
KOMPAS — Upaya mengendalikan jumlah penduduk sebagai program nasional mulai dicanangkan pemerintah sejak 29 Juni 1970. Lebih dari empat dekade kemudian, program yang populer dengan sebutan Keluarga Berencana ini sukses membingkai pola pikir rakyat Indonesia. Jargon "dua anak cukup" meresap dalam persepsi publik sebagai potret keluarga ideal.
Keluarga Berencana (KB) sejatinya telah dirintis sejak tahun 1957. Mulanya, program ini melekat sebagai urusan kesehatan di bawah instansi terkait. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti dengan tingginya angka kematian ibu serta buruknya tingkat kesehatan reproduksi, KB bergeser menjadi urusan kependudukan.
Pencanangan KB sebagai program nasional diteguhkan dengan pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). KB diakomodasi sebagai salah satu upaya mewujudkan keluarga sehat dan berkualitas merujuk pada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. KB dimaknai sebagai upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, serta mengatur kehamilan.
Sosialisasi program KB di masyarakat, merujuk pada hasil pengumpulan opini Kompas, terbilang cukup efektif. Berbagai instansi, baik negeri maupun swasta, turut berpartisipasi dalam menyemai informasi tentang KB melalui berbagai media.
Tak heran mayoritas publik yang termasuk dalam rentang usia siap menikah, yaitu 24 tahun ke atas, mengaku pernah mendapatkan penyuluhan atau informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan KB.
Pemahaman tentang KB sedikit banyak memengaruhi persepsi dan opini tentang keluarga, mulai dari menetapkan jumlah anak yang akan dimiliki hingga penggunaan alat kontrasepsi yang berfungsi sebagai pengatur kehamilan.
Faktor usia dan tingkat pendidikan berkontribusi pula terhadap cara pandang publik dalam membina keluarga yang lebih terencana. Dalam konteks ini, KB tak sekadar sebagai program pemerintah semata, tetapi lebih jauh sebagai pijakan pola pikir publik tentang keluarga.
Antusiasme KB
Seiring dengan pergeseran zaman, pola komunikasi dalam keluarga kini cenderung lebih terbuka. Demikian pula dalam membicarakan hal-hal terkait keluarga berencana, yaitu perencanaan dalam membangun keluarga bersama pasangan (istri atau suami).
Dalam menentukan jumlah anak, misalnya, mayoritas responden mengaku mendiskusikan keinginannya dengan pasangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin terbuka sikap mereka dalam membicarakan hal itu dengan pasangannya.
Demikian pula halnya pandangan tentang penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga. Sebagian besar publik tidak keberatan jika pasangan mereka menjadi akseptor atau pengguna alat kontrasepsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin mereka mendukung pasangan menjadi akseptor KB aktif.
Sikap publik ini sejalan dengan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Merujuk SDKI 2012, tren prevalensi penggunaan kontrasepsi di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2012 cenderung meningkat.
Tak dimungkiri, pelaksanaan program KB yang telah berlangsung hampir separuh abad di Indonesia berhasil membentuk pola pikir masyarakat sehingga sikap yang diambil cenderung menyukseskan program tersebut. Salah satu yang paling berhasil adalah internalisasi pemahaman tentang jumlah anak yang pantas bagi keluarga Indonesia.
Simpulan ini terungkap dari pendapat publik tentang jumlah anak yang sebaiknya dipunyai sebuah keluarga ideal. Mayoritas publik bersepakat dua anak adalah jumlah yang sesuai dengan konsep keluarga ideal. Hasil ini menunjukkan tingginya tingkat keberhasilan sosialisasi program KB selama ini.
Perencanaan berkembang
Meskipun secara umum konsep program KB terserap efektif oleh publik, terdapat beberapa hal terkait perencanaan keluarga yang berkembang sesuai dengan zaman. Konsep pembatasan jumlah anak yang sukses disemai melalui jargon "dua anak cukup", misalnya, tidak sepenuhnya diterima sebagai hal yang baku. Terbukti, sebagian besar responden (65,8 persen) tidak menafikan wacana jumlah anak yang bisa dipunyai suatu keluarga, bisa lebih dari dua orang.
Demikian pula halnya persepsi bahwa anak laki-laki atau perempuan sama, yang ternyata tak seutuhnya dimaknai sempurna oleh publik. Separuh responden, misalnya, cenderung setuju sebuah keluarga dapat menambah anak lagi jika belum punya keturunan laki-laki. Secara tidak langsung hal itu menyiratkan bahwa anak perempuan tidak setara dengan anak laki-laki.
Konstruksi program KB yang paling kentara adalah dalam hal "subyek" KB. Tak terelakkan, perjalanan panjang program KB menempatkan perempuan sebagai subyek atau sasaran utama yang menjadi pengguna alat kontrasepsi. Perempuan ditempatkan sebagai "kunci" atas keberhasilan program KB dalam keluarga. Secara tidak langsung, sesungguhnya perempuan menjadi "obyek". Hal itu diakui pula oleh sebagian besar publik bahwa istrilah yang semestinya menggunakan alat kontrasepsi.
Namun, publik jajak pendapat tak menampik jika pihak suami juga menggunakan alat kontrasepsi KB. Mereka cenderung bersikap terbuka bila laki-laki memutuskan untuk berperan lebih aktif sebagai akseptor KB dalam keluarga. | NURUL FATCHIATI (LITBANG KOMPAS)
*Sumber: Harian Kompas (6/7) | Ilustrasi perkawinan dini/BKKBN Jateng