TEMPO.CO, Yogyakarta – Pakar demografi sosial Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, mengatakan posisi ibu kota negara di Jakarta tidak perlu dipindah meskipun tingkat kepadatannya semakin tinggi. Alasan dia, pemindahan ibu kota ke luar Jakarta berarti sama saja dengan memobilisasikan tiga juta orang ke daerah lain sehingga akan menghabiskan biaya sangat besar.
"Jumlah pegawai semua kementerian dan lembaga pemerintah pusat ada satu jutaan orang, kalau ditambah keluarganya, jadi tiga jutaan," kata Tadjuddin dalam seminar "Apakah Ibukota Jakarta Perlu Dipindah?" di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM pada Kamis, 20 Agustus 2015.
Menurut Tadjudin, salah satu solusi untuk menyiasati kepadatan Jakarta, tanpa harus memindahkan ibu kota, ialah dengan menyebar kantor kementerian ke semua provinsi. Dengan begitu, sumber daya manusia di setiap kementerian, sekaligus anggaran kelembagaannya, akan terdistribusi ke banyak daerah. "Kerja sejumlah kementerian juga akan lebih dekat dengan lapangan garapannya."
Dia meyakini solusi seperti ini tidak akan menghambat konsolidasi pemerintahan pusat. Setiap rapat koordinasi kabinet bisa digelar secara efektif oleh presiden dengan memakai fasilitas teleconference.
Tadjudin menawarkan ide ini karena bisa menjadi solusi pengurang kepadatan Jakarta. Solusi ini sekaligus berpotensi mengatasi ketimpangan kepadatan dan pembangunan ekonomi agar tersebar ke semua provinsi. "Jakarta juga tidak akan menjadi satu-satunya tujuan utama urbanisasi pencari kerja," kata dia.
Menurut Tadjudin fakta ketimpangan kepadatan dan pembangunan antara wilayah Indonesia Barat dan Timur selama ini sulit diatasi sejak era kolonial. Apalagi, kawasan padat seperti Jakarta malah menjadi pusat perputaran 70 persen dari uang yang beredar di Indonesia. "Indonesia Barat luasnya 22 persen wilayah nasional, tapi ditempati 78 persen penduduk, di Jawa saja ditempati 57 persen penduduk."
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Indonesia Timur yang memiliki luas 72 persen dari wilayah nasional dan hanya ditempati 20 persen penduduk. Di kawasan seperti Papua, menurut Tadjudin, angka kepadatannya sembilan jiwa per-kilo meter persegi. Sedangkan Jakarta, kepadatannya mencapai 15.015 jiwa per kilo meter persegi.
Situasi ketimpangan kepadatan ini, menurut Tadjudin juga memicu pemusatan investasi ekonomi di beberapa kawasan saja. Makanya, tingkat kemiskinan Jakarta sangat rendah dibanding daerah lain, yakni 3,7 persen. "Rata-rata tingkat kemiskinan kota indonesia, 8,5 persen dan desa 14,4 persen."
Pakar perencanaan kawasan urban, Yeremias T. Keban, berpendapat sebenarnya persoalan kompleks yang membelit Jakarta bisa diselesaikan tanpa harus memindah lokasi ibu kota. Solusinya, hanya perlu dengan memperbaiki infrastruktur penyebab persoalan semacam banjir, kemacetan, kepadatan bangunan atau penduduk dan banyak masalah lain.
Akan tetapi, menurut Yeremias, syarat utama agar perbaikan itu membuahkan hasil nyata ialah harus ada larangan pemberian izin usaha baru. Izin-izin usaha dan investasi baru harus didistribusikan ke banyak daerah lainnya. "Distribusi itu akan memicu persebaran penduduk," kata dia. [] Addi Mawahibun Idhom
*Sumber: Tempo Online | Ilustrasi pemukiman padat/blogspot