Yogyakarta, TRIBUN – Masih terjadinya praktek calo TKI dan kasus TKI nonprosedural atau ilegal menunjukkan bahwa belum semua masyarakat mengetahui prosedur yang ada. Diberitakan Tribun Jogja sebelumnya, terjadi kasus penipuan oleh calo terhadap 11 calon TKI di DIY.
Korban diiming-imingi bisa bekerja di Australia dan Arab dengan gaji yang besar, namun harus dengan membayarkan sejumlah uang terhadap seorang calo perorangan. Setelah dibayarkan, ternyata mereka tidak kunjung diberangkatkan.
Sementara itu, kasus-kasus TKI nonprosedural dari DIY di luar negeri terus terjadi. Bahkan, beberapa di antaranya terkena kasus trafficking dan harus melalui proses yang panjang.
Temuan LSM Mitra Wacana, LSM yang konsen terhadap isu perempuan dan berkedudukan di Yogyakarta, banyak TKI perempuan yang tidak tahu bahwa mereka terkena trafficking. Keberangkatan TKI itu pun bervariasi dan kadang tidak mengikuti prosedural yang benar.
Kepala Balai Pelayanan Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Yogyakarta. Suparjo mengatakan, masyarakat harus waspada dan memahami prosedur perekrutan TKI. Tidak sembarangan orang atau lembaga bisa melakukan rekrutmen.
“Orang yang mau mencari tenaga kerja itu harus (memenuhi) syarat-syarat tertentu,” ujar Suparjo belum lama ini.
Izin usaha
Lebih lanjut, Suparjo menjelaskan bahwa pencari tenaga kerja harus memiliki izin usaha, berbadan hukum dengan memiliki surat izin pengerahan TKI. Selain itu juga harus memiliki surat pengantar rekrutmen TKI, izin dari BP3TKI dan Dinas Tenaga Kerja,
“Jika tidak punya itu, tidak bisa merekrut orang,” lanjut Suparjo.
“Kadang mereka (korban) tidak mau menanyakan itu. Harusnya menanyakan, bapak punya surat izinnya mana. Masyarakat harus perhatian,” harap Suparjo.
Untuk mengetahui lembaga mana yang legal untuk melakukan perekrutan masyarakat bisa melihat daftar PPTKIS atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta di website BP3TKI Yogyakarta. Secara berkala BP3TKI akan merilis daftar PPKIS dan kantor cabang PPTKIS di DIY yang memiliki surat pengantar rekrutmen.
Government to government
Sementara itu, Dr. Sukamdi, Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengatakan, rekrutmen TKI secara individual dirasa tidak aman. Menurutnya program government to government atau G to G atau antarpemerintah adalah hal yang seharusnya terus dikembangkan.
“G to G bisa dikembangkan lebih lanjut bagus sehingga antarnegara, pemerintah memiliki peran. Dibandingkan (rekrutmen) swasta, apalagi rekrutmen yang individual. Individual tadi bahaya banget,” ujarnya.
Misalnya, ada orang Singapura, dia ingin punya pembantu, kemudian dia mengubungi pengrah tenaga kerja, itu kan pemerintah di Singapura tidak tahu. Jadi akses perlindungan jadi berkurang. Proses transaksi yang terjadi adalah transaksi yang membutuhkan tenaga kerja dengan yang mempunyai tenaga kerja,” (dnh).
*Sumber: Tribun Jogja (21/11) | Foto: Menaker sidak tempat penampungan TKI ilegal/poskotanews.com