JAKARTA, KOMPAS — Dalam 50 tahun terakhir, penduduk Pulau Jawa bertambah dua kali lipat. Jawa yang sedikit lebih luas dibandingkan Semenanjung Malaya harus menopang penduduk hampir lima kali lipat jumlah penduduk seluruh Malaysia.
”Jawa masih menjadi sentral penduduk Indonesia karena infrastruktur di Jawa jauh lebih memadai dibandingkan pulau lain,” kata Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, di Jakarta, Selasa (4/3).
Pada 2010, Jawa disesaki 137 juta orang. Lebih dari separuhnya menghuni pesisir utara Jawa. Sisanya mendiami bagian tengah dan selatan Jawa yang infrastrukturnya lebih tertinggal dibandingkan bagian utara.
Lebih dari setengah penduduk pesisir utara Jawa mendiami bagian barat pantai utara Jawa yang terbentang dari Cilegon hingga Cirebon. Perancangan wilayah multifungsi yang rakus membuat kawasan sekitar Ibu Kota tumbuh menjadi pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, pendidikan, industri, sekaligus jasa.
Fungsi pertanian kawasan sekitar Ibu Kota yang pernah dirancang pemerintah sebelumnya mulai ditinggalkan. Daerah pertanian di Subang, Indramayu, dan Karawang, yang memiliki sistem irigasi baik, secara perlahan beralih fungsi menjadi kawasan industri penopang Jakarta.
Pembangunan yang tetap terkonsentrasi di Jawa, khususnya sekitar Ibu Kota, dipastikan akan terus menarik penduduk dari seluruh penjuru Nusantara. Pada 2035, Jawa diperkirakan akan dihuni 167 juta orang.
Kepadatan rata-rata di Jawa kini sudah lebih dari 1.000 orang per kilometer persegi. Sesaknya kota-kota di Jawa terasa saat ini.
Rumah-rumah petak berdesakan di perkampungan, dipisahkan jalan setapak dengan lebar kurang dari 1 meter. Keterbatasan lahan dan ekonomi serta tidak berkembangnya perumahan vertikal membuat tempat-tempat yang sebetulnya terlarang untuk dihuni, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, dan kawasan konservasi, dirambah hingga menjadi permukiman kumuh.
Hal itu terlihat di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Yanti, yang berasal dari Lampung, rela tinggal di kamar kontrakan berukuran 2 meter x 2 meter bersama suami dan bayinya. Kamar berdinding tripleks tanpa ventilasi itu disewa Rp 200.000 per bulan. Mandi dan mencuci di toilet umum tak jadi soal.
”Di Jakarta lebih mudah mencari uang. Kalau di kampung, paling hanya jadi petani,” kata Yanti yang menjadi buruh pembersih benang di sebuah perusahaan konfeksi dengan gaji Rp 100.000-Rp 150.000 per minggu. Suami Yanti bekerja sebagai tukang pasang antena dengan pendapatan tak tentu.
Perkampungan padat bukan monopoli Jakarta. Lihat Lembang, Bandung, Jawa Barat, yang menjadi pemasok air bersih kawasan Bandung Raya. Daerah itu tak asing dengan perumahan kecil yang lembab berimpitan dengan areal perkebunan, obyek wisata, dan jalan setapak yang berliku mengikuti kontur tanahnya yang berbukit.
Kondisi serupa terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jabar, yang menjadi daerah resapan bagi Jakarta, juga Sleman bagian utara yang menjadi penopang Yogyakarta. Karena lahan yang ada berubah menjadi permukiman, areal perkebunan makin merambat ke dataran yang lebih tinggi.
Terus bertambahnya jumlah penduduk, makin berkurangnya sumber daya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dan kian masifnya okupasi manusia atas lingkungan membuat daya dukung lingkungan Jawa terus menurun.
”Memang tidak ada rumusan pasti berapa nilai ideal daya dukung lingkungan suatu wilayah. Namun, banyaknya bencana hidrometeorologis yang terjadi di Jawa awal 2014 menunjukkan rendahnya daya dukung Jawa,” kata ahli kependudukan dari Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sukamdi.
Di seluruh Jawa, sepanjang 2013, terjadi 641 bencana banjir, banjir yang disertai longsor, tanah longsor, dan puting beliung. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan bencana serupa pada 2012 yang mencapai 727 kasus.
Walau jumlahnya lebih kecil, jumlah korban tewas, warga yang terdampak, dan jumlah warga yang mengungsi pada 2013 jauh lebih besar. Hal itu menunjukkan bencana terjadi makin meluas.
Daya dukung lingkungan tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam, tetapi juga sumber daya sosial dan ekonomi. Keterbatasan sumber daya sosial akibat besarnya tekanan penduduk memicu konflik, seperti yang sering terjadi di Johar Baru, Jakarta Pusat. Tawuran pemuda antargang sering terjadi walau jarak antargang itu hanya 10 meter. Tingkat pendidikan yang rendah, tidak adanya pekerjaan, serta lingkungan rumah yang sesak dan tidak nyaman membuat emosi warga mudah terpicu dan ikatan sosial antarwarga rendah.
Sebagai perbandingan, konflik relatif jarang terjadi di daerah yang tingkat kepadatannya rendah. Di daerah itu, masyarakatnya masih bisa saling bertegur sapa, bersosialisasi, dan mengembangkan budaya toleransi. ”Mereka bisa membangun kesepahaman sehingga meredam potensi konflik yang ada,” ujar Sukamdi.
Sementara itu, penolakan masyarakat Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah, atas pembangunan pabrik semen di daerah mereka, beberapa tahun terakhir, menunjukkan perebutan sumber daya ekonomi yang terbatas. Bagi industri, karst di wilayah itu lebih bernilai jika diolah menjadi semen. Namun, bagi warga, pembangunan pabrik semen berarti hilangnya sumber kehidupan masyarakat sebagai petani sekaligus hilangnya identitas budaya mereka.
Tekanan atas berbagai sumber daya yang menurunkan daya dukung lingkungan bisa dikurangi dengan teknologi. Namun, upaya ini membutuhkan komitmen politik dan biaya besar.
Tengoklah sejumlah kota maju dunia dengan kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan Jakarta, seperti Hongkong, Seoul, dan Singapura. Pembangunan infrastruktur di kota-kota tersebut masif dilakukan, baik untuk mencegah terjadinya banjir, meningkatkan akses transportasi massal, maupun penegakan aturan pengendalian penduduk yang ketat.
Meski demikian, teknologi tidak bisa menghilangkan tekanan atas daya dukung lingkungan sepenuhnya. Karena itu, upaya pengendalian penduduk melalui Keluarga Berencana dan mendorong munculnya daerah-daerah pertumbuhan baru di luar Jawa perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. [] (A04/A06/A15/MZW)
*Sumber: Harian KOMPAS, 5 Maret 2014 | Sumber foto: ANTARA "Kepadatan Penduduk di Surabaya"