[JAKARTA] Meski 69 tahun sudah merdeka, jutaan penduduk Indonesia masih belum bisa mengakses air bersih dan sanitasi yang layak. Bappenas melaporkan saat ini ada sekitar 120 juta orang Indonesia belum mengakses sanitasi yang layak.
Direktur Pemukiman dan Perumahan Bappenas, Nugroho Tri Utomo, menjelaskan sejak merdeka sampai sekarang, akses terhadap sanitasi yang layak baru sebesar 61,1% dan air minum 67,8% penduduk. Dalam lima tahun terakhir tren kenaikan cukup drastis, setelah sebelumnya pada 2000-2009 stagnan. Namun, angka capaian ini belum cukup memadai.
Dalam lima tahun ke depan (2015-2019) pemerintah berencana menutup gap tersebut, yaitu memenuhi akses sanitasi layak bagi 120 juta (40,3%) penduduk dan air minum untuk 100 juta (32,3%) jiwa. Pemerintah sendiri menargetkan pada tahun 2019 tercapai akses universal air minum dan sanitasi layak 100% atau bagi seluruh penduduk.
“Percepatan pemenuhan air minum dan sanitasi harus dilakukan supaya target universal akses pada 2019 bisa tercapai. Upaya yang kita lakukan harus ditingkatkan tiga kali lipat dari yang sudah kita lakukan dalam lima tahun ini,” kata Tri Utomo pada acara temu media di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (2/9). Hadir pula Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Wilfried Purba, dan perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Ada pun skenario akses universal 100% pada tahun 2019, dijelaskan Tri Utomo, yaitu 85% memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM), dan 15% lagi untuk kebutuhan dasar. Untuk SPM, paling tidak satu orang memperoleh 60 liter air bersih per hari diperuntukkan buat kebutuhan sekunder, seperti bersihkan rumah, cuci mobil, dan lainnya. Sedangkan untuk kebutuhan dasarnya, yaitu konsumsi, seperti makan, minum dan masak adalah 15 liter per orang per hari.
Itu artinya, untuk sementara dalam lima tahun ke depan kebutuhan sekunder menggunakan air yang belum memenuhi kriteria empat k, yaitu kuantitas cukup, kualitas baik, kontinyu atau kapan saja dibutuhkan bisa diperoleh dalam waktu maksimum 30 menit dan keterjangkauan bisa diperoleh.
“Bila keempat ini tidak terpenuhi maka warga negara belum mendapatkan akses SPM yang baik. Tetapi untuk konsumsi harus dan wajib dipenuhi,” katanya.
Demikian pula dengan sanitasi layak dengan skenario air limbah 85% dengan sistem on site dan 15% sistem off site yang diperbaiki. Sedangkan persampahan di perkotaan ditargetkan 20% fasilitas reduksi sampah, dan 80% penanganan sampah.
Tri Utomo menambahkan, sehebat apapun pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sebuah negara bila sanitasi dan air minum sebagai kebutuhan dasar tidak terpenuhi, maka belum dikatakan maju. Bila Indonesia ingin menjadi negara berpenghasilan menengah dan maju, konsekuensinya adalah tidak ada lagi masalah air minum dan sanitasi.
Tetapi, menurut Tri Utomo, kesempatan untuk perbaikan itu masih terbuka lebar pada Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tinggal mengingatkan kembali pentingnya isu ini dan menguatkannya dalam kebijakan RPJM yang baru.
“Dari semua kebutuhan dasar yang ada paling hakiki adalah pangan, air minum, sanitasi, perumahan. Jangan pernah mimpi ada negara di dunia mau maju, tetapi masih ada masalah dengan air minum dan sanitasi,” katanya.
Sebetulnya, dijelaskan Tri Utomo, Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional telah mengamanatkan agar pemenuhan kebutuhan dasar dipenuhi pada RPJM ketiga, yaitu 2010-2014 dan boleh dimantapkan lagi pada akhir RPJM. Itu artinya, tahun 2020 tidak ada lagi kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, termasuk air minum dan sanitasi.
Wilfried Purba menambahkan, berdasarkan hasil Riskesdas 2013, masih ada 40,2% penduduk Indonesia belum mendapatkan akses air sanitasi yang layak. Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp56,7 triliun per tahun akibat kondisi sanitasi buruk.
Kajian WHO menyebutkan setiap US$1 yang diinvestasikan untuk perbaikan sanitasi memberikan imbal hasil (return) paling sedikit sebesar US$8. Sedangkan dengan modifikasi lingkungan, termasuk sanitasi total berbasis masyarakat, dapat menurunkan angka penyakit diare sebesar 94%. [D-13/N-6]
*Sumber: Suara Pembaruan | Foto: Istimewa