Riset Peningkatan Kapasitas UMKM dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PSKK UGM Dorong Pemerintah Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi

22 September 2022 | media_cpps
Berita PSKK, Informasi, Main Slide, Siaran Pers

PSKK UGM – Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian mengalami perubahan di beberapa pasal melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021, secara khusus, pemerintah mendorong peran usaha mikro dan usaha kecil (UMK) dalam sistem pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah yang dilakukan secara elektronik/e-procurement. Perpres Nomor 12 Tahun 2021 secara tegas mewajibkan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk belanja barang/jasa dari UMK. UMK dan koperasi diberikan kesempatan minimal 40 persen terlibat dalam proses pengadaan anggaran belanja barang/jasa, APBN, dan APBD.

Namun sejak dikeluarkannya kebijakan tersebut, masih ditemukan sejumlah masalah dalam implementasinya, diantaranya kurangnya akses ke informasi terhadap penawaran, kolusi antar peserta lelang atau penyedia layanan, dan korupsi. Atas dasar inilah, PSKK UGM melakukan kajian tentang pelibatan usaha mikro kecil menengah (UMKM) dalam PBJ pemerintah.

Klasifikasi UMKM yang dikaji mengacu pada kriteria terbaru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (PP UMKM).

Kajian yang didukung oleh Cardno Emerging Market-Mahkota dan TNP2K ini bertujuan untuk (1) menggali dan belajar dari pengalaman negara lain dan beberapa pemerintah daerah (pemda) dalam memfasilitasi keterlibatan UMKM; (2) meninjau rencana dan program strategis berbagai kementerian untuk memfasilitasi partisipasi UMKM; (3) identifikasi keuntungan dan kerugian, jika ada, untuk menetapkan kuota 40 persen dari PBJ pemerintah untuk UMKM; (4) meneliti faktor pendukung, persyaratan pelaksanaan dan tantangan yang mungkin dihadapi kementerian terkait dan UMKM untuk berpartisipasi; (5) mengevaluasi kesiapan kementerian terkait dan UMKM untuk terlibat; dan (6) merekomendasikan langkah-langkah kritis yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi keterlibatan UMKM dalam PBJ pemerintah. Data dan informasi dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD) dan wawancara semi terstruktur dengan K/L dan pemda, asosiasi UMKM, serta UMKM. Pengumpulan data dilakukan secara daring. Lokus penelitian adalah 12 kabupaten/kota di 4 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur).

Studi ini mengidentifikasi beberapa isu utama yang dihadapi oleh pelaku pengadaan di K/L yang berpartisipasi dalam studi ini, yaitu (1) gap antara kebutuhan pemerintah dan ketersediaan produk UMKM dan produk dalam negeri, (2) persepsi risiko pengadaan menggunakan produk UMKM dan dalam negeri, (3) integrasi sistem dan data, (4) adaptasi perubahan menuju sistem pengadaan elektronik, dan (5) hambatan dalam akselerasi penggunaan KKP sebagai sistem pembayaran elektronik.

Sisi lain, kajian ini juga mengidentifikasi sejumlah hambatan yang ditemui UMKM dalam mengikuti PBJ pemerintah. Hambatan tersebut adalah (a) kendala permodalan, utamanya keterbatasan akses pada Lembaga keuangan formal; (b) terbatasnya kemampuan teknologi informasi, yaitu banyak dari mereka yang belum siap untuk “go digital” dan tergabung dalam marketplace; (c) terbatasnya kemampuan SDM, khususnya dalam penguasaan teknologi produksi terbaru, sistem quality control, serta kemampuan membaca kebutuhan pasar; (d) persyaratan PBJ yang rumit; (e) lamanya proses pembayaran.

Berdasarkan temuan atas hambatan dan kendala tersebut, maka kajian ini merekomendasikan upaya perbaikan pada lima aspek, baik dari sisi pemerintah (demand side) maupun UMKM (supply side). Lima aspek tersebut adalah aspek fasilitasi UMKM, produk UMKM, sosialisasi PBJ, aspek keuangan, dan aspek permodalan.***