaskan, radikalisme dan ekstremisme di kalangan anak didik tumbuh secara evolutif. Pengaruhnya bukan hanya dari lingkungan sekolah, tetapi juga dari luar sekolah.

Menurutnya, hal yang juga harus diwaspadai adalah peran alumni yang kerap masih terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah dan kampus. Para alumni yang terlibat dalam kegiatan kerohanian, berpotensi menanamkan paham tersebut di kalangan juniornya.

Oleh karena itu, dia meminta Mendikbud dan Menristek Dikti mengeluarkan aturan tegas untuk memutus mata rantai alumni, khususnya dalam kegiatan kerohanian. “Serahkan pembinaan kerohanian kepada guru agama, dan harus yang sudah teruji paham kebangsaannya. Bisa juga sekolah mengundang ulama yang juga dikenal berwawasan kebangsaan. Jangan serahkan kepada alumni yang mayoritas juga sedang dalam proses pencarian jati diri,” tandasnya.

Darmaningtyas juga meminta agar perguruan tinggi menghapus jadwal asistensi agama bagi mahasiswa baru. Sebab, umumnya asistensi agama diisi oleh mahasiswa senior yang belum matang pemahaman agama dan visi kebangsaannya.

“Asisten agama itu tidak diperlukan. Yang diperlukan adalah seorang dosen agama yang dapat menjadi teladan baik perilaku maupun paham kebangsaannya. Menghapus program asistensi agama tidak melanggar HAM, karena tidak menghapus mata kuliah Pendidikan Agama,” tegasnya.

Sementara itu, Helmy Pribadi mengungkapkan, temuan Maarif Institute pada survei tahun 2011 menunjukkan fakta bahwa sekolah menjadi salah satu target penetrasi paham-paham radikal.

Pengawasan yang lemah dari internal sekolah memuluskan radikalisme merasuk ke anak didik. “Sekolah harus bisa mengawasi kelompok-kelompok yang masuk atau terlibat dalam kegiatan kerohanian anak didiknya,” katanya.

Dia mengingatkan, penetrasi paham radikal di sekolah kerap dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan kerohanian, terutama kegiatan ekstrakurikuler. “Kegiatan seperti itu sangat rentan dipenetrasi oleh kelompok radikal,” jelasnya.

Untuk itu, Helmy menegaskan, pemerintah harus menjadikan ancaman ini sebagai prioritas untuk diselesaikan. Sebab, penyebaran radikalisme dan ekstremisme sudah menjadi ancaman nyata yang berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan, serta memudarkan nilai-nilai kebinekaan dan toleransi antaragama. “Bagaimana tiap-tiap sekolah punya mekanisme pengawasan, ini yang seharusnya lebih diprioritaskan pemerintah untuk menyikapi kondisi saat ini,” ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, harus membangun pengawasan di unit sekolah, bukan sekadar di level kedinasan. Komite sekolah juga bisa dilibatkan untuk mengawasi aktivitas anak didik.

Selain itu, untuk menangkal paham radikal, kapasitas guru juga harus ditingkatkan. Tahun 2011, Maarif Institute melakukan pendampingan guru di empat kabupaten kota yakni Cianjur, Yogyakarta, Solo dan Pandeglang. “Guru dibantu menyusun materi pengayaan untuk pendidikan karakter, agama Islam, serta pendidikan kewarganegaraan tentang HAM, demokrasi, toleransi, dan keterbukaan,” ungkapnya, paparnya.

Pendampingan juga dilakukan di kalangan pelajar, dengan menggelar jambore pelajar se- Jawa. “Melalui intervensi ini, pelajar saling berjumpa dan memahami heterogenitas. Pengalaman berharga itu melampui pengetahuan. Misalnya, bagaimana mengenal aktivitas keagamaan rekan yang berbeda keyakinan, bagaimana rumah ibadahnya, sehingga toleransi menjadi hal berharga bagi para siswa,” jelasnya.

Gerakan Moderat

Secara terpisah, Iqbal Ahnaf mengingatkan, paham radikal di kalangan terdidik dipengaruhi pola-pola kepribadian seperti krisis identitas hingga ketidakberdayaan menghadapi tuntutan kebutuhan. Faktor-faktor pribadi inilah yang menjadi pintu masuk bagi kelompok-kelompok radikal dalam merekrut kader.

“Organisasi radikal sangat piawai memanfaatkan peluang. Mereka menyebarkan ajarannya tidak melalui pemaparan langsung terhadap wacana ideologi, tetapi dengan ajakan makan bersama, ikut seminar, hingga menawarkan beasiswa, tanpa menunjukkan simbol-simbol kelompok radikal,” jelasnya.

Sedangkan, Muhadjir Darwin mengatakan paham radikalisme yang cenderung menyasar generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa, juga ditopang oleh redupnya politik keagamaan yang moderat, dan maraknya politik keagamaan radikal di panggung politik praktis nasional. Karena itu, karakter yang pas untuk menghidupkan kembali nilai-nilai moderat itu adalah melalui ormas keagamaan yang moderat juga. “Ormas semacam ini yang mampu menahan derasnya arus radikalisasi,” jelasnya.

Senada dengan yang lain, Muhadjir juga mengingatkan fenomena radikalisasi di kalangan terdidik jangan dibiarkan. “Sangat disayangkan jika radikalisasi dibiarkan. Jika tidak dihentikan, Indonesia akan terjerembab ke dalam situasi seperti di Balkan atau Timur Tengah. Poso dan Maluku telah mengalaminya,” ungkapnya. [] Fuska Sani Evani/Ari Supriyanti Rikin/ALD

*Sumber: Berita Satu