Yogyakarta, PSKK UGM – Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sejak 1990 sampai 2010 mengalami stagnasi pada angka 1,4 persen. Kondisi ini tentu saja berdampak pada terus meningkatnya jumlah penduduk hingga pada 2010 (sensus penduduk), jumlah penduduk Indonesia dinyatakan sekitar 237,6 juta jiwa dan diperkirakan pada 2015 menjadi 255,5 juta jiwa.
Stagnasi demografi juga terjadi pada parameter fertilitas. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, angka total fertility rate (TFR) Indonesia konsisten pada angka 2,6 sejak 2002 hingga 2012. Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta, selama rentang waktu yang sama, TFR justru mengalami peningkatan dari angka 1,8 menjadi 2,1.
Menurut Teori Fertilitas yang diungkapkan oleh Kingsley Davis dan Judith Blake, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fertilitas adalah usia kawin pertama. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 misalnya menunjukkan, sebanyak 4,8 persen usia perkawinan pertama pada usia 10-14 tahun dan sebanyak 41,9 persen pada usia 15-19 tahun. Untuk angka kelahiran menurut kelompok umur (Age-Spesific Fertility Rate – ASFR) 15-19 tahun pada 2012 berada pada angka 48 dan masih lebih rendah dibandingkan dengan ASFR 2007. Namun, penurunan ASFR ini masihlah jauh dari target yang ditetapkan, yaitu 30 kelahiran per 1000 wanita.
Permasalahan kesehatan perempuan berawal dari masih tingginya angka usia perkawinan pertama. Sebanyak 7 persen kasus kematian pada ibu melahirkan dialami oleh para ibu yang berusia kurang dari 20 tahun.
Pernikahan usia dini (PUD) sebagai akibat dari seks pra nikah pun berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan remaja. Ini bahkan menjadi efek domino yang berkepanjangan. Kestabilan rumah tangga kemudian dipertaruhkan karena berdiri pada fondasi keluarga yang tidak kokoh. Ini juga memperpanjang rantai kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga penularan penyakit kelamin apabila PUD menjadi pilihan. Namun, saat pernikahan tidak menjadi solusi, maka yang terjadi adalah aborsi dan ancaman angka kematian ibu karena melahirkan.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Dr. Umi Listyaningsih, M.Si. mengingatkan bahwa kemiskinan sebetulnya bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi terjadinya PUD. Tingkat partisipasi pendidikan yang rendah dan budaya menjadi faktor lain yang perlu untuk diperhatikan pula. Beberapa remaja di Gunungkidul misalnya, melakukan PUD bukan karena telah hamil di luar nikah.
“Orang tua beranggapan, setelah menikahkan anaknya maka beban ekonomi keluarga akan berkurang, namun kenyataannya tidak demikian. Saat pasangan PUD memiliki anak, pengasuhannya pun akhirnya diserahkan kepada orang tua karena jiwa dan pemikiran mereka yang masih kekanak-kanakan. Fondasi ekonomi keluarga muda ini sangat rapuh atau dengan kata lain, PUD mendorong munculnya keluarga miskin baru,” kata Umi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Kabupaten Gunungkidul, di Semanu, Rabu (16/12).
Partisipasi sekolah yang rendah juga menjadi faktor penyebab PUD. Sekitar 53 persen remaja di Desa Saptosari berpendidikan SD dan SMP dan sudah tidak bersekolah lagi.
“Keinginan untuk berusaha dan pantang menyerah sangat kurang. Sudah tidak bisa lagi belajar menjadi alasan untuk tidak meneruskan pendidikan sehingga kurang tepat jika rendahnya partisipasi sekolah di Gunungkidul selalu dikaitkan dengan kemiskinan,” kata Umi lagi di tengah diskusi yang dihadiri oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut.
Berangkat dari pengaruh PUD yang menyebar (spread effects) ini, Kepala Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Sujarwo kemudian membuat gebrakan untuk memotong rantai pernikahan usia dini di wilayahnya, yakni dengan membuat deklarasi pelajar. Para pelajar diminta untuk membuat surat pernyataan tidak melakukan seks pranikah dan pernikahan usia dini. Cara ini ternyata cukup berhasil menekan angka pengajuan dispensasi menikah dari rata-rata 18 kasus per tahun. Pada Desember 2015 baru ada satu kasus karena hamil di luar nikah.
Camat Saptosari dinilai berhasil membuat kerjasama yang sinergis antara unsur pemerintah (kecamatan, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Kesehatan) dengan tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Para tokoh masyarakat dan agama memiliki komitmen untuk tidak bersedia membantu melamarkan atau menikahkan pasangan pernikahan usia dini. Sementara KUA dan kecamatan melakukan upaya pengetatan surat permohonan maupun penerbitan akta nikah.
Adapun gebrakan ini menggunakan swadana dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dan masyarakat. Namun begitu, hal ini turut membuktikan bahwa pada dasarnya masyarakat dapat mendukung penuh sebuah program apabila memahami tujuan dan manfaat dari program tersebut, sekaligus melihat adanya komitmen dan tanggung jawab dari para pejabat pelaksananya. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi PUD/BKKBN Jateng