JAKARTA, Indo Pos – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) menilai angka pernikahan dini terus meningkat. Untuk itu, pemerintah perlu mengatur batas usia pernikahan, karena perkawinan anak dengan kehamilan dini di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi.
"Rencananya saya akan mewacanakan pernikahan maksimal umur 21 tahun atau 22 tahun. Karena penduduk Indonesia semakin hari terus bertambah. Saya tidak mau, dengan bertambahnya jumlah penduduk, anak-anak kita tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah," ucap Menteri PP dan PA Yohana Susana Yembise saat kunjungan kerja di Ambon, Maluku, Minggu (18/1).
Ia mengatakan, kasus pernikahan dini di Indonesia wilyah timur sangat tinggi terutama Papua. "Di Papua angka pernikahan dini sangat tinggi. Saya juga mendapatkan laporan di Provinsi Maluku seperti di Pulau Buru pernikahan dini juga tinggi. Banyak anak SD yang sudah tamat sekolah langsung dinikahkan," tegas dia.
Menurutnya, masih banyak orangtua yang belum paham dengan pentingnya pendidikan. Sehingga setelah lulus SD, langsung menikahkan anaknya. Untuk itu, pemerintah harus terus mengaungkan wajib belajar 9 tahun. "Namun pemicu lain juga bisa karena alasan adat atau agama. Di balik itu saya akan mencari tahu," kata menteri perempuan pertama asal Papua itu.
Untuk itu, Yohana juga akan terus mensosialisasikan UU tentang Perlindungan Anak. "Kami juga sedang mengupayakan UU Kesetaraan Gender, namun sayangnya UU ini masih dipermasalahkan oleh DPR. Maka kami akan membangun kembali usaha kami untuk bisa mengangkat wacana ini ke DPR lagi," pungkasnya.
Apabila DPR masih mempermasalahkan UU Keteraan Gender, sambungnya, pihaknya akan melalui jalur hukum yaitu melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
"Menkumham juga sudah menyampaikan ke saya untuk bisa mengumpulkan UU atau peraturan mana yang dibutuhkan untuk diserahkan. Kita akan membicarakan ini lagi, tapi saya lebih memfokuskan UU Kesetaraan Gender. Jadi, jika saya berbicara tentang gender, maka saya tidak akan asal bicara. Namun semua itu ada dasar hukumnya," kata Yohana.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay menilai sebagian besar pernikahan dini dinilai tidak berhasil. Menurutnya ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, usia yang relatif muda menyebabkan pasutri belum betul-betul siap menghadapi dinamika kehidupan berumah tangga. "Kedua, faktor kemapanan ekonomi. Pasangan muda dinilai kebanyakan belum matang secara ekonomi. Karena itu, sering sekali persoalan ekonomi menjadi penyebab retaknya hubungan suami-isteri," tuturnya.
Ketiga, lanjut dia, pasangan muda rata-rata dinilai belum memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk mampu membina rumah tangga yang sejahtera. Dikhawatirkan anak-anak yang lahir dari pasangan muda akan kesulitan mendidik anak-anak mereka ke depan.
"Mestinya, di era sekarang justru pernikahan dini semakin sedikit. Kemajuan teknologi informasi setidaknya dapat membuka sisi dunia lain di berbagai belahan dunia. Terutama di negara-negara Barat yang sangat hati-hati sebelum memutuskan untuk menikah," kata politisi Partai Amanat Nasional itu.
Terkait batasan usia pernikahan, Saleh beranggapan jika batasan tersebut sifatnya normatif, tidak akan memberikan pengaruh signifikan. Karena itu, aturan tersebut harus dibarengi dengan sanksi. Dalam hal ini, negara bisa merumuskan sanksi tertentu agar aturan tersebut diikuti dan ditaati.
"Sama dengan UU lalu lintas. Meski ada sanksinya, namun tetap saja ada yang melanggar. Bagaimana kalau tidak ada sanksi? Dipastikan setiap waktu akan ada pelanggaran-pelanggaran," lontar dia. (fdi)
*Sumber: Indo Pos | Ilustrasi pernikahan anak/viiphoto.com