
TEMPO.CO, Jakarta – Majelis Rohani Nasional Baha'i Indonesia menyambut baik upaya pemerintah untuk memperjelas status administrasi negara terhadap agama yang mereka anut. "Kami menyambut dengan rasa syukur," ujar anggota Hubungan Masyarakat Majelis Rohani Nasional, Sheila Soraya, Kamis, 7 Agustus 2014.
Keberadaan para pemeluk agama Baha'i kembali diperbincangkan setelah Kementerian Dalam Negeri menyurati Kementerian Agama untuk meminta pandangan. Langkah itu diperlukan agar pemerintah dapat memfasilitasi hak dan layanan kependudukan mereka sesuai sistem administrasi kependudukan.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin sempat menyinggung sikapnya lewat akun Twitter-nya, @lukmansaifuddin. Menurut dia, Baha'i merupakan agama yang dilindungi konstitusi. Karena itu, umat Baha'i mestinya berhak mendapat pelayanan kependudukan yang sama seperti pemeluk agama lain.
Majelis Rohani merasa bersyukur dengan sikap yang diambil Menteri Agama. Sebab, sistem yang berlaku dalam administrasi kependudukan saat ini masih menempatkan para pemeluk Baha'i sebagai kelompok anonim. "Identitas mereka tak terdeteksi dalam database kependudukan," kata Sheilla.
Nihilnya pengakuan negara juga berdampak pada penolakan layanan akta pencatatan nikah. Begitu pun dengan anak yang mereka lahirkan. Status mereka dianggap sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. "Masyarakat banyak yang belum mengenal keberadaan kami," katanya.
Baha'i adalah agama yang berdiri sendiri dan bukan aliran atau sekte dari agama apa pun. Agama ini telah dianut di 191 negara dan memiliki perwakilan formal non-pemerintahan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di Indonesia, agama ini pertama kali masuk sekitar tahun 1885 dan kini tersebar di 28 provinsi.
Sebagai agama yang mandiri, Baha'i memiliki Pembawa Wahyu, kitab suci, hukum-hukum, dan tata peribadatannya sendiri. Inti ajaran Baha'i menyangkut keesaan Tuhan, ketunggalan umat manusia, dan visi perdamaian dunia. Para pemeluknya tidak terlibat dalam politik praktis dan menyatakan kesetiaan terhadap pemerintahan yang sah.
Anggota Hubungan Masyarakat Majelis Rohani Nasional yang lain, Rahmi Alfiah Nur Alam, menjelaskan pengakuan negara mestinya tak terbatas pada enam agama yang diakui saat ini. "Mahkamah Konstitusi sudah membuat penafsiran tentang kemajemukan agama dan kewajiban negara menjamin perlindungan hak bagi setiap pemeluk agama," katanya. [] Riky Ferdianto
*Sumber: TEMPO