Tag: pendidikan

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

Akademisi UGM: Soal Kependudukan Perlu Ditangani Kementerian Khusus

RMOL. Ada beberapa pemikiran mendasar yang perlu dimiliki oleh Jokowi dan Jusuf Kalla selaku Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2014-2019, serta Tim Transisi dalam menyusun struktur kabinetnya.

Pertama, melihat isu pembangunan apa yang akan mengemuka baik pada level nasional maupun level global dalam tahun-tahun mendatang. Dinamika pembangunan di Indonesia menunjukkan kompleksitas yang sesungguhnya membutuhkan strategi multisektor. Karena itu, dasar pemikiran kedua adalah pemerintahan baru perlu menyusun model kelembagaan yang mampu mengakomodasi strategi dan kerja multisektor.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna, mengatakan, ada enam isu utama yang menjadi tantangan pembangunan bagi pemerintahan baru Jokowi-JK, yakni isu sumber daya manusia (kualitas, kuantitas, pergerakan atau mobilitas), isu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, isu infrastruktur, isu pangan dan energi, isu daya dukung dan pelestarian lingkungan, isu demokrasi dan hak asasi manusia atau HAM. 

Isu-isu ini seharusnya menjadi "payung" bagi setiap kementerian dalam menyusun, menjalankan, hingga mengevaluasi kebijakan serta strateginya.

"Setiap isu besar memiliki beberapa dimensi yang bisa menjadi dasar dalam penyusunan kabinet, termasuk kementerian. Isu SDM misalnya, ada dimensi pendidikan, kesehatan, kependudukan, agama, dan ketenagakerjaan. Untuk keempat dimensi SDM tersebut, kecuali kependudukan, sudah ada kementerian khusus yang menanganinya. Lalu bagaimana dengan dimensi kependudukan?" ujar Hadna dalam rilis yang dikirim Media Center PSKK UGM.

Dimensi kependudukan merupakan isu besar SDM. Hampir semua masalah pembangunan berpusat pada manusia (people centered development), selalu bermula dari persoalan kependudukan, seperti kuantitas penduduk, kualitas penduduk, mobilitas atau pergerakan penduduk, dan keluarga.

Persoalan kuantitas penduduk terkait dengan pengendalian jumlah penduduk. Sementara persoalan kualitas penduduk terkait dengan persoalan lain seperti pendidikan, kesehatan, mental, dan kultural. Untuk persoalan mobilitas penduduk atau migrasi berkaitan dengan pergerakan penduduk antarwilayah, termasuk masalah ketenagakerjaan. Kemudian untuk persoalan keluarga terkait dengan kualitas, dan perlindungan anggota keluarga, terutama bagi mereka yang rentan seperti anak-anak, perempuan, difabel, dan sebagainya.

"Jika telah memahami betapa pentingnya masalah kependudukan, maka sudah selayaknya persoalan kependudukan kembali menjadi perhatian bagi pemerintah khususnya di masa kepemimpinan Jokowi-JK nanti. Saya pikir, persoalan kependudukan perlu ditangani oleh sebuah kementerian tersendiri," ujar Hadna. [] Aldi Gultom

*Sumber: Rakyat Merdeka | Foto: cpps

Perlu Kualitas SDM untuk Nikmati Bonus Demografi

Media Indonesia — UNTUK mengantisipasi ancaman kegagalan pemanfatan bonus demografi, sejumlah faktor penentu keberhasilan harus dibenahi. Faktor-faktor penentu itu ialah penanganan anak di usia sekolah, peningkatan etos kerja, pendidikan kewirausahaan, dan penekanan kompetensi soft skills.

''Selain itu, harus dicermati pula peningkatan derajat kesehatan, pemberdayaan perempuan agar dapat masuk pasar kerja dan penurunan fertilitas,'' kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal, kemarin.

Fasli menegaskan itu terkait dengan pernyataannya, Senin (25/8), bahwa durasi puncak bonus demografi yang sedianya terjadi selama 10 tahun pada 2030-2040 memendek jadi empat tahun, yakni 2028-2032, dan adanya potensi Indonesia gagal memanfaatkan bonus yang terjadi hanya sekali dalam umur suatu negara itu.

Bila faktor penentu yang disebutkan itu tidak digarap, Fasli khawatir, Indonesia bakal terjebak menjadi negara berkembang berpenghasilan menengah (low middle income trap). Bahkan yang lebih parah, bila Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi, peluang Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan dari negara lain akan kian berat. Apalagi pasca-2045, diprediksi, akan terjadi ledakan lansia. Imbasnya tanggungan penduduk produktif akan lebih berat.

Kepala Lembaga Demografi UI Sonny Harry Budiutomo menilai sejatinya bonus demografi terjadi pada 2012-2045. Pada 2012, jumlah penduduk nonproduktif di sejumlah kota yang ditanggung penduduk produktif sudah di bawah 50%. Diprediksi, pada 2045 komposisi penduduk produktif dan nonproduktif seimbang, yakni 50 berbanding 50. ''Puncak bonus demografi kita, yaitu 100 penduduk produktif menanggung 44 penduduk nonproduktif terjadi pada 2030-an.''

Menurut Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Agus Heruanto Hadna, beberapa faktor harus diperhatikan pemerintah agar bonus demografi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal.

Menurut dia, kualitas manusia menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. ''Yang menjadi ukuran ialah pendidikan dan kesehatan.''

*Sumber: Media Indonesia | Foto: Istimewa

TAJUK RENCANA KOMPAS: Penduduk Harus Jadi Berkah

JAKARTA, KOMPAS – BONUS demografi akan membawa kemakmuran hanya apabila tenaga kerja berusia produktif tersebut berkualitas dan berada di sektor formal.

Indonesia diproyeksikan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2028-2031. Itu berarti tersisa 14 tahun untuk memetik manfaat dari besarnya jumlah penduduk usia produktif.

Bonus demografi adalah situasi ketika penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang tidak produktif. Hal itu hanya satu kali menghampiri suatu bangsa. Pada puncak bonus demografi, Indonesia diperkirakan akan berpenduduk 300 juta jiwa, 200 juta di antaranya berusia produktif 15-64 tahun.

Hanya negara yang mampu membangun sumber daya manusia yang akan melompat menjadi negara maju, seperti terjadi di negara Eropa Barat dan Jepang.

Adalah masuk akal pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Fasli Jalal bahwa untuk mendapat manfaat bonus demografi, sumber daya manusia harus berkualitas. Manusia yang berkualitas dimulai dari kesehatan fisiknya, termasuk pertumbuhan otak, diikuti pendidikan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan serta keunggulan kompetitif dan komparatif bangsa.

Membangun fisik dimulai dengan mempersiapkan calon ibu. Artinya, bukan hanya fisik remaja putri harus sehat, tetapi perempuan juga harus mendapat pendidikan yang baik. Kita mengetahui gejala tubuh pendek menghinggapi anak-anak Indonesia. Hal ini menandakan kekurangan gizi yang tidak selalu disebabkan kemiskinan, tetapi dapat karena ketidaktahuan orangtua mengenai gizi.

Kualitas sumber daya manusia kita saat ini masih rendah di kawasan ASEAN. Meskipun ada wajib belajar sembilan tahun dan anggaran pendidikan ditetapkan 20 persen dari anggaran belanja negara, angka partisipasi sekolah untuk perguruan tinggi kurang dari 20 persen. Sementara angka partisipasi sekolah tingkat SMA 60,38 persen pada tahun 2013, di dalamnya termasuk pendidikan nonformal.

Angkatan kerja yang sudah ada di pasar kerja harus mendapat pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan produktivitas mereka. Ini tugas segera pemerintah, terutama dengan semakin terbukanya Indonesia melalui perjanjian regional ataupun antarnegara, termasuk terbuka terhadap aliran tenaga kerja seperti dalam kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku akhir 2015. Menyediakan lapangan kerja formal menuntut pertumbuhan ekonomi tinggi—6 persen saja tidak memadai—dan berkualitas untuk menampung tambahan lima juta angkatan kerja baru setiap tahun.

Dengan waktu tersisa 14 tahun, pemerintahan lima tahun ke depan menjadi penentu apakah Indonesia dapat meraih manfaat bonus demografi. Apabila gagal, kita tetap tinggal sebagai negara berpenghasilan menengah dan kesenjangan kemakmuran akan semakin menjadi masalah. []

*Sumber: Harian KOMPAS, 27 Agustus 2014 | Foto: Istimewa

KEPALA BKKBN: Perlu Perhatian untuk Mencetak Generasi Unggul

JAKARTA, Sindo Radio – Jumlah anak usia lima tahun (balita) dan anak di Indonesia saat ini mencapai 47,3 juta jiwa. Jumlah yang banyak ini menjadi tantangan untuk meningkatkan kualitas anak dan di sisi lain anak menjadi potensi sumberdaya sebagai generasi unggul. Untuk itu, perlu menjadi perhatian semua pihak dalam mencetak generasi unggul tersebut.

“Untuk mencetak generasi unggul perlu pelayanan kebutuhan esensial anak yang dilakukan secara utuh termasuk kebutuhan perawatan dan pengasuhannya. Kondisi yang diharapkan adalah tercipta anak yang sehat dan cerdas menuju keluarga berkualitas,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof dr Fasli Jalal, PhD, SpGK di Jakarta, Rabu (6/8) menjelang Konferensi Pereca (Pacific Early Childhood Education Research Association) yang akan digelar di Bali.

Fasli Jalal selaku Ketua Perece (Konferensi Pendidikan Anak Usia Dini) ke-15 ini, menilai pendidikan usia dini memegang peranan penting dalam mencetak generasi unggul. Saat ini, anak-anak usia 0 hingga 3 tahun diharapkan mendapat pelayanan di keluarga dan Posyandu. Kini sudah ada sekitar 200.000 Posyandu.

“Posyandu sudah banyak yang melayani secara holistik integratif, balita yang tidak mempunyai akses sekolah di playgroup yang mahal atau yang ada di pedesaan, bisa dilayani di Posyandu yang sudah terintegratif. Untuk anak usia 3 hingga 6 tahun sudah 60 persen mengakses PAUD. Tahun 2015 seharusnya bisa mencapai 70 persen,” kata Fasli.

Berbagai topik soal pendidikan anak usia dini  akan dibahas dalam Konferensi Pereca bertema “hidup rukun melalui pendidikan anak usia dini dan perawatan” ini. Konferensi akan digelar di Grand Inna Bali, pada 8 hingga 10 Agustus 2014 dan diikuti sekitar 500 peserta yang terdiri dari para pemerhati bidang pendidikan anak usia dini. “Para peneliti dan pemerhati pendidikan ini akan saling berbagi ilmu dan pengetahuan terbaru dari hasil penelitian dalam dunia pendidikan anak usia dini,” ujarnya.

Para pemerhati dan peneliti tersebut berasal dari berbagai negara, antara lain, Indonesia, Jepang. Malaysia, Singapura, Thailand, Korea, Taiwan, Hongkong, China, Australia, New Zealand, USA, Inggris, Canada, Sri Lanka, India, Mongolia, Timor Leste, dan Filipina. Hal ini menjadi kesempatan besar bagi para pendidik PAUD untuk mentransfer pengetahuan dan ilmu yang mereka miliki, khususnya bagi pendidik  anak usia dini di Indonesia.

Rencananya peneliti dari Indonesia Gusnawirta akan mempresentasikan penelitiannya tentang Mother's The Savior of The Nation. Dalam penelitiannya, seorang ibu merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, sekaligus sebagai role model bagi perilaku anak. Ibu juga berperan penting dalam memberikan stimulasi untuk kecerdasan otak anak, memberikan nutrisi yang tepat, lingkungan yang nyaman, perhatian, kasih sayang, dan mencontohkan perilaku yang baik bagi anak.

Dalam mendukung peran ibu untuk mendidik anak, peran seorang ayah juga menjadi penting untuk membentuk perilaku anak. Dukungan penuh dari ayah dan ibu akan membentuk perilaku positif dalam diri anak. Anak yang distimulasi dengan dukungan positif dari keluarganya, akan membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas. (ANP)

*Sumber: Sindo Radio | Foto: Istimewa

Indonesia Tuan Rumah Konferensi PAUD Asia Pasifik ke-15

JAKARTA, Okezone – INDONESIA melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dipercaya menjadi tuan rumah untuk konferensi pendidikan anak usia dini negara Asia Pasifik ke-15. Acara yang mengusung tema “Hidup Rukun Melalui Pendidikan Anak Usia Dini dan Perawatan” itu akan dihelat di Bali pada 8-10 Agustus 2014.

Menurut Kepala BKKBN Prof. Fasli Jalal, acara tersebut menjadi sebuah tantangan bagi Indonesia. Tidak saja karena baru pertama kali digelar, tapi juga menambah informasi terkait penelitian mengenai pendidikan anak usia dini atau PAUD.

"Indonesia untuk pertama kali dipercaya menggelar konferensi pendidikan usia dini. Kita sudah lama mengenal TK, tapi untuk PAUD, yakni usia 0-5 tahun itu baru beberapa tahun terakhir saja," jelasnya dalam konferensi pers di Kantor BKKBN, Jakarta, Rabu (6/8/2014).

Lebih lanjut, kata dia, bahasan topik pada konferensi tersebut juga mengacu pada hak anak. Mulai dari hak untuk mendapatkan asupan gizi cukup, mendapatkan pelayanan kesehatan baik pencegahan, rehabilitasi, pendidikan atau psikososial, pengasuhan atau parenting, serta perlindungan.

Acara yang akan dibuka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar tersebut nantinya diikuti 550 peserta dari negara Asia Pasific. Beberapa pembicara internasional akan dihadirkan untuk mempresentasikan penelitian terkait anak-anak usia dini.

"Akan dihadiri hampir 550 peserta dan key note dari empat benua. Salah satunya, ada ahli otak di dunia," terang Fasli.

Sedangkan hasil dari konferensi tersebut nantinya menjadi sebuah proses pembelajaran dan masukan, bagi program PAUD di berbagai negara, termasuk Indonesia.

"Hasil konferensi ini akan dibawa ke proses pembelajaran. Kita juga bahas policy dan ini jadi acuan perbaikan kebijakan, baik di tingkat negara ataupun Pemda yang sudah punya otonom untuk pendidikan holistik integratif," tutupnya. [] Ainun Fika Muftiarini

*Sumber: Okezone | Foto: Tribun

Di Kota Besar Ini, Hak Anak Terus Terampas

JAKARTA, KOMPAS – Di Jakarta dan sekitarnya telah terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Pergeseran nilai itu berlaku di segala lini. Segala sesuatu lebih banyak diukur berdasarkan nilai materi, bukan nilai moral. Akibatnya, anak-anak yang tumbuh di tempat tak seharusnya tidak mendapat penanganan memadai. Sudah hal biasa melihat anak-anak belum genap lima tahun, bahkan bayi merah, ikut mengemis di perempatan-perempatan jalan.

M Ihsan dari Satgas Perlindungan Anak selalu geram saat membicarakan nasib anak di Ibu Kota. Anak jalanan sudah pasti jadi obyek eksploitasi orang dewasa yang mengasuhnya. Anak-anak itu juga rawan jadi korban kekerasan, termasuk kejahatan seksual.

Jakarta sebagai kota juga belum menyediakan tempat yang bisa meneduhkan hati warga. Infrastruktur kota yang disediakan timpang. Taman yang lega dan teduh justru ada di kawasan mewah. Di kampung-kampung padat, kondisinya justru amat runyam. Rumah-rumah berimpitan tanpa ada tempat untuk jeda bersantai warga.

”Tempat main anak-anak cuma di jalan sempit. Makin terasa kota ini sebagai tempat tinggal dan makan. Kota yang tidak menumbuhkan peradaban,” kata pendidik, Arief Rachman.

Bagi Arief, agar segala kasus kekerasan terhadap anak bisa diakhiri, perlu gerakan moral bersama. Pemerintah diminta mulai fokus membangun, terutama membangun moral, dan etika. Pendidikan untuk anak dilakukan di dalam lingkup keluarga dengan orangtua sebagai penanggung jawab. Selanjutnya, ada pendidikan formal di sekolah dan pendidikan terkait nilai dan norma dalam masyarakat.

Namun, pendidikan kini melenceng dari filosofinya yang mengajarkan dan menanamkan kepada anak untuk berproses dengan jujur, mau belajar, dan kerja keras. ”Baru sekarang-sekarang ini setelah banyak kasus menimpa anak-anak Indonesia, pendidikan berbasis pembentukan karakter dimulai. Ini yang seharusnya dikebut untuk dikerjakan,” katanya.

Awasi siswa

Terkait banyaknya kekerasan yang menimpa anak di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mewanti-wanti kepala sekolah agar para guru lebih tajam mengawasi siswa. Sebab, tidak setiap anak beruntung punya orangtua yang bisa mengawasi mereka. Karena itu, guru dan kepala sekolah harus bisa mengawasi murid-murid,” ujar Basuki.

Pihaknya terus mengupayakan ruang terbuka hijau sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, anak-anak bisa lebih leluasa berekspresi dan berkreasi dengan sehat.

”Di kampung-kampung padat penduduk, jika ada tanah yang cukup luas, jual saja kepada kami. Nanti akan kami buat taman. Boleh saja nama pemilik tanah jadi nama taman itu, misalnya Taman Pak Budi. Silakan saja,” tutur Basuki.

Kebijakan ini, tambah Basuki, namanya merancang ulang kota. Di negara-negara, seperti Korea Selatan dan Tiongkok, sudah banyak dilakukan.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menyatakan, selain penegakan hukum, pemerintah juga harus mendorong peran serta masyarakat menciptakan kepedulian.

”Harus ada kesepakatan antarwarga. Kalau ada warga ikut campur, itu tidak dianggap intervensi. Jadi, kita tidak lagi sungkan untuk memperingatkan kalau ada tetangga memukul anaknya,” ujar Arist.

Sementara itu, upaya penegakan hukum terus dilakukan oleh aparat Polda Metro Jaya. Selasa kemarin, polisi memeriksa Kepala Sekolah Jakarta International School (JIS) Tim Carr terkait kasus kejahatan seksual di sekolah itu. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, Tim Carr diperiksa masih sebagai saksi.

”Dari keterangan yang diberikan, penyidik akan mendalami keterangannya. Bisa jadi yang bersangkutan akan dipanggil lagi jika masih ada keterangannya yang kurang. Namun, kepolisian tidak melakukan upaya mengajukan permohonan ke imigrasi untuk mencekal yang bersangkutan. Ia diperiksa sebagai saksi,” katanya.

Kuasa hukum JIS, Harry Ponto, mengatakan, dalam pemeriksaan itu, kliennya hanya dimintai klarifikasi mengenai beberapa hal di JIS, misalnya berapa jumlah murid.

Kliennya mendapat empat pertanyaan pokok dari penyidik. Ponto juga membantah tudingan bahwa JIS lalai dan melakukan pembiaran hingga terjadi kejahatan seksual terhadap siswa.

”Kami tidak mungkin melakukan pembiaran. Kalau dibilang pembiaran, berarti sekolah tahu soal kekerasan seksual itu lalu membiarkan itu terus terjadi. Ini tidak mungkin,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan, kliennya menyerahkan foto murid-murid JIS kepada penyidik guna keperluan identifikasi mengenai kemungkinan adanya korban kejahatan seksual lainnya. (FRO/NEL/RAY/RTS)

*Sumber: Harian KOMPAS, 4 Mei 2014

Ini Strategi Hatta Manfaatkan Bonus Demografi

JAKARTA, KOMPAS.com – Calon wakil presiden Hatta Rajasa menilai bonus demografi dapat bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika diisi dengan peningkatan mutu pendidikan. Hatta mengatakan, peningkatan jumlah penduduk usia produktif sedianya sejalan dengan peningkatan produktivitas.

"Maka bonus demografi harus kita isi, masyarakat Indonesia dengan ilmu pengetahuan dan iptek sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan neto akibat bonus demografi tersebut. Saya kira bisa lebih dari 10 persen kalau bisa tertangani dengan baik," kata Hatta dalam debat cawapres yang berlangsung di Gedung Bidakara, Jakarta, Minggu (29/6/2014). Hatta menjawab pertanyaan calon wakil presiden Jusuf Kalla mengenai strategi agar bonus demograsi benar-benar bisa menjadi bonus dan bukan menjadi bencana.

Hatta mengatakan, pemanfaatan bonus demograsi dapat dilakuakn dengan cara mendekatkan perlindungan sosial kepada golongan umur tidak produktif. Adapun golongan umur produktif, menurutnya, perlu didorong untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan program kewirausahaan. "Sehingga usia produktif bisa ditingkatkan produktivitasnya," kata Hatta. []

*Sumber: KOMPAS Online, 29 Juni 2014

KELUARGA BERENCANA DIGALAKKAN KEMBALI: Dorong Kualitas Sumber Daya Manusia

Palembang, KOMPAS – Pemerintah berjanji akan menjadikan masalah kependudukan sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Langkah ini untuk mengoptimalkan manfaat bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia hingga 2035.

Salah satu persoalan kependudukan yang bakal mendapat perhatian utama adalah pengendalian jumlah kelahiran atau selama ini dikenal sebagai program Keluarga Berencana (KB).

“Program kependudukan harus benar-benar diperhatikan karena akan menjadi kunci mencapai bonus demografi,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida S. Alisjahbana di sela-sela penjaringan aspirasi terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Senin (3/3), di Palembang, Sumatera Selatan.

Bonus demografi adalah kondisi saat jumlah penduduk usia nonproduktif lebih sedikit daripada jumlah penduduk produktif (usia 15-65 tahun). Pada kondisi itu, ketergantungan penduduk usia nonproduktif terhadap penduduk produktif berada pada titik rendah sehingga perekonomian suatu negara berpotensi berkembang lebih cepat.

Sejak 2012, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka ketergantungan penduduk berada di bawah 50, tepatnya 49,6. Artinya, setiap 100 penduduk produktif menanggung 49,6 penduduk nonproduktif. Angka ketergantungan tahun ini 48,8.

“Kalau angka ketergantungan sudah berada di bawah 50, sebenarnya kita sudah bisa dikatakan menikmati bonus demografi. Oleh karena itu, sejak 2012, kita sudah menikmati bonus demografi,” ujar Armida.

Namun, dia mengingatkan, bonus demografi akan optimal jika tingkat ketergantungan bisa terus diturunkan. Untuk mencapai hal itu, ada beberapa hal yang haurs diperhatikan. Salah satunya adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh wanita subur (total fertility rate/TFR). Pada 2010, TFR Indonesia adalah 2,49 dan kondisi itu tak berubah hingga saat ini.

Armida menambahkan, angka ketergantungan di Indonesia akan mencapai titik terendah pada 2028-2035. Saat itu, angka ketergantungan di Indonesia hanya 46,9. Untuk mencapai kondisi itu, Indonesia harus bisa menurunkan TFR menjadi 2,14 pada 2025.

“Selama beberapa tahun terakhir, angka TFR kita stagnan. Setelah ini, kita harus berhasil menurunkan TFR,” kata Armida. Untuk mencapai hal itu, masalah kependudukan akan menjadi salah satu prioritas dalam RPJMN 2015-2025.

Menurut Armida, RPJMN 2015-2025 akan mencantumkan upaya revitalisasi BKKBN sebagai lembaga pengelola masalah kependudukan. Sejak masa reformasi, sejumlah kewenangan BKKBN dipangkas sehingga program kependudukan tak efektif. “Selain itu, program Keluarga Berencana akan kembali digalakkan,” ujarnya.

Kualitas SDM

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Akhmad Fauzi mengatakan, langkah lain untuk mengoptimalkan bonus demografi adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas itu bisa dengan pemerataan pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja.

Dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2013, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ada di peringkat ke-121 dari 186 negara. “Indonesia bahkan berada di bawah Honduras dan Botswana,” kata Fauzi.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, dalam situasi saat ini, pemerintah harus mengedepankan kualitas pendidikan dan keahlian angkatan kerja. Saat ini, dunia usaha baru mampu menyediakan 1 juta-1,5 juta lapangan kerja per tahun sehingga tidak mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahun.

“Ada 1 juta orang yang tidak mendapatkan pekerjaan setiap tahun dan sebagian besar tidak terampil. Bonus demografi ini harus ditangani secara cermat dengan meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan pelatihan kerja,” kata Sofjan.

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengungkapkan, masa depan perekonomian adalah ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Ini menjadi keniscayaan dan harus memanfaatkan bonus demografi.

Di sektor pertanian terjadi surplus tenaga kerja. Tantangannya, bagaimana membangun industri pengolahan berbasis pertanian dan sumber daya alam Indonesia agar bisa menarik tenaga kerja dari sektor pertanian.

Untuk mengembangkan industri tersebut, perlu basis ilmu pengetahuan. Itu yang menjadi kata kuncinya. Ke depan, perekonomian akan ditopang oleh pekerja terampil dan bekerja di sektor industri dengan pendapatan yang lebih baik dan produktivitas tinggi. “Para pekerja terampil itu nanti yang akan menggenjot produktivitas,” kata Bustanul.

Dengan cara itu, menurut Bustanul, sektor pertanian akan berperan penting dalam melepaskan Indonesia dari middle income trap dan memanfaatkan bonus demografi.

Tak ada pilihan lain untuk memanfaatkan bonus demografi selain memajukan pendidikan dan riset. Tidak hanya di perkotaan, tetapi juga harus sampai di pedesaan. Anggaran pendidikan yang tinggi adalah langkah yang tepat, tinggal implementasinya. [] HRS/MAS/EVY/HAM/LAS

*Sumber: Headline Harian KOMPAS, 4 Maret 2014 | Sumber foto: ANTARA

Survei Kualitas Pendidikan Anak Memasuki Tahap Endline

Yogyakarta, PSKK UGM – Selama lima hari, yakni mulai 27 sampai 31 Januari 2014, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan pelatihan bagi 185 asisten lapangan. Pelatihan ini merupakan bagian dari rangkaian Survei Kualitas Pendidikan Anak (SKPA) yang dilaksanakan sejak Februari 2013. Bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), survei kali ini bertujuan untuk memantau proses penyaluran dana manfaat program Bantuan Siswa Miskin (BSM).

Eddy Kiswanto, M.Si., Peneliti PSKK UGM yang juga merupakan wakil peneliti utama (Co-PI) mengatakan, ada tiga tahap dalam rangkaian survei ini. Pada tahap pertama atau baseline, tim peneliti melakukan survei terhadap rumah tangga calon penerima BSM. Kemudian pada tahap selanjutnya di bulan Oktober, midline adalah survei terhadap rumah tangga penerima kartu BSM. Jadi, melihat bagaimana distribusi penyaluran kartu BSM.

“Kita kini sudah sampai pada tahap endline. Melalui survei ini, kita ingin melihat distribusi penyaluran dana BSM. Bagaimana proses penyaluran dana sampai ke rumah tangga? Lalu, apa saja manfaat yang diterima oleh rumah tangga?” ujar Eddy saat pembukaan pelatihan asisten lapangan SKPA Tahap Endline di Hotel Griya Persada, Kaliurang, Senin lalu (27/01).

Idealnya, dana BSM yang diterima oleh masing-masing rumah tangga digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak. Eddy menambahkan, ada mekanisme penyaluran BSM yang berbeda. Jika sebelumnya dana BSM disalurkan melalui sekolah, maka saat ini dana tersebut langsung dilimpahkan kepada rumah tangga yang anaknya terdaftar sebagai penerima BSM.

“Maka, tidak bisa kemudian dikontrol satu per satu penggunaan dananya. Nah, di sinilah saya kira survei kita kali ini merupakan survei yang sangat strategis. Kita akan melihat bagaimana penyaluran dan pemanfaatan dana tersebut,” jelas Eddy lagi.

Sementara itu, Mohammad Herman dari Tim Monitoring and Evaluation TNP2K dalam kesempatan yang sama menyampaikan, di awal Desember lalu, Program for International Student Assessment (PISA) merilis hasil survei tentang kemampuan siswa dan sistem pendidikan. Survei yang dilaksanakan pada 2012 ini melibatkan 510 ribu siswa berusia 15 sampai 16 tahun dari 65 negara dunia, sebagai responden. Ada tiga bidang yang dilihat dalam melihat kemampuan siswa, yakni matematika, sains, dan membaca.

Temuan survei PISA cukup menarik. Indonesia berada di peringkat 64 atau kedua dari bawah untuk kemampuan matematika. Hanya kurang dari satu persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang matematika. Peringkat ini sangat jauh dari negara tetangga, Singapura yang menempati peringkat kedua untuk kemampuan matematika. Meski begitu, pada poin penilaian yang lain, sebagian besar responden di Indonesia menyatakan “bahagia di sekolah”. Persentasenya mencapai 96 persen dan menempatkan Indonesia di peringkat pertama.

“Jadi sangat jauh ya rentang atau gap antara Indonesia dengan negara-negara lainnya di Asia. Bahkan untuk Vietnam, kemampuan akademik siswa-siswanya berada di peringkat delapan. Indonesia hanya menang satu peringkat di atas Peru,” ujar Herman.

Cukup ironis, kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah namun para siswa merasa bahagia. Ini menunjukkan, ada yang salah di dalam sistem pendidikan yang berjalan selama ini. Herman menambahkan, semoga ini bisa menjadi motivasi dalam menyukseskan program BSM. Ke depan, tidak hanya memberi peluang bagi siswa untuk dapat mengakses pendidikan ke level yang lebih tinggi, harapannya program BSM juga bisa turut memperbaiki kualitas pendidikan baik di dalam bidang matematika, membaca maupun sains.

“Dan melalui survei ini pula, harapannya kami bisa mendapatkan banyak masukan. Maka, kualitas data lapangan di dalam survei ini sangat penting. Hasil analisisnya akan menjadi masukan sekaligus acuan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan langkah,” jelas Herman lagi. [] Media Center PSKK UGM.