Polemik Miras DI Yogyakarta: Perbedaan Persepsi dan Regulasi Usang di Era Digital

PSKK UGM – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengadakan audiensi hasil riset terkait polemik miras – minuman keras – di Yogyakarta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DI Yogyakarta pada Senin, 28 Juli 2025 di kantor DPRD DIY.

Pada pertemuan ini, peneliti PSKK UGM, Hakimul Ikhwan, M.A., PhD., Triyastuti Setianingrum, M.Sc., dan Asmarawati Handoyo, SIP., MPA., Ph.D. menyampaikan bahwa pasar miras di DI Yogyakarta saat ini menjadi lebih masif, terbuka, dan mudah diakses oleh masyarakat. Oleh karenanya penting dilakukan pemetaan kembali terkait bagaimana persepsi dan kepentingan masing-masing stakeholders terhadap peredaran dan kosumsi miras di DIY, serta meninjau ulang efektivitas regulasi-regulasi yang telah ada dalam mengatur peredaran dan konsumsi miras di DIY.

Hasil riset PSKK UGM menunjukkan bahwa ada silang persepsi dan kepentingan dari beragam stakeholders terkait keberadaan komoditas miras di DIY. Misalnya, bagi pelaku usaha, miras adalah komoditas dan sumber pendapatan yang menjanjikan mengingat potensi DI Yogyakarta sebagai destinasi wisata dan tujuan pelajar dari berbagai daerah. Namun kelompok kepentingan dan masyarakat sipil berpendapat bahwa peredaran miras di DIY yang semakin masif dapat mengancam citra Yogyakarta sebagai kota pelajar.

“Bagi kelompok kepentingan dan masyarakat sipil seperti DI Yogyakarta seperti Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Forum Komunikasi Jogjakarta Raya (FKJR), dan NGO lainnya seperti Rumpun Nurani memiliki keinginan menjaga citra DI Yogyakarta sebagai kota pendidikan, melindungi masa depan generasi muda, dan menjaga kestabilan sosial. Mereka berharap regulasi dapat ditegakkan, selain itu, kelompok ini juga berharap regulasi baru untuk mengatur peredaran miras online dapat segera dibentuk,” papar Asmarawati Handoyo.

Asmarawati melanjutkan, dari sisi stakeholder pembuat kebijakan, seperti DPRD DIY dan juga dinas-dinas terkait, berpandangan bahwa miras adalah produk yang tidak sepenuhnya dapat dilarang namun memang perlu untuk dibatasi dan dikendalikan. Sementara dari pengawas dan penegak hukum, seperti aparat kepolisian dan satpol PP DI Yogyakarta, mengakui bahwa peran dan komitmen mereka adalah kunci utama dalam upaya pengendalian miras. Namun  dari pengawas dan penegak hukum berpendapat bahwa peran masyarakat juga sangat signifikan untuk turut serta mengawal polemik ini, mengingat keterbatasan sumber daya dan keterjangkauan wilayah yang dimiliki pihaknya.

Saat ini pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk pengendalian peredaran dan konsumsi miras. Misalnya, dari pemerintah pusat terdapat Perpres No. 74 Tahun 2013 dan Permendag No. 20 Tahun 2014, terkait syarat-syarat perijinan, ketentuan lokasi, system pengawasan, serta pembatasan usia konsumen. Kemudian di tingkat provinsi ada Perda DIY No 12 Tahun 2015. Pada tingkat daerah, sedikitnya ada delapan perda kabupaten/kota di wilayah Yogyakarta mengatur lebih lanjut dengan memperhatikan aspek kontekstual di masyarakat.

Namun, tim peneliti PSKK UGM menilai bahwa sejumlah regulasi miras di DIY saat ini telah usang dan tidak relevan dengan perkembangan teknologi, seperti Perda Kotapraja Yogyakarta Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Izin Penjualan dan Pemungutan Pajak Atas Izin Menjual Minuman Keras Dalam Daerah Kotapraja Yogyakarta, yang belum pernah diperbaharui sejak 70 tahun lalu.

Selain itu, hasil riset PSKK UGM juga menemukan adanya kelonggaran beberapa regulasi turunan di tingkat Kabupaten di DI Yogyakarta, seperti terkait ketentuan jarak lokasi penjual miras. Permasalahan regulasi lainnya berkenaan dengan kemudahan izin berusaha melalui kebijakan baru One Single Submission (OSS). Lebih dari itu, pada kesempatan ini, tim peneliti PSKK UGM juga menekankan adanya kekosongan regulasi yang mengatur jual beli miras online.

Mananggapi hal ini, tim peneliti PSKK UGM merekomendasikan sejumlah rekomendasi kebijakan, dua diantaranya yakni agar para stakeholders melakukan revisi terhadap regulasi di tingkat kabupaten/kota yang telah usang dan yang memberikan kelonggaran peraturan yang tidak sesuai dengan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (pusat dan provinsi) khususnya berkaitan dengan perizinan lokasi usaha miras. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk segera menerbitkan regulasi baru yang secara tegas melarang penjualan miras online.

Regulasi terkait usaha miras online ini juga perlu diikuti dengan pembentukan satuan pengawasan berbasis digital untuk memantau dan menindak pelanggaran praktik jual beli miras online,” pungkas Asmarawati.

Paparan hasil riset PSKK UGM terkait polemik mirasi di DIY ini disambut baik oleh Ketua DPRD DIY, Nuryadi. Ia menilai, hasil riset ini menjadi landasan penting dalam pembahasan regulasi yang lebih komprehensif dan kontekstual bagi DIY.

“Temuan ini menjadi masukan strategis untuk kita bahas lebih lanjut, terutama dalam penyusunan regulasi daerah yang tidak hanya tegas, tapi juga mempertimbangkan pendekatan sosial dan budaya masyarakat DIY,” ujar Nuryadi, sebagaimana dilansir dari laman dprd-diy.go.id pada Selasa, 29 Juli 2025.

Nuryadi juga menegaskan bahwa regulasi di daerah harus tetap sejalan dengan aturan yang lebih tinggi. Ia menambahkan bahwa seluruh fraksi memiliki komitmen dalam mengatur peredaran miras.

“Perda itu tidak bisa bertentangan dengan aturan pusat dan di DIY menurut saya tidak ada satu pun partai yang tidak peduli terhadap isu miras. Ini akan menjadi fungsi kami yakni membuat regulasi, sedangkan penindakan adalah tugas aparat penegak hukum,” ujar Nuryadi.

Penelitian PSKK UGM bertajuk, “Kajian Pemetaan Stakeholders dan Evaluasi Regulasi Peredaran Minuman Keras (Miras) di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta” merupakan kerja sama dengan Kepolisian Daerah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY). Hadir pula dalam audiensi ini sejumlah perwakilan dari DPRD DIY yakni, Nuryadi (Ketua DPRD DIY), Eko Suwanto (Ketua Komisi A DPRD DIY), dan Yudi Ismono (Sekretaris DPRD DIY). ***