YOGYAKARTA – Pemerintah kurang memperhatikan hak-hak reproduksi penyandang difabel, khususnya perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya kebijakan yang mendukung akses informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi bagi penyandang difabel. Program-program jaminan kesehatan yang ada juga belum sepenuhnya mendukung hak-hak difabel.
Hal tersebut disampaikan Risnawati Utami, Penggiat Konsorsium Nasional Difabel saat seminar Reproduction in Asia: Impacts of Modernization on Local Culture and Women’s Health, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Nara Women’s University, Jepang, pada Minggu (13/1) di University Club Hotel & Convention, UGM.
Hampir sebagian besar perempuan dengan difabel mendapatkan akses informasi yang minim tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Lemahnya penguasaan teknik komunikasi petugas kesehatan kata Risnawati, merupakan kendala yang signifikan dalam upaya melakukan sosialisasi dan pelayanan terutama kepada tuna rungu dan tuna grahita. Di lain sisi, masih ada stigma di masyarakat yang melihat isu seksualitas dan kesehatan reproduksi sebagai hal yang tabu.
Pada akhirnya, pemerintah perlu untuk bekerja sama dengan berbagai pihak seperti akademisi, lembaga riset, LSM, dan organisasi difabel untuk mengidentifikasi kebutuhan perempuan dengan difabel terkait kesehatan reproduksi. Program-program kebijakan, penganggaran hingga perangkat hukum peradilan yang pro terhadap hak kesehatan reproduksi difabel juga perlu dibuat.
“Terkait persoalan hukum, para difabel terutama perempuan, kerap menjadi objek atau korban kekerasan seksual. Saat kekerasan seksual terjadi, ternyata bantuan serta perangkat hukum di Indonesia tidak ada yang dapat mengadvokasi. Tak heran, sangat sedikit yang tertangani. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang difabel justru tak pernah terungkap,” ujar perempuan yang pernah menulis sebuah buku berjudul “Difabilitas, Antara Mimpi dan Kenyataan” ini.
Pemateri Joint Seminar
Selain Risnawati, ada pula tiga orang pemateri dari Indonesia dalam seminar kesehatan reproduksi ini. Budi Wahyuni, Ketua PHD PKBI DIY memaparkan isu seks dan kesehatan reproduksi dalam kearifan lokal Indonesia. Studi kasusnya, keberadaan jamu herbal perempuan dan obat kuat laki-laki. Lalu, ada Issac Tri Oktaviati, peneliti PSKK UGM yang memaparkan hasil penelitiannya tentang KB pria di Kabupaten Gunungkidul, DIY. Ia melihat ada berbagai macam aspek sosial budaya yang mempengaruhi rendahnya penggunaan alat kontrasepsi laki-laki di sana, dan pada umumnya di Indonesia. Kemudian Sri Purwatiningsih, juga peneliti PSKK UGM, yang memaparkan tentang perilaku seksual remaja yang kini cenderung permisif. Banyak remaja melakukan aktivitas seksual mulai dari yang ringan hingga hubungan badan dengan beragam alasan.
Sementara dari Jepang, ada lima orang pemateri yang juga memaparkan beragam isu, kasus, dan kondisi terkait kesehatan reproduksi perempuan di Jepang. Misalnya, pemaparan Miho Ogino, profesor studi gender dan sejarah reproduksi Universitas Doshisha, Kyoto tentang induced abortion atau pengguguran kandungan secara sengaja terutama pada janin cacat, yang pernah dilegalkan di Jepang pada 1948. Eugenic Protection Law (EPL) dinilai sebagai bentuk kekhawatiran pemerintah Jepang atas over populasi yang terjadi pasca Perang Dunia II, serta turunnya kualitas keturunan. Miho juga membahas tentang gerakan Keluarga Berencana (KB) di akhir 1950-an yang ditargetkan pada para istri karyawan perusahaan-perusahaan besar, dan tentang pil kontrasepsi yang hingga 1999 tidak disetujui di Jepang.
Seminar yang berlangsung dua hari ini merupakan bentuk kerja sama awal antara PSKK UGM dengan Nara Women’s University sebagai universitas yang fokus pada pendidikan tinggi bagi perempuan ini. Harapannya, ada bentuk kerja sama lain yang bisa dibangun bersama karena penting bagi masing-masing lembaga untuk senantiasa mengembangkan jaringan. [] Media Center – PSKK UGM