Tag: BKKBN

PSKK UGM Adakan Riset Kemiskinan Ekstrem Daerah Berkebutuhan Khusus dan Sub Urban di Kampar

Pusdiklat Teknis Kirim Tim Belajar MEP di PSKK UGM

Seminar PSKK UGM Bahas Eksistensi Pengobatan Tradisional Pasca Covid-19 Bersama Profesor Universitas Freidburg

Menuju SDGs 2030, Indonesia Dinilai Memiliki Banyak Tantangan untuk Peningkatan Derajat Kesehatan

CPPS UGM – Kesehatan merupakan salah satu dimensi utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) bersama dua dimensi lainnya, yaitu ekonomi dan pendidikan. Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu gaya hidup (lifestyle), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, dan budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan memengaruhi status kesehatan seseorang.

Dalam rangka memeriahkan Hari Kesehatan Sedunia yang diperingati setiap 17 April, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan acara Live PopCorn (Population Corner) bertajuk “Tantangan Peningkatan Derajat Kesehatan di Indonesia” dengan menghadirkan Dr. Umi Listyaningsih, M.Si. (Peneliti PSKK UGM) sebagai pembicara serta Citra Sekarjati, M.P.A. (Asisten Peneliti PSKK UGM) sebagai pembawa acara.

Umi menjelaskan bahwa Indonesia ditargetkan bisa menekan MMR hingga 70 persen pada 2024, namun hal ini akan sulit tercapai karena penyebab kematian ibu pascapersalinan masih banyak diakibatkan oleh gangguan hipertensi dan pendarahan.

“Banyak ibu yang datang ke fasilitas kesehatan, namun kebanyakan tidak melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan). Meskipun di data Riskesdas itu sebetulnya jumlah ibu yang sudah melakukan pemeriksaan cukup banyak, tetapi kita masih punya tugas sekitar 15 persen ibu hamil yang tidak melakukan antenatal care. Itulah sebabnya angka kematian ibu itu masih menjadi tugas bersama,” ujar Umi.

Ia berpendapat bahwa pemerintah telah berupaya untuk menekan angka kematian ibu melahirkan, salah satunya dengan membuat program Rumah Singgah untuk ibu hamil yang rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan. Rumah Singgah ini dapat menjadi tempat sementara bagi ibu yang telah masuk masa kehamilan tua. Permasalahannya, menurut Umi, sejauh ini Rumah Singgah bukan hanya ditempati oleh ibu yang akan melahirkan, tetapi juga ada yang membawa sanak saudara. Kemudian hal ini menjadi tantangan lain bagi pemerintah.

Selain itu, Selain itu, ada program Generasi Berencana (GenRe) yang dilaksanakan BKKBN dengan slogan “Katakan tidak untuk pernikahan usia dini, seks pra nikah, dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)”.  Menurut Umi, program ini cukup membanggakan, mengingat salah satu target SDGs pada poin keempat adalah mengurangi kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Umi memaparkan bahwa setidaknya ada lima strategi jitu, yaitu meningkatkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS); meningkatkan penganekaragaman dan keamanan pangan (termasuk olahan); meningkatkan pelayanan medis, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial; dukungan dari masyarakat bagi penderita gangguan jiwa; serta meningkatkan aksebilitas dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Penulis: Nuraini Ika |  Editor Bahasa: Rinta Alvionita  |  Foto: PSKK UGM/Affen Irhandi

 

Pakar Kependudukan: Program KB di Indonesia Sedikit Mengendur

Pakar kependudukan sekaligus Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Agus Joko Pitoyo mengatakan pengenduran program KB saat ini bukan tanpa alasan. Pengenduran terjadi lantaran program KB di Indonesia sejak tahun 1970 sempat dinilai sudah berhasil karena total fertility rate atau tingkat kelahiran rata-rata pada waktu itu turun dari 5,6 persen menjadi 2,6 persen.

Hal tersebut juga didorong oleh perspektif masyarakat yang pada zaman dahulu berpandangan anak sebagai rezeki. Sementara saat ini generasi sekarang berspespektif anak merupakan beban.

“Walaupun (Program KB) cenderung dilemahkan, sedikit mengendur, tapi generasi sekarang sudah tidak ingin punya anak banyak. Setelah 50 tahun program KB di Indonesia ini sudah bisa mengubah opini masyarakat yang dulu ukuran keluarga besar itu baik. Sekarang keluarga kecil itu yang baik sehingga generasi saat ini ketika punya anak lebih dari dua mereka sudah malu. Bahkan di antaranya ingin punya anak satu,” kata Agus kepada VOA, Sabtu (9/5).

Walaupun saat ini program KB cenderung dikendurkan tapi nilai di dalam masyarakat terkait dengan keluarga inti yaitu dua anak cukup sudah mengakar luar biasa. Tanpa harus dikatakan untuk ikut program KB, masyarakat sudah melek terkait dengan keluarga berencana.

“Misalnya melalui pendidikan, jalurnya sekarang diganti tidak family planning dalam perspektif keluarga. Tapi family planning dalam perspektif kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, sehingga generasi sekarang itu sudah mulai berpikir. Tanpa sentuhan program KB, masyarakat melihat kondisi ekonomi, beban hidup, pendidikan, dan tuntutan masa depan otomatis mereka sudah tidak ingin punya anak banyak,” ujar Agus.

KB Penting, Kelanjutan Demografi juga Penting

Masih kata Agus, di Indonesia telah terjadi transformasi, yang pada Orde Baru berspektif keluarga luas, maka kini menjadi keluarga inti. Hal itu berpengaruh terhadap total fertility rate di Indonesia yang telah mencapai angka 2,6 persen, bahkan di beberapa provinsi berada pada replacement rate 2,1 persen, contohnya di Yogyakarta.

“Artinya kalau ini berlarut-larut dan ditekan terus nanti regenerasi penduduknya tidak ada. Kita harus hati-hati jangan sampai terjebak sangat getol terus ingin family planning sampai di bawah 2,1 persen itu berbahaya karena tidak terjadi keberlanjutan demografi. Padahal yang diinginkan adalah penduduk tumbuh seimbang,” ungkapnya.

“Pemerintah saat ini agak mengendurkan biar kemudian tidak kebablasan ini menurut perspektif saya. Tapi memang harus tetap dijaga jangan sampai TFT (total fertility rate-nya) naik dan turun terlalu tinggi,” tambah Agus.

Kendati cenderung mengendur, namun pemerintah masih memprioritaskan program KB hingga saat ini. Hanya saja pada saat ini komitmen politik pemerintah tidak seperti zaman orde baru.

“Sekarang ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) masih eksis tapi dukungan segala aspek tidak sekuat di zaman orde baru. Walaupun demikian Indonesia tetap itu jadi prioritas sampai sekarang gencar dilakukan,” tutur Agus.

Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan pemerintah tetap memprioritaskan program KB karena Indonesia telah memasuki tahapan transisi demografi di mana total fertility rate pada wanita subur itu di Tanah Air masih di angka 2,3 sampai 2,4 persen.

“Sehingga kami harus berusaha keras untuk menuju angka fertility rate ke 2,1 persen. Di samping itu di Indonesia belum merata jadi antar wilayah provinsi kesenjangannya masih tinggi. Oleh karena itu kesenjangan fertility rate yang masih tinggi ini penting untuk diatasi karena sesuai demografi semua provinsi harus merasakan. Atas dasar alasan itu maka kontrasepsi itu masih penting sekali,” kata Hasto saat dihubungi VOA, Jumat (8/5) malam.

Menurut Hasto, pemerintah tetap berupaya mengatasi lonjakan tersebut, karena peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai sistem layanan kesehatan atau pendidikan yang memadai bakal memicu masalah besar di kemudian hari. Salah satunya, pemerintah melakukan pendekatan melalui kampanye dengan alat kontrasepsi.

“Di Indonesia yang memiliki anak banyak itu berciri khas tiga yaitu pendidikan rendah, hidup di desa, dan pendapatan rendah. Sebenarnya secara jangka panjang itu pendidikan ditingkatkan kemudian pendapatan per kapita naik lalu akses-akses bertambah bagus. Ketika hal ini dilakukan maka otomatis dia akan menurun jumlah anaknya. Orang yang berkecukupan, hidup di kota, dan berpendidikan tinggi cenderung anaknya sedikit. Inilah upaya secara sosiologis bagaimana menurunkan jumlah anak. Tapi kalau secara biologis, ya kami memang pendekatannya bagaimana kampanye dengan alat kontrasepsi,” jelasnya. [aa/em]

*Sumber: VOA Indonesia | Foto: Proses pemasangan susuk KB pada masa pandemi corona (Humas BKKBN). 

KULIAH UMUM SURYA CHANDRA: BKKBN Berkomitmen Dorong Revolusi Mental Melalui KKBPK

Yogyakarta, PSKK UGM – Kembali, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, dr. Surya Chandra Surapatty, MPH, Ph.D. menyampaikan pentingnya penduduk ditempatkan sebagai titik sentral di dalam pembangunan. Penduduk bukan semata-mata obyek pembangunan, melainkan subyek pembangunan. Ada partisipasi aktif yang dibangun di sana.

“Maka, pembangunan berwawasan kependudukan (PBK) atau people centered development perlu terus didorong. Penduduk mulai dilibatkan dari tahap perencanaan, implementasi, hingga pemantauan dan evaluasi pembangunan,” kata Surya dalam KULIAH UMUM: Politik Kebijakan Kependudukan di Indonesia, Selasa (21/3) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Terkait hal tersebut, BKKBN sebagai salah satu lembaga pemerintah yang mendapat mandat untuk mengelola isu kependudukan di Indonesia, mengusung program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK). Menurut Surya, program ini berkaitan erat dengan 9 Agenda Prioritas Pembangunan Pemerintah “Nawa Cita”, khususnya agenda prioritas yang kelima, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Menjalankan komitmennya, BKKBN berperan untuk mendorong revolusi mental berbasis keluarga melalui program KKBPK.

Dalam program kependudukan dan keluarga berencana, BKKBN mencermati betul angka fertilitas total (TFR) Indonesia yang masih stagnan di angka 2,6. Setidaknya masih perlu turun 0,5 lagi guna mencapai target TFR 2,1. Dengan target tersebut, kondisi penduduk tumbuh seimbang dimungkinkan untuk bisa tercapai dan pemanfaatan bonus demografi bisa lebih optimal. Program KB kemudian direvitalisasi. Melalui kampanye Generasi Berencana, BKKBN menyasar kaum muda untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya perencanaan jumlah anak bagi keluarga serta dampak negatif dari pernikahan dini, seks pranikah, dan obat-obatan terlarang.

“Hasil yang diharapkan tentu saja kaum muda ini bisa menjadi generasi emas. Generasi yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, pola hidup sehat, aktif dalam kehidupan masyarakat, kompetitif dalam lingkungan pekerjaan, dan menikah secara terencana,” kata Surya.

Meski tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, namun Surya optimis bahwa mentalitas kaum muda harus dibangun dari sekarang agar positif menuju Indonesia yang lebih sejahtera dengan kualitas manusia yang unggul. Dalam konteks KB, mentalitas positif diturunkan dalam sikap yang tegas untuk mengendalikan jumlah anak, minimal pada dirinya sendiri.

Selain isu TFR, BKKBN juga menyoroti soal tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan naiknya AKI yang cukup signifikan, yaitu dari 228 (tahun 2007) menjadi 359 (tahun 2012) per 100.000 kelahiran hidup. Banyak pihak menilai, melonjaknya AKI sebetulnya menunjukkan lemahnya sistem kesehatan ibu dan reproduksi serta kurang efektifnya program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang dijalankan oleh pemerintah.

Untuk itu, BKKBN terus mengkampanyekan program Menghindari 4 T, yakni terlalu muda memiliki anak yang berkaitan erat dengan pendewasaan usia pernikahan, kemudian terlalu banyak memiliki anak (punya anak lebih dari dua), terlalu rapat jarak kelahiran antaranak (kurang dari tiga tahun), dan terlalu tua usia memiliki anak.

Sementara itu, Peneliti Senior PSKK UGM, Prof. Dr. Muhadjir Darwin yang dalam kesempatan tersebut menjadi moderator turut menyampaikan bahwa setiap kebijakan hingga turunannya berupa program-program pemerintah merupakan hasil atau output dari politik. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa proses kebijakan tersebut bisa jadi sangat politis. Oleh karena itu, untuk bisa menyukseskan program KKBPK sebetulnya diperlukan komitmen politik yang kuat.

Di masa Soeharto misalnya, beliau memang dikenal otoriter, namun ada komitmen politik yang kuat untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Angka fertilitas yang begitu tinggi di masa lalu bisa turun secara signifikan. Tidak heran karena program KB di masa itu begitu gencar.

“Pengaruhnya pun bisa kita rasakan dalam waktu sebentar lagi, yaitu bonus demografi. Tinggal bagaimana pemerintah saat ini punya komitmen politik yang kuat atau tidak untuk mengoptimalkan bonus demografi,” kata Muhadjir. [] Media Center PSKK UGM.

Kepala BKKBN: Kualitas SDM Dibangun Lewat Program KB | Humas UGM

Yogyakarta, Humas UGM – Program Keluarga Berencana (KB) tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan para ibu dan anak atau menekan pertambahan jumlah penduduk. Namun, program KB ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas penduduk lewat penyiapan keluarga yang sehat dan sejahtera. “KB harus direvitalisasi dan digaungkan kembali. Program ini kita selaraskan dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia yang dicanangkan pemerintah,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, dalam kuliah umum yang bertajuk Politik Kebijakan Kependudukan Indonesia, Selasa (21/3), di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.

Ia menyampaikan Indonesia saat ini menghadapi bonus demografi dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Oleh karena itu, diperlukan SDM yang berkualitas, kompeten, dan berkarakter. Untuk mendapatkan SDM yang diinginkan tersebut, imbuhnya, peran keluarga sangatlah penting. Pasalnya, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang beperan dalam memenuhi kebutuhan fisik dan mental. Bahkan, dari lingkungan keluarga menjadi tumpuan untuk menumbuhkembangkan dan menyalurkan potensi setiap anggota keluarga. “Itulah tantangan kita meningkatkan kualitas SDM dan perubahan itu semua ada dalam setiap keluarga,” katanya.

Sementara untuk mengendalikan kuantitas jumlah penduduk, pemerintah tetap gencar mensosialisasikan program kependudukan dan KB, seperti menekan angka kematian ibu dan anak dengan mengampanyekan agar para remaja menikah minimal pada usia 21 tahun, mengatur jarak kelahiran minimal 3 tahun, tidak memiliki anak lebih dari dua dan menghindari kelahiran di atas umur 35 tahun. Yang tidak kalah penting, menurut Surya, pemenuhan gizi makanan anak yang terpenuhi. “Apabila pemenuhan susu dan gizi yang baik maka tumbuh kembang otak anak sejak dari konsepsi sampai anak umur 2 tahun menjadi baik. Ia akan menjadi orang hebat pada 1.000 hari pertama kehidupannya,” katanya.

Selain itu, BKKBN juga memiliki program menyiapkan generasi berencana (GenRe) yang menyasar berbagai kelompok remaja dan anak muda yang belum menikah, mahasiswa, keluarga dan kelompok masyarakat peduli remaja. Hasil yang diharapkan dari program tersebut agar nantinya para anak muda ini mendapatkan pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang layak dan kompetitif, menikah secara terencana, aktif dalam kehidupan masyarakat dan melaksanakan pola hidup sehat sehari-hari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)


*Sumber: Humas UGM

Tahap Perumusan Masalah Berpengaruh Besar Pada Analisis Kebijakan

Yogyakarta, PSKK UGM – Merumuskan masalah dan isu kebijakan merupakan tahap awal yang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh proses analisis kebijakan. Kurang tepat atau salah dalam mengidentifikasi masalah, niscaya kebijakan yang dihasilkan pun tidak cukup mampu menyelesaikan permasalahan atau bahkan memunculkan permasalahan yang baru.

Hal tersebut mengemuka saat sesi diskusi “Teknik Perumusan Masalah Kebijakan” dalam Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis (8/10) lalu di Hotel Santhika Yogyakarta. Hadir sebagai pemateri, Kepala PSKK UGM, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna.

Hadna menyampaikan, ada beberapa tantangan pada tahap ini, antara lain mengidentifikasi masalah dengan tepat, menghilangkan bahan atau informasi yang tidak relevan, memiliki data yang kuat, fokus pada inti permasalahan, menemukan faktor-faktor yang penting, dan memastikan agar definisi masalah jauh dari ambiguitas.

Seoarang pakar kebijakan publik dari University of Pittsburgh, William N. Dunn dalam bukunya berjudul “Public Policy Analysis: An Introduction” pernah menuliskan, sedikitnya ada empat karakteristik suatu masalah dapat disebut sebagai masalah publik. Pertama, ketergantung di antara berbagai masalah. Permasalahan kebijakan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Dia biasanya merupakan bagian dari seluruh rangkaian masalah yang terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan holistik yang memandang setiap permasalahan sebagai hal yang tak terpisahkan.

Kedua, subyektivitas masalah kebijakan. Masalah kebijakan berangkat dari hasil pemikiran yang dibuat pada lingkungan atau kondisi eksternal tertentu. Maka, penting untuk membedakan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan. Mengapa? Masalah merupakan abstraksi yang timbul dari transformasi pengalaman ke dalam penilaian manusia sehingga sangat mungkin bersifat subjektif. Ketiga, sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan memang merupakan produk penilaian subyektif namun, bisa didefinisikan sebagai kondisi sosial yang obyektif.

“Masalah tidaklah berada di luar manusia dan kelompoknya. Artinya, permasalahan apa yang ada di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan,” jelas Hadna.

Ketiga, dinamika masalah kebijakan. Solusi terhadap masalah bisa berubah. Masalah publik yang sama belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama pula, terutama saat konteks lingkungannya berbeda. Lebih lanjut, Hadna menambahkan, masalah yang sama juga belum tentu dapat dipecahkan dengan kebijakan yang sama, terutama jika konteks waktunya berbeda. Solusi masalah bisa menjadi usang meskipun masalah itu belum usang.

Selain karakteristik kebijakan, Dunn juga mengelompokkan masalah kebijakan ke dalam tiga, yakni masalah yang sederhana (well structured), masalah yang agak sederhana (moderately structured), dan masalah yang rumit (ill structured). Pengelompokkan ini bergantung pada tingkat kompleksitasnya, sejauh apa suatu masalah saling terkait satu sama lain. Kebanyakan, masalah kebijakan merupakan masalah yang rumit.

“Pada kenyataannya, masalah-masalah publik cenderung bersifat rumit sehingga menuntut para analis kebijakan atau policy maker untuk bisa mengembangkan alternatif kebijakan, sekaligus membuat pilihan kebijakan yang tepat,” jelas Hadna lagi.

Ada empat fase di dalam perumusan masalah yang biasa dilakukan oleh para analis kebijakan. Perumusan masalah biasanya dimulai dengan melihat situasi masalah. Para analis kebijakan akan melihat rangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidakpuasan publik atau merasa ada sesuatu yang salah. Di sinilah para analis terlibat dalam fase yang pertama, yaitu pencarian masalah (problem search). Fase kedua adalah pendefinisian masalah (problem definition) yang berpindah pada masalah substantif, yakni dengan mendefinisikan masalah tersebut dalam istilah yang paling mendasar dan umum. Fase ketiga adalah spesifikasi masalah (problem specification). Pada fase ini, masalah substantif berubah menjadi formal. Masalah telah dirumuskan secara spesifik dan jelas. Kemudian fase keempat adalah pengenalan masalah (problem sensing).

Melalui sesi ini, Hadna berharap para peserta workshop yang merupakan para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN dan ketua pusat studi kependudukan dari seluruh Indonesia bisa memahami ciri-ciri masalah publik, memahami pengertian isu dan masalah kebijakan serta klasifikasi masalah kebijakan, memahami tahapan dalam perumusan masalah, hingga memahami metode-metode perumusan masalah kebijakan dan bagaimana menjalankannya dalam praktik. [] Media Center PSKK UGM

[SIARAN PERS] PROSES PEMBANGUNAN KINI BISA TERUKUR: IPBK DIY Tertinggi Nasional

Yogyakarta, PSKK UGM – Pengukuran Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK) di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menunjukkan, Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada peringkat pertama dengan nilai indeks, 0,61. Menyusul kemudian Bali dengan nilai indeks 0,59 lalu Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Jambi dengan nilai indeks yang sama, yaitu 0,56. Total, ada 17 provinsi yang nilai indeksnya di atas rata-rata nasional (0,50). 

Hasil pengukuran indeks ini juga menunjukkan, provinsi-provinsi dengan IPBK tinggi merupakan wilayah-wilayah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau HDI – Human Development Index) yang juga tinggi. Peningkatan pada IPBK akan berpengaruh pula pada peningkatan IPM. DKI Jakarta misalnya, dengan IPBK 0,56 juga memiliki IPM tertinggi pada 2010, yaitu 77,35.

(Lihat: Grafik IPBK Indonesia 2013)

Mengapa bisa demikian? Dalam konsep pembangunan manusia, IPM merupakan indikator untuk mengukur hasil atau output dari pembangunan. IPM memudahkan berbagai pihak dalam menilai keberhasilan pembangunan di masing-masing wilayah. Di waktu yang sama diperlukan pula indikator untuk memantau dan mengevaluasi proses atau jalannya pembangunan. IPBK adalah indikator untuk mengukur proses tersebut.

“Ini merupakan salah satu prinsip yang penting dalam penyusunan IPBK. Sebab, IPBK hanya dapat digunakan apabila memiliki korelasi dengan IPM,” kata Peneliti PSKK UGM, Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. saat menjelaskan tentang proses penyusunan, pengukuran, dan hasil IPBK Tahun 2013 yang dilakukan oleh PSKK UGM, bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

(Lihat: Peta IPBK Indonesia Tahun 2013)

Ada lima dimensi dalam pengukuran IPBK. Pertama, dimensi partisipasi, baik partisipasi di bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Dimensi ini berangkat dari salah satu prinsip pembangunan berwawasan kependudukan bahwa penduduk adalah subyek atau pelaku pembangunan.

“Jika penduduk sebagai subyek, pelaku atau penggerak dari pembangunan, maka nilai luhur subyek tadi adalah partisipasi. Indikator penilaian terhadap partisipasi, kepedulian, dan keaktifan penduduk inilah yang perlu untuk diturunkan ke dalam variabel-variabel penyusun IPBK,” kata Joko lagi. 

Kedua, dimensi keberlangsungan yang disarikan dari prinsip pembangunan berkelanjutan. Penting untuk memahami bahwa sumber daya dan lingkungan memiliki keterbatasan kapasitas. Oleh karena itu, keberlanjutan mensyaratkan kondisi penduduk yang stabil (stable population). Maka, kebijakan kependudukan pun harus menjadi elemen sentral dari pembangunan ekonomi.

“Akses terhadap ekonomi, kesehatan, pendidikan hingga terjaganya daya dukung lingkungan tidak hanya berlaku untuk hari ini, tetapi juga untuk hari esok. Jadi, anak dan cucu kita berikutnya juga harus mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya tersebut,” jelas Joko.

Ketiga, dimensi pemihakan atau pro rakyat. Apakah negara berpihak terhadap rakyat atau tidak? Variabel yang diukur dalam dimensi ini adalah persentase Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi pendidikan dan kesehatan. DIY menempati urutan pertama untuk persentase APBD bagi pendidikan dengan nilai 45,63. Sementara Papua Barat dan Gorontalo di dua urutan akhir dengan nilai masing-masing 11,05 dan 11,02. Untuk persentase APBD kesehatan, DKI Jakarta menempati urutan pertama (20,50) sementara Maluku Utara di urutan terakhir (0,74). 

Keempat, dimensi integrasi yang mewakili prinsip bahwa data-data kependudukan adalah dasar utama bagi perencanaan kependudukan dan harus menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan. Kelima, dimensi kesetaraan untuk melihat apakah pembangunan sudah mengusung kesetaraan kepentingan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Salah satu variabel yang dilihat pada dimensi ini, yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan. Untuk variabel ini, Bali menempati urutan pertama dengan nilai 68,71 dan Kalimantan Timur di urutan terakhir dengan nilai 34,55.

Joko kembali mengatakan, angka IPBK nasional (0,5) sebetulnya belumlah maksimal. Suatu indeks dapat disebut bagus apabila nilainya mendekati angka 1. Artinya, pembangunan berwawasan kependudukan di Indonesia juga belum optimal, masih dinilai setengah-setengah.

“Mulai tahun ini Badan Pusat Statistik yang bertugas untuk mencari data-data baru yang diperlukan untuk menghitung IPBK. Rencananya, indikator-indikator di dalamnya akan dilihat setiap dua tahun sekali.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, ada tujuh prinsip dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. Dua di antaranya adalah integrasi kependudukan dalam pembangunan, yaitu 1) kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan dan 2) pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam  pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Kemudian disahkanlah Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2014 yang mengharapkan agar setiap kabupaten, kota maupun provinsi membuat GDPBK atau Grand Design Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Ini bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana pembangunan di suatu wilayah telah berwawasan kependudukan. Adapun peraturan perundang-undangan ini tak lain untuk menegaskan bahwa konsep pembangunan berwawasan kependudukan merupakan konsep penting yang perlu dipahami oleh semua pihak. [] Media Center PSKK UGM

BKKBN Bersama PSKK UGM Gelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan

Yogyakarta, PSKK UGM – Selama empat hari, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada menggelar Workshop Pembangunan Berwawasan Kependudukan. Adapun para pesertanya terdiri dari para Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN serta para Ketua Pusat Studi Kependudukan dari seluruh Indonesia.

Rangkaian kegiatan workshop dibuka oleh Kepala BKKBN. Dr. Surya Chandra Surapatty, MPH., Ph.D. Dalam arahannya, Surya menyampaikan tentang rencana program “Kampung KB” yang telah mendapat restu dari Presiden RI, Joko Widodo. Program ini khusus ditujukan bagi wilayah-wilayah yang kumuh, miskin, dan padat penduduknya seperti di kampung-kampung nelayan. Melalui program ini, BKKBN hadir untuk menyampaikan dan menggerakkan KKBPK atau Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga.

Untuk menunjang itu, diperlukanlah data-data mengenai keluarga dan BKKBN telah memulainya. Terhitung akhir Mei 2015, BKKBN telah selesai melakukan Pendataan Keluarga (PK) 2015 di seluruh wilayah Indonesia. Data yang dihasilkan tersebut diharapkan valid dan terpercaya karena akan menjadi basis bagi pengambilan keputusan (evidence based) maupun kebijakan yang pro rakyat. Terlebih lagi untuk bisa memberi solusi guna mencapai peluang bonus demografi yang diidam-idamkan oleh Indonesia.

“Pendataan Keluarga ini sejalan dengan salah satu tugas BKKBN untuk mengembangkan sistem informasi keluarga. Tidak berhenti di tahun ini saja, kita akan menugaskan lagi para petugas KB, penyuluh KB untuk melakukan pemutakhiran data kependudukan. Data ini bisa menjadi pembanding data-data lain yang dikeluarkan oleh BPS,” kata Surya, Rabu (7/10) malam lalu.

Selain tantangan bonus demografi, Indonesia juga menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang diberlakukan mulai 2016. Surya mengingatkan, bukan hanya barang dan jasa yang bisa keluar serta masuk ke Indonesia, namun juga tenaga kerja.

Setidaknya ada delapan sektor pekerjaan yang telah disepakati dalam penerapan MEA 2015, yakni engineering services, nurshing services, architectural services, surveying qualification, tourism, accountancy services, medical practitioners, dan dental practitioners. Para tenaga kerja professional yang memiliki keahlian di bidang ini bisa bebas masuk dan bekerja di negara-negara anggota ASEAN lainnya.

“Para bidan, dokter maupun perawat dari Bangladesh, Filipina, maupun negara-negara ASEAN lainnya bisa bekerja di sini. Dunia kerja akan semakin kompetitif dan sebetulnya kita patut khawatir karena rata-rata lama sekolah di Indonesia dilaporkan hanya 7,5 tahun. Artinya, sebagian besar hanya tamatan sekolah dasar,” kata Surya lagi.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada 2013 lalu yang menunjukkan, angkatan kerja Indonesia memang sebagian besar berpendidikan rendah. Ada lebih dari 118 juta angkatan kerja di Indonesia. Sebanyak 33 juta lebih merupakan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), kemudian 22 juta berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sekitar 19 juta berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menyampaikan, masalah kependudukan merupakan hal yang penting sehingga harus ditempatkan kembali sebagai “arus utama” pembangunan. Untuk itulah rangkaian workshop ini dilakukan.

Beberapa sesi workshop, antara lain penjelasan tentang Pembangunan Berwawasan Kependudukan (PBK), latihan analisis hasil Indeks Pembangunan Berwawasan Kependudukan (IPBK), konsep analisis kebijakan, latihan merumuskan masalah kebijakan kependudukan, teknik pengembangan alternatif dan kriteria kebijakan kependudukan, penyusunan rekomendasi kebijakan kependudukan, sampai policy dialog tentang kebijakan kependudukan. [] Media Center PSKK UGM | Photo. dok PSKK UGM

Revolusi Mental Ber-KB | Oleh: Razali Ritonga

Metrotvnews.com — PRESIDEN Jokowi tentang Revolusi Mental di harian Kompas (10/5/2014) menyebutkan bahwa hasil pembangunan yang belum optimal yang diselenggarakan pemerintah terutama diakibatkan mental bangsa yang belum berubah sejak era Orde Baru. Meskipun ada kemajuan, itu baru sebatas perubahan institusi dan belum menyentuh perubahan manusia. Karena itu, untuk mengoptimalkan hasil pembangunan, menurut Jokowi, revolusi mental perlu dilakukan. Revolusi mental menyangkut perubahan paradigma dan mindset dalam rangka membangun bangsa (nation building) yang dimulai tiap-tiap diri.

Revolusi mental ber-KB

Ternyata, rekam jejak mental bangsa yang digambarkan Jokowi itu pun terlihat dalam pelaksanaan program KB. BKKBN sebagai lembaga yang berwenang dalam pembangunan kependudukan dan KB secara institusi memang mengalami perubahan organisasi. Namun, celakanya, itu belum berdampak pada kemajuan ber-KB, itu termanifestasi dari angka kelahiran yang stagnan sebesar 2,6 selama dekade 2002-2012.

Diketahui, di era Reformasi, institusi BKKBN hanya bergerak vertikal hingga level provinsi dari semula vertikal hingga level kabupaten/kota pada era Orde Baru. Namun, perubahan institusi itu tidak membawa dampak positif terhadap pembangunan kependudukan dan KB.

Padahal, perubahan institusi itu bertujuan memberikan keleluasaan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pembangunan kependudukan dan KB. Pasalnya, persoalan kependudukan berbeda di tiap-tiap daerah. Hal itu juga sejalan dengan bergesernya penentuan keputusan ber-KB, dari semula berada di pihak pemerintah selama Orde Baru menjadi di pihak keluarga pada era Reformasi.

Namun, masyarakat tampaknya belum sepenuhnya siap atas perubahan keputusan ber-KB. Itu termanifestasi dari angka kelahiran yang stagnan pascapemberlakuan otonomi daerah sejak 2001. Keikutsertaan program KB juga hanya mengalami sedikit kenaikan selama satu dekade, yakni dari 60% pada 2002 menjadi 61,9% pada 2012, atau naik sekitar 2%.

Boleh jadi, meski masyarakat kini berada pada era Reformasi, mindset ber-KB mereka masih dipengaruhi nuansa Orde Baru. Padahal, perubahan keputusan dari pemerintah ke keluarga menuntut kemandirian. Hal itu tentu memerlukan perubahan perilaku dalam ber-KB.

Perilaku dalam ber-KB yang belum berubah, antara lain, tecermin dari sebagian suami, keluarga, dan masyarakat yang tidak mendukung perempuan ber-KB. Faktanya, tidak sedikit pihak yang memiliki mindset, misalnya, banyak anak menentukan rezeki, kawin di usia muda, dan khawatir kesuburan terganggu akibat ber-KB.

Mindset ber-KB yang belum berubah pada sebagian pihak menyebabkan tidak sedikit perempuan yang ingin ber-KB tapi tidak kesampaian untuk melakukannya. Fenomena itu disebut dengan unmet need. Hasil SDKI 2012, misalnya, menunjukkan unmet need mencapai sekitar 11,4%.

Jika saja fenomena unmet need dapat ditiadakan, itu akan sangat berarti dalam pencapaian keikutsertaan program KB di Tanah Air yang secara agregat berpotensi mencapai 73,3%. Dampaknya, angka kelahiran berpotensi berkurang sekitar 500 ribu-750 ribu kelahiran dari kisaran rata-rata jumlah kelahiran per tahun sebesar 3 juta-3,5 juta.

Mendistorsi bonus demografi

Sejatinya, revolusi mental ber-KB bertujuan mengakselerasi penurunan angka kelahiran yang kini amat diperlukan guna mewujudkan kehadiran bonus demografi. Hal itu mengingat kehadiran bonus demografi hingga puncaknya, yang diperbincangkan selama ini, baru merupakan suatu skenario berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk 2010-2035 dengan asumsi angka kelahiran sebesar 2,1 pada 2025. Adapun penetapan angka kelahiran sebesar 2,1 bertujuan agar jumlah penduduk stabil.

Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya memanfaatkan bonus demografi bisa meleset jika angka kelahiran tidak turun. Untuk itu, upaya pemanfaatan bonus demografi perlu disinergikan dengan upaya menurunkan angka kelahiran.

Bahkan, semakin cepat angka kelahiran dapat diturunkan, peluang pemanfaatan bonus demografi kian besar mengingat kemampuan pemerintah kian bertambah dalam menyiapkan kualitas generasi muda sebagai penggerak pembangunan bangsa ke depan.

Turunnya angka kelahiran dan pemanfaatan bonus demografi merupakan relasi yang saling menguatkan (mutualy reinforcing). Sebaliknya, kegagalan menurunkan angka kelahiran akan makin menghancurkan potensi pemanfaatkan bonus demografi, atau bersifat mutually stifling.

Dua anak cukup

Atas dasar itu, revolusi mental ber-KB amat diperlukan agar bonus demografi dapat terwujud dan optimalisasi nation building dapat tercapai. Adapun tujuan akhir dari revolusi mental ber-KB ialah terwujudnya dua anak.

Untuk menginspirasi perubahan mental dalam ber-KB, barangkali diperlukan acuan yang jelas dari pemeritah. Dalam kaitan itu, slogan 'dua anak cukup' yang telah lama digulirkan pemerintah barangkali bisa dijadikan acuan untuk melakukan revolusi mental ber-KB.

Slogan 'dua anak cukup' secara substansi memang bisa dijadikan acuan dengan mengubah kata CUKUP menjadi singkatan dari cerdas, unggul, kreatif, dan umur panjang'. Secara faktual, akronim dibalik kata 'CUKUP' itu bernuansa pembangunan manusia dari dimensi pendidikan (cerdas dan unggul), daya beli (bekerja dengan kreatif), dan kesehatan (umur panjang).

Selanjutnya, pemerintah secara konkret perlu mengimplementasikan acuan itu dengan memberikan jaminan keberlangsungan memperoleh pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, terutama untuk keluarga tak mampu. Memiliki anak sedikit dan berkualitas dapat dijadikan sebagai bukti untuk menginspirasi masyarakat tentang pentingnya ber-KB.

Sangat diharapkan adanya komitmen bersama pemerintah dan masyarakat untuk melakukan revolusi mental dalam rangka pembangunan kependudukan dan keluarga berencana untuk masa depan bangsa yang lebih baik. [] Razali Ritonga, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI

*Sumber: Metrotvnews.com | Ilustrasi layanan KB/BKKBN Pemkot Banjarmasin

Tingkat Kelahiran di Jakarta Beriringan dengan Angka Kemiskinan

JAKARTA, KOMPAS.com — Dibutuhkan setidaknya 10 tahun bagi Jakarta untuk menekan tingkat kelahiran dari 2,3 menjadi 2,0 (per 1.000 orang per tahun). Angka itu berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Ibu Kota yang juga tergolong tinggi, yakni 17 persen dari 10,2 juta jiwa warga Jakarta.

Hal itu mengemuka pada acara Optimalisasi Kinerja Pengelola Program Keluarga Berencana untuk Mewujudkan Jakarta Baru yang Sejahtera di kantor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta Timur, Senin (16/2).

Hadir di acara itu Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan KB DKI Jakarta Dien Emawati, dan Plt Kepala BKKBN Ambarahayu.

Basuki mengaku kaget mengetahui tingkat kelahiran Jakarta yang masih tinggi. Dari hasil survei yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, satu keluarga dengan dua anak itu membutuhkan biaya hidup di Jakarta Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan.

”Bagaimana bisa hidup sejahtera jika satu keluarga memiliki banyak anak. Di keluarga miskin, misalnya, asupan gizi untuk anak-anaknya pun akan kurang. Pendidikannya juga kurang terjamin,” ujar Basuki.

Adapun Dien Emawati menyampaikan, hingga 2014 ditemukan beberapa indikator kependudukan, antara lain Jakarta bergerak ke arah yang buruk. Dari segi pertumbuhan penduduk, terjadi kenaikan 1,43 persen selama 2010-2014, naik dari 9,5 juta jiwa menjadi 10,2 juta jiwa.

Sementara itu, tingkat kelahiran di DKI selama 10 tahun terakhir naik dari 2,1 menjadi 2,3. Tingkat Unmet Need, pasangan usia subur yang belum terjangkau alat kontrasepsi, naik dari 6,9 persen menjadi 13,2 persen dari jumlah pasangan usia subur (PUS) sebanyak 1,3 juta jiwa.

Untuk mengendalikannya, kata Dien, BPMPKB akan melaksanakan beberapa kegiatan besar selama 2015 ini, yaitu gerebek kawasan urban yang meliputi rumah susun, daerah kumuh, pasar, dan permukiman di pinggir rel kereta. Pelayanan KB, salah satunya, akan diadakan di pasar.

Menurut Ambarahayu, tingkat kelahiran di Jakarta mestinya di bawah 2. Namun, sekarang tingkat kelahiran Jakarta malah naik menjadi 2,3. Ini disebabkan belum optimalnya petugas penyuluh lapangan KB (PLKB).

Terkait hal itu, kata Dien, sebanyak 450 orang PLKB yang terjun di Jakarta masing-masing diwajibkan menjaring 85 peserta KB baru. Namun, langkah itu tetap membutuhkan proses hingga tingkat kelahiran di Jakarta dapat ditekan.

Basuki menyampaikan, dibutuhkan setidaknya 10 tahun untuk menekan tingkat kelahiran menjadi 2,0.

Komuter

Masih terkait soal kependudukan, 1,38 juta orang dari Bodetabek datang ke Jakarta setiap hari untuk bekerja, sekolah, atau kursus. Sebagian besar perjalanan komuter masih diakomodasi dengan kendaraan pribadi.

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta merilis, perjalanan komuter terbesar berasal dari Kota Bekasi, yakni 359.531 orang atau 26,02 persen. Komuter dari Kota Depok merupakan komuter terbanyak kedua yang mencapai 284.093 orang (20,55 persen), diikuti Kota Tangerang Selatan 210.875 orang (15,25).

”Komuter yang dimaksud adalah orang yang melakukan kegiatan di luar kabupaten/kota tempat tinggal, dan secara rutin pergi pulang ke tempat tinggal pada hari yang sama. Termasuk dalam komuter ini adalah warga DKI Jakarta yang bekerja di wilayah kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya, di DKI Jakarta,” kata Kepala BPS DKI Jakarta Nyoto Widodo, Senin, dalam konferensi pers tentang komuter DKI Jakarta tahun 2014.

Survei dilakukan terhadap 13.120 rumah tangga sampel di 13 kabupaten/kota di Jabodetabek. Jumlah warga Jakarta yang berkegiatan di wilayah kota yang berbeda dengan tempat tinggalnya mencapai 1,05 juta orang. Jika dijumlahkan dengan komuter Bodetabek, ada 2,43 juta komuter di dalam wilayah Jakarta. Sebagian besar komuter beraktivitas di wilayah Jakarta Selatan (28,98 persen), Jakarta Pusat (26,84), dan Jakarta Timur (16,8).

Kepala Bidang Statistik Sosial BPS DKI Jakarta Sri Santo Budi Muliatinah mengatakan, 70,95 persen komuter Jabodetabek pergi ke lokasi kegiatan dengan kendaraan pribadi, dan 69,15 persen pulang juga dengan kendaraan pribadi. ”Lebih dari 56 persen komuter menggunakan sepeda motor, dan selebihnya memakai mobil,” ujarnya. (MDN/ART)

*Sumber: KOMPAS | Ilustrasi kawasan slum/wordpress.com