Pertumbuhan di bawah 6 persen tidak cukup tampung 3 juta angkatan kerja baru.
Laju peningkatan ketimpangan (koefisien Gini) relatif tinggi, capai 10 poin tiap tahun.
JAKARTA, Koran Jakarta – Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai terus menurun, seiring dengan perlambatan ekonomi dalam lima tahun terakhir (2010-2015).Hal itu antara lain ditandai dengan terus meningkatnya ketimpangan kesejahteraan nasional. Bahkan, saat pertumbuhan meningkat pun, pada periode sebelumnya, ketimpangan juga tercatat cukup tinggi. Oleh karena itu, penanganan ketimpangan nasional dipandang perlu menjadi agenda prioritas pemerintah saat ini.
Pasalnya, peningkatan ketimpangan yang melaju cukup cepat dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Apalagi, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 yang dinilai menjadi titik balik bagi akselerasi pertumbuhan, dipangkas Bank Dunia menjadi 5,1 persen dari prediksi semula 5,3 persen. Menurut ekonom Undip Semarang, FX Sugiyanto, terpenting adalah peningkatan pertumbuhan yang berkualitas.
“Untuk menciptakan pertumbuhan yang berkualitas harus berasal dari program pembangunan yang memberikan manfaat langsung bagi kepentingan rakyat dan meningkatkan daya saing produk nasional,” jelas dia ketika dihubungi, Senin (11/4). Selain itu, imbuh Sugiyanto, pertumbuhan harus bisa memperkecil kesenjangan ekonomi, baik antarkelompok masyarakat maupun antardaerah.
“Pemerintah harus memprioritaskan penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung sehingga tercipta pemerataan ekonomi,” jelas dia. Meski proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 dipangkas menjadi 5,1 persen, angka itu masih lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan 2015 yang sebesar 4,79 persen. (Lihat infografis) Akan tetapi, menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves, pertumbuhan itu masih belum memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Indonesia.
“Tapi pertumbuhan di bawah 6 persen tidak cukup untuk menampung 3 juta anak muda Indonesia yang memasuki pasar kerja setiap tahunnya,” kata Chaves, belum lama ini. Selain minim penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi selama ini justru gagal mengatasi kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat. Ekonom Bank Dunia, Ririn Salwa Purnamasari, mengungkapkan kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat di Indonesia jauh lebih tinggi melampaui perkiraan masyarakat.
“Masyarakat Indonesia merasa kesenjangan atau ketimpangan sudah terlalu tinggi, padahal kenyataannya ketimpangan yang terjadi justru lebih tinggi dari yang mereka perkirakan,” kata dia. (Koran Jakarta, 11/9) Kesimpulan itu merujuk hasil survei persepsi ketimpangan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2014 terhadap 3.000 sampel penduduk Indonesia.
Tanpa Pemerataan
Menurut Ririn, meski dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup baik dan tingkat kemiskinan melambat, namun laju peningkatan ketimpangan diukur dengan koefisien Gini masyarakat Indonesia relatif tinggi mencapai 10 poin setiap tahun. Ia menyatakan ketimpangan di Indonesia antara lain karena belum adanya pemerataan dalam hasil pembangunan nasional.
Sesuai data Bank Dunia, 50 persen pendapatan negara masih dinikmati oleh penduduk terkaya, sisanya dibagi rata. Misalnya pada 2014, konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin. Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Agus Heruanto Hadna, mengatakan satu dekade yang lalu, indeks Gini Indonesia 0,31.
Saat itu, ekonomi terus tumbuh antara 5-7 persen, tapi sepuluh tahun kemudian indeks Gini justru meningkat menjadi 0,42 saat ini. Kenaikan indeks Gini menunjukkan makin melebarnya ketimpangan. “Indeks Gini 0,42 dan kemiskinan saat ini 11,22 persen dari total penduduk tidak akan bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi sampai 8 persen sekalipun. Ini perlu kebijakan politik yang mendorong pemerataan,” kata Agus.
Kebijakan politik yang dimaksud Agus adalah bagaimana memastikan akses masyarakat ekonomi menengah ke bawah terhadap aet ekonomi diperluas. Tidak seperti saat ini justru akses mereka terus dipersempit. Artinya, seluruh kebijakan politik yang dibuat pemerintah sampai saat ini hanya mudah direspons oleh golongan menengah atas. Sementara golongan bawah makin terpinggirkan dari seluruh proses ekonomi. YK/SB/SM/bud/WP
*Sumber: Koran Jakarta (12/4)