Rawan Konflik, Krisis Multidimensi Terjadi di Rakhine

08 Oktober 2017 | admin
Berita PSKK, Main Slide, Seminar

Yogyakarta, PSKK UGM – Kondisi terkini Rakhine State, Myanmar dinilai mengkhawatirkan pasca serangan yang dilakukan oleh kelompok militan bersenjata ARSA (Arakan Rohingya Salvation Arm) ke beberapa pos polisi dan fasilitas penampungan pengungsi di Maungtaw pada 25 Agustus lalu. Serangan tersebut melahirkan rantai kekerasan baru karena pihak militer Myanmar melakukan aksi balasan. Operasi militer digencarkan dan ribuan warga di Rakhine terpaksa mengungsi. Sebagian besar etnis warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Staf Ahli Bidang Hubungan Antarlembaga, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Salman Al Farisi mengatakan, Rakhine mengalami krisis multidimensi, di antaranya krisis pembangunan (development crisis). Rakhine adalah negara bagian Myanmar yang paling miskin. Laporan Badan PBB untuk Anak-Anak (UNICEF) menyebutkan, indikator pembangunan sosial Rakhine tergolong paling buruk. Hal itu ditandai dengan tingginya angka gizi buruk, rendahnya angka partisipasi dan kelulusan dalam pendidikan dasar, serta akses yang buruk terhadap air bersih dan sanitasi.

Data MICS (Multiple Indicator Cluster Surveys 2009-2010) menunjukkan, di Rakhine, kasus stunting, yaitu kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi sehingga tinggi anak terlalu pendek untuk usianya, hampir mencapai 50 persen. Jauh lebih tinggi di atas angka rata-rata nasional Myanmar, yakni 35 persen. Selain itu, sekitar 42 persen rumah tangga di Rakhine juga tidak mendapatkan sumber air yang baik. Kita ketahui, keterbatasan akses air minum yang aman merupakan penyebab utama kasus diare dan secara global hampir 80 persen kasus kematian pada anak disebabkan oleh penyakit ini.

Salman menambahkan, persoalan kedua adalah krisis kemanusiaan (human crisis). Warga Rohingya tidak diakui sebagai masyarakat etnis Rohingya sejak 1982. Mereka bahkan tidak diakui sebagai penduduk Myanmar. Ketiga, krisis keamanan atau security crisis. Muncul kelompok-kelompok radikal seperti ARSA yang menurut International Crisis Group, memiliki keterkaitan dengan kelompok Islam radikal, seperti ISIS atau al-Qaeda. Ata Ullah, tokoh di balik ARSA adalah seorang warga Pakistan yang disebut terkait dengan kelompok radikal.

“Namun, ini perlu dibuktikan lagi dengan seksama. Agar konflik tidak berlanjut maka dibutuhkan penanganan yang berkelanjutan. Kita menghindari Rakhine menjadi seperti Marawi. Regionalisasi ISIS kini sudah sampai Marawi yang lokasinya berbatasan langsung juga dengan Indonesia,” jelas Salman.

Konflik di Rakhine juga membuat mata internasional tertuju pada Pemimpin Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi yang cenderung bersikap diam menanggapi kasus warga Rohingya. Hingga akhirnya pada 19 September lalu, Aung San Suu Kyi bersuara menyampaikan pidatonya. Seperti yang dilansir dari laman Kompas.com (Suu Kyi: Jangan Belah Myanmar dalam Agama dan Etnis…), Syuu Ki tidak ingin Myanmar terpecah belah karena perbedaan agama maupun etnisitas. Myanmar juga siap mengambil kembali para pengungsi yang tunduk dalam proses “verifikasi”. Namun, kubu militer Myanmar berkata lain, untuk tidak akan membawa kembali orang-orang yang terkait dengan terorisme.

Dalam agenda Policy Corner “Update from Myanmar” yang diselenggarakan oleh Program Magister dan Doktor Studi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (28/9) itu, Salman juga mengatakan, kedudukan Suu Kyi sebagai state counsellor cukup rentan. Kedudukannya tersebut sebetulnya diciptakan dalam rangka rekonsiliasi demokrasi; sebagai wadah bagi ketua partai pemenang pemilu untuk memiliki porsi kekuasaan di Myanmar. Suu Kyi tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan militer Myanmar.

“Ini yang disebut unfinished business of reform and democratization, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terjadi karena tokoh-tokoh militer Myanmar masih belum sepenuhnya mau memberikan kekuasaan atau privilege yang selama ini mereka miliki,” ujar Salman.

Suu Kyi berada dalam posisi yang tidak mudah. Dalam pidatonya dia pun mengatakan, tidak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa permasalahan yang terjadi di Rakhine bisa selesai dalam waktu singkat. Suu Kyi, menurut Salman, mau tidak mau memang harus cermat serta cerdas di dalam menangani kasus warga Rohingya, ditambah lagi di dalam mengelola hubungan dengan militer Myanmar maupun warga mayoritas Myanmar yang beragama Budha. [] Media Center PSKK UGM | Photo: Rohingya Muslim refugees make their way into Bangladesh after crossing the Myanmar Bangladesh border on September 07, 2017/CNN