Jokowi-JK mewacanakan pembentukan sebuah kementerian baru, yakni Kementerian Kependudukan. Sesuai dengan namanya, kementerian ini direncanakan bakal berfokus pada persoalan kependudukan. Bila direalisasi, hal ini dapat memberikan solusi atas salah satu permasalahan mendasar negeri ini: lemahnya kualitas data kependudukan.
Tak bisa ditampik, selama ini data kependudukan yang ada masih memiliki sejumlah kelemahan, antara lain ihwal ketepatan waktu (timelines) serta ketersediaan data individu yang lengkap dan mutakhir. Akibatnya, perencanaan kebijakan acap kali tak maksimal. Pelaksanaan pembangunan juga tidak efisien dan efektif, serta banyak program pemerintah yang meleset dari sasaran (Razali Ritonga, 2009). Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang selalu berulang menjelang pemilihan umum, dan kebocoran (salah sasaran) yang terjadi pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT), adalah buktinya.
Ditengarai, salah satu sumbu persoalannya adalah tidak adanya satu instansi khusus yang benar-benar berfokus mengurusi data kependudukan. Seperti diketahui, hingga kini data kependudukan tersebar dan ditangani oleh banyak instansi, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Selama ini, data kependudukan juga terkesan diabaikan. Hal ini tecermin dari karut-marutnya pelaksanaan registrasi penduduk. Padahal, jika dilakukan dengan benar, registrasi penduduk merupakan sumber utama data kependudukan-selain sensus dan survei-yang memenuhi standar ketepatan waktu dan kelengkapan data individu. Fakta di lapangan menunjukkan, pelaksanaan registrasi penduduk-yang semestinya mencatat tiap kejadian yang dialami penduduk (lahir, mati, dan pindah) secara real time-kurang mendapat perhatian.
Pembentukan Kementerian Kependudukan juga merupakan hal yang sangat urgen untuk saat ini karena Indonesia sedang menikmati "bonus demografi". Suatu kondisi kependudukan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan 65+ tahun). Struktur penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada mengecilnya rasio ketergantungan atau angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk usia produktif.
Hasil proyeksi BPS memperlihatkan, kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade mendatang. Setelah 2031, angka beban tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan memasuki periode "utang demografi", yang ditandai dengan struktur penduduk yang didominasi kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).
Bonus demografi merupakan jendela peluang (opportunity window) bagi Indonesia. Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, hal itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Karena itu, agar tidak kehilangan momentum dan terhindar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), sejumlah kebijakan strategis, utamanya investasi modal manusia, harus diambil oleh pemerintah mendatang. Dan, hal ini bakal sulit dilakukan tanpa dukungan data kependudukan yang berkualitas sebagai pijakan. [] Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
*Sumber: TEMPO Online | Foto: Istimewa