Kegagalan Bisa Memicu Konflik Sosial, Ekonomi, dan Politik
JAKARTA, KOMPAS – Meski puncak bonus demografi tahun 2020-2040 tinggal sebentar lagi, kondisi berbagai syarat agar bonus itu bisa diraih masih memprihatinkan. Jika terlewati, kesempatan Indonesia menjadi negara maju hilang. Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi bangsa-bangsa lain.
Bonus demografi bisa diraih jika sumber daya manusia yang dimiliki bermutu, lapangan kerja tersedia, jumlah tabungan rumah tangga memadai, dan perempuan masuk pasar kerja. Kondisi berbagai syarat itu jauh dari ideal.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi, seusai Seminar Nasional Hari Kependudukan Dunia 2017 di Jakarta, Senin (31/7) mengatakan, untuk mencapai bonus demografi, penduduk produktif harus dibuat produktif.
“Caranya, mereka harus bekerja dan mendapat pendapatan layak,” ujarnya. Dengan bekerja, masyarakat jadi produsen. Dengan gaji layak, mereka bisa melakukan konsumsi dan menabung. Tabungan itu bisa untuk investasi hal produktif atau persiapan menghadapi masa tua.
Saat ini, meski pertumbuhan ekonomi stabil di atas 5 persen, kemampuannya menyerap tenaga kerja jauh berkurang. Pada 2009, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen menyerap 500.000 tenaga kerja dan pada 2012-2015 hanya di bawah 200.000 orang (Kompas, 24 Oktober 2016). Gaji layak pun umumnya hanya dinikmati pekerja formal.
Hal itu memicu ada banyak penganggur terdidik, terutama lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan. Situasi itu berbahaya karena bisa memicu konflik sosial, ekonomi, dan politik. “Penganggur berpendidikan tinggi jauh lebih berbahaya ketimbang penganggur terdidik,” kata Sukamdi.
Selain itu, mutu dan kompentensi tenaga kerja Indonesia jauh dari kondisi yang memungkinkan mereka bersaing dengan bangsa lain. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2016 menyebut lama rata-rata sekolah angkatan kerja Indonesia hanya 7,8 tahun. Itu membuat pengetahuan dan kompetensinya terbatas.
Menjadikan mereka produktif pun sulit. Kondisi gizi dan kesehatan buruk sejak bayi membuat daya tahan tubuh mereka rendah. Laporan Daya Saing Global Forum Ekonomi Dunia 2016-2017 menyebut, etika kerja pekerja jadi penghambat bisnis di Indonesia. “Sudah kompetensi kurang, karakternya lemah,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Surya Chandra Surapatty.
Partisipasi kerja
Sementara itu, upaya mendorong perempuan masuk pasar kerja tidak mudah. Titik awal mereka untuk jadi pekerja produktif tertinggal dibandingkan pria.
Indeks Kesetaraan Jender 2016 menyebut partisipasi perempuan di pasar kerja 50,9 persen, jauh tertinggal dari pria yang mencapai 83,9 persen. Perempuan yang tamat pendidikan menengah hanya 42,9 persen, sedangkan lelaki 51,7 persen.
Belum lagi batasan budaya membuat perempuan mendapat tanggung jawab lebih pada urusan domestik dibandingkan pria. Akibatnya, banyak perempuan terjebak dilema mengejar karir atau membesarkan anak.
Untuk itu, Surya mengingatkan pentingnya perencanaan perkawinan dan pendewasaan usia pernikahan. Pengaturan kehamilan lewat pemakaian kontrasepsi harus didorong agar saat berkeluarga mereka siap menghadapi tantangan.
Berbagai indikator kependudukan belum menggembirakan. Jadi, pemerintah perlu fokus mengejar terpenuhi berbagai syarat tercapainya bonus demografi daripada mewacanakan relaksasi pengendalian penduduk.
Jika bonus yang terjadi sekali dalam sejarah bangsa terlewati, Indonesia masuk jebakan negara berpendapatan menengah, sulit jadi negara maju, dan hanya jadi pasar dari bangsa-bangsa maju.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, untuk menjaga mutu penduduk, pemerintah berinvestasi besar di sektor pendidikan dan kesehatan.
Agar hasil investasi optimal, jumlah warga harus dikendalikan dengan menjaga pertumbuhan penduduk seimbang, yakni angka kelahiran total (TFR) 2,1 anak perempuan usia subur. “Taka da relaksasi program KB,” ucapnya. (MZW)
*Sumber: Harian Kompas (1/8) | Foto: dok. pribadi