Suara Merdeka, Yogyakarta – Tindak kriminal di jalan atau klitih yang semakin marak menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Pelaku bervariasi namun kebanyakan anak muda atau pelajar yang suka keluyuran apalagi bergerombol.
Aksi kekerasan ini sudah mengakibatkan korban jiwa. Hanya gara-gara persoalan sepele atau saling memandang, bertegur malah menjadi aksi kriminal. Pelaku seolah-olah tak peduli aturan dan hukum. Mereka berbuat seenaknya tanpa peduli orang lain, lingkungan sekitar.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna menilai aksi-aksi kekerasan tersebut tidak bisa dianggap sepele karena berpotensi memunculkan konflik sosial lebih destruktif. Yogyakarta memang belum memiliki sejarah konflik mengkhawatirkan, namun tidak berarti terbebas dari potensi konflik.
Ia menjelaskan, studi perubahan sosial dan potensi konflik yang dilakukan PSKK UGM pada 2013 dan 2016 menunjukkan, dari total jumlah responden 7.752 orang, sebanyak 50,48 persen memiliki persepsi aksi-aksi premanisme meningkat semenjak 2013 hingga 2016. Peningkatan tersebut dirasakan masyarakat di Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta.
Responden yang mengatakan aksi kekerasan dan premanisme tetap sebanyak 18,7 persen dan yang mengatakan turun 18,65 persen. Sisanya 12,16 persen mengatakan tidak tahu. Mengenai perkembangan premanisme, sebanyak 49,42 persen masyarakat Bantul memberikan persepsi naiknya tindakan premanisme di wilayahnya. Persentasi ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya seperti Sleman (32,36 persen), Gunungkidul (26,81 persen), Kota Yogyakarta (23,78 persen), dan Kulon Progo (18,26 persen).
Kaitan Ekonomi
“Studi yang sama pernah kami lakukan pada 2013 lalu. Jika dibandingkan dengan studi yang lalu maka indeks potensi konflik yang bersumber dari aksi premanisme meningkat di wilayah Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Untuk Kulonprogo indeksnya tetap, sedangkan Gunungkidul indeksnya turun,” ujar Hadna, kemarin.
Tingginya indeks potensi konflik dari premanisme diduga juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Kota Yogyakarta, Sleman, maupun Bantul merupakan wilayah dengan laju pertumbuhan ekonomi tinggi. Data Badan Pusat Statistik DIY menunjukkan, pertumbuhan ekonomi di Kota Yogyakarta pada 2012 tertinggi di DIY, yakni 5,76 persen, disusul Sleman (5,45 persen), dan Bantul (5,34 persen).
Menurutnya, kemungkinan memang ada indikasi saat pertumbuhan ekonomi naik, potensi konflik juga dirasakan naik. Di satu sisi diduga ada motif-motif ekonomi yang melatarbelakangi munculnya tindak premanisme karena perebutan sumber daya ekonomi terbatas. Di sisi yang lain, pengaruh pertumbuhan ekonomi mendorong terjadinya transformasi sosial budaya ditandai bergesernya nilai-nilai dari model masyarakat yang gemeinschaft menuju masyarakat gesellschaft. Pada model masyarakat yang disebut terakhir ini nilai-nilai kekerabatan menjadi longgar dan diganti dengan nilai-nilai transaksional.
Ia menyarankan perlunya pertumbuhan ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat. Basis-basis ekonomi harus tersebar merata tidak hanya di perkotaan tetapi juga sampai pada tingkat perdesaan.
Perhatian terhadap wilayah perdesaan menjadi penting karena angka kemiskinan di perdesaan (16,63 persen) lebih tinggi ketimbang di perkotaan (11,79 persen) pada Maret 2016. Penguatan ekonomi di perdesaan diharapkan akan menekan angka urbanisasi yang tidak perlu.
Hadna menambahkan, Pemerintah DIY memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengantisipasi dan mengelola potensi konflik. Pemerintah harus mengembangkan kebijakan publik yang berkeadilan, berperspektif multikultur, dan peka terhadap berbagai potensi konflik. (D19-52) []
*Sumber: Suara Merdeka, 23 Desember 2016 | Ilustrasi kekerasan atau aksi premanisme/merdeka.com