Pertumbuhan ekonomi melemah diiringi daya serap tenaga kerja yang semakin rendah. Pemerintah keluarkan dana 223 juta rupiah untuk mengurangi satu penduduk miskin.
JAKARTA, Koran Jakarta – Perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia dinilai relatif berjalan lambat, walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mendorong perekonomian domestik.
Salah satu persoalan ekonomi yang hingga kini belum berhasil ditangani dengan baik oleh pemerintah adalah masih tingginya angka pengangguran dan rendahnya kualitas penyerapan tenaga kerja.
Ekonom Center Of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengungkapkan tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2016 memang turun menjadi 5,61 persen, dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6,18 persen.
Akan tetapi, jumlah angkatan kerja yang masuk dalam kategori setengah pengangguran masih cukup tinggi yakni sebanyak 8,97 juta orang atau 7,6 persen dari penduduk yang bekerja.
“Belum lagi jumlah pekerja paruh waktu masih cukup besar yakni 23,3 juta orang atau 19,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja,” ujar Faisal di Jakarta, Selasa (20/12).
Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan setengah pengangguran adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya mereka bekerja kurang dari 35 jam seminggu.
Faisal menambahkan penyerapan tenaga kerja tahun ini juga masih didominasi oleh sejumlah sektor dengan tingkat produktivitas relatif rendah. Sektor tersebut adalah sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 1,5 juta orang (42 persen), sektor perdagangan 1 juta orang (28 persen), dan sektor transportasi 0,5 juta orang (14 persen).
Sementara itu, sektor industri manufaktur yang selama ini memiliki tingkat produktivitas tinggi hanya menyumbang delapan persen dari total penyerapan tenaga kerja tahun ini.
Sebelumnya, Menteri PPN/ Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyebutkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di RAPBN 2017 diproyeksikan 5,3-5,6 persen karena pertumbuhan ekonomi belum signifikan. Target pertumbuhan ekonomi 2017 ditetapkan sebesar 5,3 persen.
“Isu pembangunan sekarang ini daya serap tenaga kerja lebih rendah, pertumbuhan ekonomi tidak tinggi seperti yang diharapkan, investasi tidak besar dan yang masuk padat modal tidak lagi padat karya sehingga kemiskinan turunnya melambat,” jelas Bambang.
Ia menambahkan tingkat kemiskinan tahun depan diasumsikan 9,5-10,5 persen. Pada 2016, targetnya 10,5 persen tapi realisasinya 10,6 persen karena pertumbuhan ekonomi tidak setinggi yang diharapkan, termasuk pengaruh inflasi.
Kurang Efektif
Menurut Faisal, tingkat kemiskinan tahun ini turun dari 11,22 persen pada Maret 2015 menjadi 10,86 persen pada Maret 2016. Namun, penurunan itu relatif kecil karena dalam setahun, penduduk miskin hanya turun 580 ribu orang. Penurunan di perdesaan jauh lebih lambat dibandingkan dengan penduduk miskin perkotaan.
“Padahal, di saat yang sama, anggaran kemiskinan meningkat cukup tinggi dari 172 triliun rupiah pada 2015 menjadi 214 triliun rupiah pada 2016. Ini menunjukkan program kemiskinan yang selama ini dijalankan pemerintah masih kurang efektif dalam menanggulangi kemiskinan,” ujar Faisal.
Ia menambahkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sejak 2009 turun sebanyak 4,5 juta penduduk, dari 32,5 juta menjadi 28 juta penduduk. Namun, dana yang dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan ternyata sangat besar, yakni dari 80 triliun rupiah pada 2009 menjadi 214 triliun rupiah pada 2016.
“Akumulasinya mencapai 1.004 triliun rupiah. Artinya butuh 223 juta rupiah untuk mengurangi satu penduduk miskin,” papar dia. Peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Sukamdi, mengatakan meskipun pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir dinilai mengesankan namun kemiskinan dan ketimpangan terus menjadi problem bangsa.
Data BPS 2016 menyebutkan 28,1 juta orang di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan yang didominasi oleh kawasan Indonesia timur yang selalu berada di atas rata-rata angka kemiskinan daerah lain.
Kalau struktur ekonomi saat ini terus dilanggengkan, akan sulit bagi Indonesia untuk mengakhiri kemiskinan yang menjadi poin pertama dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. ahm/YK/SB/WP []
*Sumber: Koran Jakarta |Foto: ANTARA