PRESIDEN Joko Widodo pada peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2014, di GOR Ciracas Jakarta, mengungkapkan kekagetannya atas ketimpangan yang dialami perempuan Jakarta dan perempuan NTT. Tidak dirinci kekagetan itu menyangkut hal apa tetapi kita dapat menebak dengan cukup pasti, kekagetan ini berkaitan dengan perjuangan perempuan NTT membangun ekonomi keluarga.
Ketika berada di Belu, Presiden sempat terharu menyaksikan seorang nenek lalu menyerahkan amplop berisi uang sebanyak Rp112 juta kepada warga setempat. Penyerahan uang sejumlah ini jelas bukan dimaksudkan sebagai penyelesaian instan atas masalah kemiskinan yang dihadapi warga, melainkan reaksi spontan seorang kepala negara menyaksikan penderitaan rakyat yang dipikulnya sebagai amanat.
Sebagai tindak lanjut atas kekagetan ini, Presiden menginstruksikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Prof. Yohana Yambise untuk mencari perkampungan di mana Hari Ibu bisa dirayakan. Tentu saja bukan urusan seremonial yang menjadi fokus, melainkan bagaimana memotret kondisi perempuan Indonesia dari desa.
Perempuan NTT
Penduduk NTT berjumlah 4.953.967 jiwa (NTT Dalam Angka, 2014), terdiri atas 2.455.068 laki-laki (49,56%) dan 2.498.899 perempuan (50,44%), atau perempuan sedikit lebih banyak 0,88% — tidak sampai satu persen. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,7% per tahun maka di tahun 2015, penduduk NTT akan menjadi 5.038.184 orang dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang kurang lebih sama. Dari jumlah 5 jutaan ini terdapat 2.104.507 jiwa berusia di atas 15 tahun yang dikategorikan sebagai angkatan kerja yang bekerja, dengan proporsi laki-laki sebanyak 1.209.927 jiwa (57,49%) dan perempuan 894.535 (42,51%).
Kurang lebih 60% angkatan kerja ini terserap di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Jumlah lain yang cukup besar terserap di sektor jasa sebesar 13%. Dalam persentase yang lebih kecil tetapi merupakan sektor yang banyak digeluti perempuan, sektor industri pengolahan dan perdagangan kecil dan besar – masing-masing bisa menyerap tenaga kerja perempuan antara 7 hingga 8 persen.
Dalam bidang pertanian lahan basah, dapat dilihat bagaimana perempuan berjibaku memasok kecukupan pangan bagi NTT. Pagi buta mereka sudah memoles molang (tabir surya tradisional) di wajahnya, memasang caping di kepala dan menceburkan kakinya dalam lumpur sawah, praktis sepanjang hari untuk menanam anakan padi. Kegiatan yang sama akan terulang kembali saat mengetam padi.
Dengan empat kali membenamkan dirinya di lumpur sawah dalam dua semester, seorang perempuan NTT sanggup memenuhi kebutuhan beras untuk seluruh keluarganya sepanjang tahun. Dalam industri pengolahan, perempuan NTT telaten mengolah makanan kecil untuk dijual di kios atau di kantin-kantin sekolah dan kantor, atau membuka warung makan di tempat-tempat stategis. Dalam bidang tenun ikat, perempuan NTT mengukir prestasi dengan menghasilkan bahan sandang yang dikenakan para kepala negara dalam sebuah KTT di Bali. Presiden SBY di beberapa kesempatan dengan bangga mengenakan kemeja karya perempuan NTT. Sayang langkahnya belum diikuti oleh Presiden Jokowi yang lebih nyaman dengan kemeja putihnya.
Sebagai penghasil devisa, NTT telah mengirim 2.693 tenaga kerja formal dan informal yang bekerja di berbagai negara, terbanyak di antaranya di Malaysia, Singapura dan Hongkong. Dari jumlah ini 826 tenaga kerja adalah perempuan yang banyak bekerja sebagai PRT. Banyak kisah miris telah berulang kita dengar, baca dan saksikan sendiri – mulai dari Nirmala Bonat yang wajahnya diseterika hingga Winfrida Soik yang terancam hukuman mati tetapi akhirnya dibebaskan.
Dalam bidang yang lebih "terhormat" (menurut kacamata publik) yaitu pegawai negeri sipil ada 50.626 perempuan dari 109.783 PNS yang ada di NTT. Dilihat dari jenjang pendidikan, perempuan tidak kalah hebatnya. PNS yang bergelar doktor misalnya di NTT ada 14 orang, 3 dari antaranya perempuan. Yang begelar magister ada seribu lebih terdiri dari 755 laki-laki dan 312 perempuan.
Dalam penyelenggaraan negara, semua istri PNS tergabung dalam Dharma Wanita dan istri kepala pemerintahan dari tingkat desa hingga provinsi menjadi ketua tim penggerak PKK. Di masa Ben Mboi menjadi gubernur, pendidikan dan keterampilan istri menjadi pertimbangan ketika seseorang PNS dipromosikan menjadi pejabat publik.
Dari deskripsi di atas perempuan NTT mempunyai potensi besar sebagai kekuatan pembangunan, tetapi potensi ini belum dikelola secara optimal. Potensi ini juga menghadapi kendala-kendala.
Kendala dalam Pembangunan Perempuan NTT
Secara umum, dapat dikatakan bahwa budaya patriarki menjadi penghalang kemajuan perempuan. Budaya patriarki adalah budaya menempatkan laki-laki sebagai sentral dalam seluruh worldview: pengambil keputusan, pencari nafkah, penerus garis keturunan, benteng perlindungan dan sebagainya. Tetapi sama benarnya dapat dikatakan bahwa "matriarki" juga menjadi penghalang kemajuan perempuan. Dengan sengaja kata ini diberi tanda petik karena mempunyai makna khusus.
Ketika perempuan diberi akses yang besar untuk sebuah jabatan publik atau pengambil keputusan penting, yang terjadi bukan menguatnya soliditas melainkan rivalitas: perempuan tidak mendukung perempuan, terutama ketika perempuan maju sebagai calon legislatif atau calon kepala daerah. Seluruh suasana ini masih bergelayut di kepala para top eksekutif di daerah sehingga abai memperhatikan tingginya angka kematian ibu dan bayi, kasus human trafficking yang terhalang oleh bertali-temalinya kepentingan oknum bahkan institusi polisi dan pejabat publik, diprioritaskannya laki-laki dalam meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi dst.
Kebijakan yang Memihak Perempuan
Dari berbagai masalah ini perlu ada aksi afirmatif sebagai berikut. Di bidang perlindungan tenaga kerja, pemda kabupaten melalui seluruh jaringannya perlu memantau TKW yang akan berangkat ke luar negeri: usia, pendidikan dan ketrampilannya dan mencegah pemberangkatannya bisa ketiga syarat ini belum terpenuhi. Pemda juga bisa mendirikan Balai Latihan Kerja bila warganya hendak dijadikan penghasil devisa.
Memang, keberangkatan seorang gadis remaja atau perempuan dewasa ke Jawa atau Kalimantan tidak bisa dicegah karena merupakan hak warga negara. Tetapi perlintasan manusia NTT ke luar negeri kan sudah diketahui di mana jalur legal dan di mana jalur ilegal. Di kedua jalur inilah ditempatkan perwakilan kita untuk memonitor siapa yang boleh berangkat dan siapa yang harus dicegah keberangkatanya.
Di bidang pendidikan, sosialisasi perlu terus dilakukan tentang kesetaraan anak laki-laki dan perempuan, dan bahwa laki-laki dan perempuan terpelajar sama bergunanya bagi bangsa dan negara. Dan di bidang kesehatan pemda perlu bertindak tegas dan keras baik terhadap direktur Rumah Sakit maupun Kepala Dinas Kesehatan tentang ketersediaan obat dan fasilitas serta personel bagi ibu hamil dan melahirkan. Flores Timur, dengan dr. Yosep Usen Aman sebagai pentolannya, cukup berhasil dalam program perlindungan ibu hamil dan melahirkan, kabupaten lain perlu studi banding ke sana.[] Dra. Mien Hadjon Pattymangoe | Ketua FORKOM P2HP NTT
*Sumber: Tribun Kupang | Ilustrasi perempuan NTT/istimewa