JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan manusia di Indonesia rentan guncangan. Untuk itu, pembangunan perlu memperhatikan risiko serta kerentanan di dalam masyarakat dan lingkungan agar ada ketahanan dalam menghadapi guncangan. Begitu pembangunan manusia terperosok, butuh waktu lama untuk bangkit.
Isu mempertahankan kemajuan pembangunan manusia dengan memperhatikan kerentanan itu menjadi pesan terkait Indeks Pembangunan Manusia 2014 oleh Program Pembangunan PBB (UNDP). Indeks itu diluncurkan beberapa waktu lalu.
Pesan itu disampaikan Country Director UNDP Indonesia Beate Trankmann, dalam seminar ”Sustaining Human Progress; Reducing Risks and Vulnerabilities in Indonesia”, di Jakarta, Selasa (7/10). Pembicara lainnya adalah ahli ekonomi Bank Dunia, Christobal Ridao-Cano; Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Bappenas Suharti, dan Asep Suryahadi dari SMERU Research Institute.
Trankmann memaparkan, kerentanan dan risiko pembangunan manusia Indonesia tak lepas dari bencana alam, konflik sosial, ketahanan pangan, dan timpangnya distribusi pendapatan. Berdasarkan dana yang dihimpun UNDP, mulai tahun 2000 hingga 2013, Indonesia mengalami bencana banjir, badai angin, tanah longsor, kekeringan, kegagalan teknologi, kenaikan gelombang laut, gempa, kebakaran hutan, dan lain-lain.
Penyebab bencana tersering ialah banjir (36 persen). Ada pula bencana yang lebih jarang , tetapi begitu terjadi menelan banyak korban jiwa, seperti gempa bumi dan gunung meletus. Kerugian ekonomi akibat bencana dalam kurun itu mencapai Rp 421 triliun.
Kerentanan lain ialah konflik sosial. Mengutip Internal Conflict Index, Religious Tensions Index, Ethnic Tensions Index (1980-2014) keluaran International Country Risk Guide, Trankmann mengatakan, masih ada ketegangan antar-agama dan antar-etnik di Indonesia.
Isu keamanan pangan juga harus diwaspadai. Itu tecermin dari banyaknya (36 persen) anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting (tinggi badan kurang karena lama kekurangan gizi).
Kerentanan disumbang pula oleh ketimpangan ekonomi. Sebanyak 43 persen dari 237 juta rakyat Indonesia hidup dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari. Christobal dalam pemaparannya menyampaikan, ketidaksetaraan pendapatan utamanya disebabkan pendidikan orangtua atau lokasi kelahiran.
Mengurangi kerentanan
Dalam situasi rentan, begitu ada guncangan, pembangunan manusia bisa jatuh dan butuh waktu lama untuk bangkit. ”Tanpa adanya perhatian pada masalah kerentanan, pembangunan manusia sulit berhasil,” tutur Trankman.
Guna mengurangi kerentanan dan mempercepat pembangunan manusia, pemerintah diminta mewujudkan kesetaraan dan keadilan akses layanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan layak. Selain itu, harus ada perlindungan sosial dan terbukanya lapangan kerja formal.
Christobal berpendapat, manajemen risiko juga perlu diterapkan dalam pembangunan. Apalagi, Indonesia terpapar banyak risiko, baik karena alam maupun ulah manusia yang berasal dari dalam negeri atau global. Sayangnya, Indonesia tak punya manajemen risiko yang baik.
Menurut Asep, sejauh ini, kebijakan perlindungan atau jaring pengaman terfokus kepada kelompok miskin dan paling miskin. ”Kelompok menengah perlu dilindungi karena juga rentan menderita. Umumnya, mereka tak punya proteksi,” kata Asep.
Asep menambahkan, pemerintah perlu menyediakan sistem perlindungan sosial reguler yang menjangkau anak-anak, pelajar, orang lanjut usia, ataupun orang disabilitas. Selain itu, ada jaminan sosial yang sifatnya sementara bagi korban karena guncangan ekonomi, sosial, atau bencana.
Suharti menyatakan, pembangunan lima tahun ke depan didorong untuk memperkuat indeks pembangunan manusia. Kesenjangan pembangunan yang menciptakan kemiskinan juga harus segera diatasi. (ELN/INE)
*Sumber: Harian KOMPAS, 8 Oktober 2014 | Photo: Ilustrasi