Yogyakarta, PSKK UGM – Bertempat di Rumah Transisi, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta, presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengumumkan komposisi kabinet di masa pemerintahannya. Sebanyak 18 kementerian akan diisi oleh figur profesional murni, dan 16 kementerian lainnya diisi oleh figur profesional partai politik. Jokowi pun mengatakan, akan ada tiga kementerian baru di bidang kependudukan, agraria, serta ekonomi kreatif.
Bagi Dr. Agus Heruanto Hadna, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, langkah membentuk kementerian yang fokus terhadap isu-isu kependudukan tentulah sangat baik. Selama ini, isu-isu kependudukan belum menjadi fokus utama pemerintah. Padahal, banyak aspek pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari isu-isu kependudukan. Langkah baik ini bertujuan untuk mengembalikan isu kependudukan sebagai dasar pengambilan kebijakan.
“Jika kementerian kependudukan ini benar-benar terealisasi, maka jabatan atau posisi menteri akan jauh lebih baik diisi oleh figur yang berasal dari profesional murni, dan paham betul tentang kependudukan. Keahlian atau expertise dia memang di bidang kependudukan,” ujar Hadna.
Kompetensi di bidang kependudukan menjadi salah satu kriteria yang penting. Selama ini isu kependudukan masih dipandang pada persoalan jumlah penduduk, dan keluarga berencana saja walaupun cakupannya sebenarnya lebih luas dari itu. Ada persoalan kualitas penduduk, persoalan mobilitas atau pergerakan penduduk, hingga persoalan keluarga sebagai komunitas terkecil di dalam masyarakat.
Selain itu, kependudukan juga tak bisa dipandang berdiri sendiri. Kependudukan berkaitan erat dengan bidang-bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, keimigrasian, pangan, perekonomian, serta bidang lainnya. Multisektor inilah yang menuntut agar figur menteri terpilih nanti memiliki kewibawaan. Selain berintegritas, dia juga mampu melakukan berbagai pendekatan untuk memengaruhi, dalam kaitannya dengan koordinasi antarkementerian.
Salah satu problem mendasar birokrasi di Indonesia adalah masing-masing lembaga seperti kementerian tampak bekerja sendiri-sendiri. Hal ini menurut Hadna membuat kerja pemerintah selama ini kurang efektif. Beberapa kementerian bahkan seperti milik partai politik, bagian dari kompromi politik.
“Saya tidak berharap hal sama terjadi pada bidang kependudukan. Semoga figur terpilih nanti berani melakukan pendekatan, dan berkoordinasi dengan berbagai kementerian, terutama dalam menanamkan pentingnya isu kependudukan di dalam setiap bidang,” ujar Hadna.
Mandat Kependudukan
Sementara itu, ada beberapa isu besar yang perlu untuk dikawal apabila kementerian kependudukan jadi dibentuk. Pertama, potensi bonus demograsi Indonesia yang diperediksi mulai 2020 sampai 2030. Kondisi di saat rasio atau beban ketergantungan Indonesia berada pada posisi terendah, yakni 47. Pada periode ini Indonesia berpotensi menjadi negara sejahtera (welfare state).
Namun, bonus demografi bisa terjadi apabila jumlah angkatan kerja produktif seimbang dengan kualitas sumber daya manusia serta jumlah lapangan kerja. Salah persiapan hanya akan membuang peluang, dan berbalik menjadi ancaman. Jumlah angkatan kerja produktif bisa menjadi beban bagi pembangunan (demographic disaster).
Kedua, isu pengendalian jumlah penduduk. Menurut Hadna, peran BKKBN perlu diperkuat namun fungsinya dikembalikan seperti semula, yakni khusus menangani keluarga berencana (KB). Badan yang berfokus pada persoalan KB ini bisa berada di bawah kementerian kependudukan. Ketiga, isu mobilitas atau pergerakan penduduk. Agar penduduk tidak terkonsentrasi di satu wilayah saja seperti Pulau Jawa, maka penyebaran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, pemerataan fasilitas dan akses pendidikan serta kesehatan perlu diupayakan. Keempat, isu penguatan keluarga. Kelompok target dalam pembangunan kependudukan harus sampai pada komunitas terkecil masyarakat seperti keluarga.
“Keempat isu besar yang menjadi mandat bagi kementerian kependudukan tadi rasanya agak mustahil berjalan baik apabila tidak ada sistem informasi kependudukan. Selama ini data yang digunakan antara satu kementerian dengan yang lainnya sering tidak sama. Membangun sistem informasi kependudukan adalah pekerjaan awal yang bisa dilakukan,” ujar Hadna.
Sulitnya mendapatkan data demografi yang solid disebabkan oleh sistem informasi kependudukan yang belum maksimal dibangun. Sistem informasi kependudukan selama ini terjebak pada persoalan administrasi kependudukan (adminduk), seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hadna menambahkan, KTP sebenarnya hanya salah satu instrumen atau produk dari sistem informasi kependudukan. Sistem informasi kependudukan cakupannya akan lebih luas sekaligus krusial karena bisa digunakan oleh lembaga atau kementerian lainnya sebagai basis data.
“Berkaca dari persoalan pemilu kemarin yang dibawa sampai ke tingkat Mahkamah Konstitusi. Problem utamanya terletak pada data kependudukan. Masing-masing pihak mengatakan ada upaya untuk memanipulasi. Nah, ini jangan sampai terjadi lagi. Kementerian kependudukan bisa mulai dengan membangun sistem informasi kependudukan. Mengingat rawan dimanipulasi, maka baiknya kementerian ini dipimpin oleh figur yang profesional murni,” tegas Hadna. [] Media Center PSKK UGM (Photo: Detik.com)