TRIBUNNEWS.COM – Jumlah penduduk usia kerjaTiongkok pada tahun 2013 terus menurun dari tahun sebelumnya. Data ini diungkapkan pemerintah, Selasa (20/1), saat Beijing berjuang keras mengatasi tantangan demografis akibat penerapan kebijakan satu anak tiap keluarga.
Jumlah penduduk Tiongkok daratan pada akhir tahun 2014, menurut Biro Statistik Nasional Tiongkok, tercatat 1,37 miliar jiwa. Terdapat kenaikan 7,1 juta jiwa dari akhir tahun 2013. Jumlah penduduk ini tetap yang terbesar di dunia walau India semakin merapat dengan populasi tahun lalu telah melebihi 1,2 miliar jiwa.
Dari data tersebut, penduduk usia kerja—yang didefinisikan Beijing sebagai warga yang berusia antara 16 dan 59 tahun—turun menjadi 915,8 juta jiwa. Jumlah itu berkurang 3,7 juta orang dari data pada akhir 2013.
Sebaliknya, penduduk yang berusia 60 tahun ke atas bertambah lebih dari 10 juta jiwa menjadi 212,4 juta jiwa, atau 15,5 persen dari total populasi.
Jika diproyeksikan, sebelum tahun 2030 satu dari empat orang—atau 350 juta jiwa—akan berusia 60 tahun ke atas. Bandingkan dengan hanya 5 persen populasi berada pada kelompok usia serupa pada tahun 1982.
Laman Bloomberg menulis, dengan populasi yang mulai menua, Tiongkok membayar harga ekonomi dari kebijakan satu anak yang telah berlangsung selama 36 tahun. Ini adalah untuk tahun ketiga berturut-turut jumlah penduduk usia kerja berkurang.
Penurunan pertama terjadi tahun 2012 ketika kelompok usia kerja—yang waktu itu juga masih memasukkan remaja usia 15 tahun—berkurang 3,45 juta jiwa.
Kikis daya saing
Seperti yang dialami Jepang pada akhir 1990-an, turunnya penduduk usia kerja Tiongkok itu sesuai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Walau membantu menekan kenaikan angka pengangguran, berkurangnya penduduk usia kerja akan meningkatkan biaya tenaga kerja dan mengikis daya saing manufaktur dan ekspor. Kedua hal itu yang mendorong perkembangan Tiongkokdalam tiga dekade terakhir.
”Itu jelas artinya, dalam tahun-tahun mendatang, tenaga kerja akan berkurang kontribusinya pada pertumbuhan dibandingkan dua dekade terakhir,” kata Louis Kuijs, ahli ekonomi Royal Bank of Scotland di Hongkong, seperti dikutip Bloomberg. Menurut Kuijs, itu merupakan salah satu alasan kunci tren menurunnya pertumbuhan ekonomiTiongkok.
Beijing memberlakukan kebijakan keluarga berencana yang kontroversial dengan membatasi sebagian besar pasangan hanya boleh memiliki satu anak pada akhir 1970 dalam upaya mengerem pertumbuhan jumlah penduduk. Namun, penduduk yang bertambah tua—dan umumnya laki-laki—mulai menimbulkan tantangan demografis yang harus diatasi pemerintah.
Partai Komunis yang berkuasa mulai melunakkan peraturan itu pada akhir 2013. Mereka mengizinkan pasangan mempunyai dua anak jika sedikitnya salah satu dari orangtua adalah anak tunggal. Namun, pasangan yang mengajukan izin memiliki anak kedua lebih sedikit dari yang diharapkan.
Menurut otoritas keluarga berencana negara itu, seperti dikutip surat kabar China Daily, sedikitnya 11 juta pasangan memenuhi syarat untuk mempunyai anak kedua. Namun, hanya kurang dari 1 juta pasangan yang mengajukan permohonan itu.
Ahli kependudukan Huang Wenzheng memperkirakan, jumlah pasangan yang bersedia punya dua anak akan terus berkurang. ”Kebijakan dua anak tak akan mengatasi masalah populasi yang menua, karena banyak pasangan muda lebih suka tidak punya anak,” katanya.
Kantor berita Xinhua menyebutkan, para orangtua di banyak daerah di bagian Tiongkok bersikap ”dingin” pada penyesuaian kebijakan itu. Survei yang dibuat Xinhua menyebut, 67 persen responden mengaku tingginya biaya membesarkan anak dan tidak cukup waktu sebagai alasan utama tidak menginginkan anak kedua
Hampir 116 bayi laki-laki lahir tiap 100 bayi perempuan tahun 2014, dengan rasio total penduduk 105:100. (AFP/DI)
*Sumber: Tribunnews.com | Ilustrasi anak sekolah di China/VOAnews.com