PSKK UGM – Praktik sunat perempuan atau Pemotongan/Perlukaan Genital Perempuan (P2GP) masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 6 Tahun 2014 yang secara tegas melarang tenaga kesehatan melakukan tindakan tersebut, namun implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan. Survei PSKK UGM (2017) menunjukkan bahwa 38 persen praktik P2GP tetap dilakukan oleh tenaga medis, memperlihatkan bahwa regulasi formal tidak serta-merta mengubah praktik sosial yang telah berakar kuat.
Di sisi lain, keberlanjutan P2GP tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial-budaya masyarakat. Walaupun praktik ini telah dinyatakan tidak memiliki manfaat medis dan bahkan berisiko menimbulkan dampak kesehatan, P2GP tetap dipertahankan oleh berbagai komunitas. Survei P2GP PSKK UGM (2017) menemukan bahwa 96,9 persen perempuan dalam rumah tangga yang disurvei pernah mengalami P2GP, dan 97,2 persen ibu yang pernah disunat memilih untuk melakukannya kembali pada anak perempuan mereka. Tingginya angka tersebut memperlihatkan bahwa P2GP bukan sekadar pilihan individu, melainkan tradisi yang terinstitusionalisasi.
Fenomena ini dapat dibaca menggunakan perspektif Pierre Bourdieu tentang reproduksi kultural, yakni mekanisme ketika nilai, tradisi, dan praktik sosial diwariskan lintas generasi melalui proses simbolik yang membuatnya tampak “alami” dan tak terbantahkan. Dalam konteks P2GP, tubuh perempuan berfungsi sebagai arena simbolik tempat nilai-nilai budaya direproduksi dan dilegitimasi. Dengan demikian, keberlanjutan praktik ini bukanlah semata karena ketidaktahuan masyarakat terhadap risiko kesehatan, tetapi lebih terkait pada kuatnya struktur budaya, norma kesopanan, keyakinan religius, serta tekanan sosial untuk mempertahankan tradisi yang dianggap bagian dari identitas komunal.
Agama dan Tradisi yang Menguatkan Praktik
Survei P2GP PSKK UGM (2017) menegaskan betapa kuatnya mata rantai pewarisan tradisi dalam praktik sunat perempuan di Indonesia. Dua faktor dominan yang menopang keberlanjutannya adalah agama dan adat istiadat. Lebih dari 92 persen pasangan suami-istri dalam survei tersebut meyakini bahwa P2GP merupakan bagian dari ajaran agama, sementara 70–78 persen menyebutnya sebagai tradisi yang patut dijaga. Dalam banyak komunitas, praktik ini tidak hanya berupa tindakan fisik, tetapi menyatu dengan ritual keagamaan dan adat yang memberi makna sakral bagi proses tersebut.
Beragam contoh memperlihatkan bagaimana praktik ini dikemas secara simbolik, seperti cubit kodo di Gorontalo, pembacaan syahadat sebelum tindakan di Aceh, hingga prosesi pemotongan jengger ayam di Takalar. Survei PSKK juga menunjukkan bahwa 62,5 persen rumah tangga menggabungkan P2GP dengan ritual keagamaan, dan 55,4 persen melengkapinya dengan upacara adat. Ketika praktik dibingkai oleh simbol dan ritus, ia memperoleh legitimasi moral yang sulit ditandingi.
Di samping faktor agama dan adat, tekanan sosial turut memperkokoh keberlangsungan P2GP. Banyak orang tua merasa khawatir anak perempuan mereka akan dianggap “belum sempurna secara agama” atau “tidak mengikuti adat” bila tidak disunat. Stigma ini membuat keluarga enggan menolak tradisi, meskipun sebagian dari mereka sebenarnya ragu atau tidak memahami sepenuhnya konsekuensinya.
Menariknya, temuan survei PSKK UGM menunjukkan bahwa keputusan untuk melakukan P2GP justru banyak berada di tangan perempuan sendiri. Sebanyak 70 persen keputusan diambil oleh ibu, dan 16 persen oleh nenek. Hal ini menggambarkan betapa dalamnya nilai budaya dan norma sosial mengakar, sehingga perempuan bukan hanya menjadi objek praktik, tetapi juga aktor penting dalam mereproduksi tradisi yang berdampak pada tubuh perempuan.
Medikalisasi dan Tantangan Kebijakan
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 yang secara tegas melarang tenaga kesehatan melakukan praktik P2GP. Namun, regulasi ini belum sepenuhnya efektif di lapangan. Fakta bahwa praktik sunat perempuan masih kerap dilakukan oleh tenaga medis menunjukkan bahwa aturan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya.
Fenomena ini dikenal sebagai medikalisasi, yaitu ketika praktik tradisional dipindahkan ke fasilitas kesehatan agar tampak lebih aman atau dapat diterima. Padahal, perpindahan lokasi tindakan sama sekali tidak mengurangi risiko maupun menambah manfaat. Medikalisasi justru memberi legitimasi baru bagi praktik yang sebenarnya tidak didukung bukti medis dan bertentangan dengan prinsip kesehatan reproduksi.
Situasi tersebut memperlihatkan besarnya pekerjaan rumah pemerintah, terutama dalam memastikan regulasi benar-benar diterapkan. Pengawasan terhadap tenaga kesehatan masih lemah, dan informasi mengenai pelarangan P2GP tidak sepenuhnya tersampaikan kepada masyarakat. Selain itu, koordinasi lintas sektor belum optimal, sementara pendekatan yang memahami konteks sosial budaya lokal masih terbatas.
Menghapus praktik P2GP jelas tidak dapat dilakukan hanya melalui larangan formal. Perubahan sosial menuntut strategi yang lebih komprehensif, terutama karena praktik ini bertahan sebagai bagian dari struktur budaya yang diwariskan lintas generasi. Tubuh perempuan, dalam konteks ini, sering menjadi lokasi tempat tradisi dilekatkan dan dipertahankan.
Karena itu, kebijakan pelarangan perlu diiringi dengan langkah-langkah yang menyentuh akar persoalan. Tokoh agama dan tokoh adat harus dilibatkan secara aktif untuk membangun pemahaman baru dalam komunitas. Edukasi kesehatan reproduksi di keluarga, sekolah, dan ruang komunitas harus diperkuat, begitu pula komunikasi perubahan perilaku yang sensitif terhadap budaya.
Di sisi lain, fasilitas kesehatan harus berada di garis depan perubahan dengan memastikan bahwa tenaga medis benar-benar patuh pada regulasi. Pengawasan yang ketat, mekanisme pelaporan, serta sanksi yang tegas menjadi kunci untuk menghentikan medikalisasi.
Pemerintah juga perlu mendorong penelitian lokal untuk memahami variasi praktik dan motif sosial yang melatarinya. Pendekatan berbasis komunitas dan kolaboratif lebih efektif dibanding kebijakan yang hanya mengandalkan larangan administratif.
Pada akhirnya, meninjau ulang praktik P2GP bukan berarti menolak budaya, tetapi memastikan bahwa tradisi tidak merugikan perempuan yang menjadi bagiannya. Dengan dialog yang inklusif dan edukasi berbasis bukti, masyarakat memiliki peluang untuk meninggalkan praktik yang tidak lagi selaras dengan nilai keselamatan, kesehatan, dan martabat manusia
***
Penulis: Sri Purwatiningsih, S.Si., M.Kes. | Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
Editor: Dr. Sumini., M.Si. | Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
Ilustrasi: M. Affen Irhandi/PSKK UGM