JAKARTA, Sinar Harapan – Jumlah penduduk terus bertambah, namun Bumi tempat berpijak tidak bertambah. Mengatasi ini, Tiongkok—negara dengan penduduk terpadat di dunia melakukan proyek ambisius: meratakan gunung-gunung untuk menambah lahan.
Idenya sederhana: memotong bagian atap gunung dan menggunakannya untuk menutupi lembah dan membuat semuanya rata dengan tanah, hingga menjadi lahan yang bisa ditempati.
Jurnal sains dan lingkungan, Nature, melaporkan puluhan hektare tanah telah diratakan untuk membangun kota-kota di di Chongqing, Shiyan, Yichang, Lanzhou, dan Yan’an, dengan membabat gunung-gunung.
Selain memberi tempat untuk penduduk, diharapkan lahan-lahan baru ini akan menambah pemasukan melalui penjualan dan penyewaan dan juga akan memberi lebih banyak ruang untuk pertanian.
Namun, tentu saja semuanya tidak seenteng kedengarannya. Menurut artikel tersebut, para insinyur memangkas gunung-gunung tanpa membuat kajian terlebih dahulu.
“Konsekuensi dari program-program ini belum pernah terjadi sebelumnya dan belum memikirkan—secara lingkungan, teknis, atau ekonomis. Ada begitu sedikit model pembiayaan dan manfaat dari penciptaan lahan ini.”
Seluruh proses diprediksi hanya menimbulkan bencana lingkungan dan teknis. Peluang bencana di semua titik begitu tinggi akibat penelitian yang begitu miskinnya. Keahlian yang dipadukan dengan ketergesaan dan sikap putus asa untuk menciptakan lebih banyak lahan membuat proyek ini seolah menutup mata terhadap berbagai implikasi.
Di Yan’an misalnya, puncak-puncak gunungnya terbentuk dari cadangan debu tebal berusia jutaan tahun yang tertiup angin. Kondisi ini baru diketahui tiga bulan setelah konstruksi mulai dibangun. Nature menjelaskan bahwa “tanah yang lunak itu dapat lembek ketika basah dan membuat bangunan itu ambruk,” sesuatu yang dapat menyebabkan biaya yang lebih besar atau risiko keselamatan.
Di kota Shiyan, mengubah bukit-bukit menjadi daratan telah menyebabkan longsor dan banjir. Inisiatif mengalihkan air ke kanal berujung erosi tanah hebat dan menumpukkan endapan tanah ke sumber-sumber air lokal.
“Proyek-proyek menciptakan lahan telah menyebabkan polusi air dan udara, erosi tanah dan kerusakan geologis berat. Merusak hutan dan tanah pertanian dan membahayakan hewan liar dan tanaman,” Nature menjelaskan. “Banyak proyek penciptaan lahan di Tiongkok mengabaikan peraturan lingkungan, karena pemerintah lokal cenderung memprioritaskan menghasilkan uang daripada melindungi alam.”
Namun, tidak ada bukti meratakan gunung adalah langkah yang menguntungkan. Proyek 10 tahun yang menelan dana hingga 16 miliar dolar ini setidaknya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk balik modal. Butuh minimal satu dekade untuk menstabilkan tanah lunak yang dipakai menutupi lembah sebelum mulai pembangunan. Pada saat itu, menurut Nature, investor bisa kehilangan kesabaran atau bahkan menunda proyek.
Jadi, Tiongkok perlu berpikir bahwa memindahkan gunung-gunung benar-benar tidak semudah kedengarannya. Untuk memperbaiki situasi tersebut, artikel tersebut menunjukkan, pihak Negeri Tirai Bambu perlu mengalokasikan dana untuk penelitian dari ahli geologi dan hidrogeologis. Tak itu saja, perlu bekerja sama dengan badan-badan internasional yang memiliki keahlian yang tepat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan raksasa itu dengan benar. Juga, pemerintah harus bekerja sama dengan para ekonom untuk mengkalkulasikan apakah proyek itu cukup menguntungkan sebelum menghancurkan tanah.
Pekerjaan konstruksi yang memprihatinkan ini terus berlangsung. Perlu menerapkan seperangkat pedoman sebelum menebas puncak gunung untuk membuka jalan bagi lebih banyak kota besar. Namun, meyakinkan pemerintah lokal untuk mengadopsinya adalah tugas yang bahkan lebih sulit, menurut Nature.[] Albertina S. Calemens
*Sumber: Sinar Harapan, 6 Juni 2014 | Foto: AP